Istilah “krisis identitas” (identity crisis) pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli psikologi dan psikoanalisis berkebangksaan Jerman bernama Erik Erikson pada awal abad 20. Ia berteori bahwa setiap orang melalui berbagai tahapan dalam hidup, yang setiap tahap ditandai oleh tantangan-tantangan yang unik. Mulai dari masa remaja, orang sering berhadapan dengan pertanyaan tentang siapa dirinya dan mau menjadi apa ia nanti setelah dewasa. Ini adalah bentuk klasik dari krisis identitas. Tapi krisis ini dapat terjadi pada setiap usia tidak terbatas hanya pada remaja. Pada dewasa krisis identitas sering muncul dari perubahan signifikan dalam hidup. Sangat penting untuk memahami krisis identitas lalu mengatasinya agar tidak sampai mengganggu kehidupan dan menurunkan kualitas hidup.
Krisis identitas bukan suatu diagnosis kelainan jiwa, melainkan sebuah istilah psikologis untuk seseorang yang mengalami ketidakpastian, kebingungan, atau ketidakjelasan tentang tujuan dan nilai dalam hidupnya. Jadi bila seseorang, pada usia berapa pun dalam hidupnya, mempertanyakan tentang siapa dirinya, apa tujuan hidupnya, apa gunanya ia hidup; maka ia berada dalam kondisi mengalami krisis identitas. Dalam progres kehidupan, orang akan mengalami perubahan peran, karir, ekonomi, hubungan, dan lain-lain, yang berpotensi menjadi penyebab stres berat, sehingga sering menciptakan kehampaan pada persepsi diri atau mencetus keraguan diri. Bila tidak tertangani stres berkepanjangan akan menyebabkan tingginya hormon cortisol yang dapat berdampak sangat buruk bagi kesehatan.
Bukan hanya pada remaja, krisis identitas dapat terjadi pada setiap orang, setiap usia, dan setiap masa di dalam hidupnya, yang disebut “midlife crisis.” Ada beberapa faktor klasik yang dapat menyebabkan terjadinya krisis identitas:
- Tahapan perkembangan. Sering terjadi pada remaja dan dewasa muda yang sedang mengeksplorasi dirinya. Mereka secara alamiah sering bertanya mengenai nilai dan kepercayaannya, sering menguji ketahanan dirinya, dan mengeksplorasi peran-peran baru dalam hidup. Tentu saja tidak semuanya berjalan mulus, dan ini dapat mencetus krisis identitas.
- Transisi kehidupan. Perubahan besar dalam hidup seperti pindah ke kota baru, memulai pekerjaan baru, hubungan percintaan baru, baru menjadi orang tua, dll. dapat menyebabkan krisis identitas. Perubahan ini memaksa seseorang untuk mengevaluasi kembali siapa mereka dalam konteks atau kondisi yang baru.
- Trauma atau kehilangan. Mengalami trauma seperti kehilangan orang yang dicintai, terkena dampak bencana alam, terkena penyakit berat, terkena PHK, dll. dapat membuat seseorang bertanya arti dan tujuan hidupnya, serta meragukan apa yang selama ini dipercayainya.
- Tekanan psikososial. Seperti menjadi pengangguran, memutuskan pensiun dini namun rencana usaha tidak berhasil, atau baru saja memasuki masa pensiun dan kehilangan pendapatan rutin. Hal ini mencetus stres finansial dan membuat seseorang sering mengisolasi diri lalu mengalami krisis identitas. Ia menjadi sering mempertanyakan tujuan, kegunaan dan perannya dalam tatanan kehidupan keluarga dan sosial.
- Pengaruh teknologi dan media sosial. Tidak dapat dipungkiri, meningkatnya penggunaan teknologi dan media sosial menambah dimensi baru pada krisis identitas. Perbandingan terus-menerus dengan orang lain, tekanan untuk mempersembahkan versi diri yang "ideal," dan masukan berbagai opini yang berbeda tentang nilai kesuksesan, dapat menyebabkan kebingungan identitas, terutama pada orang muda.
Tanda dan Gejala Krisis Identitas
Sangat normal sekali bagi seseorang memiliki masalah dalam kehidupannya, sampai bertanya tentang siapa dirinya, apa makna dan tujuan hidupnya; terutama bila mengalami faktor penyebab seperti uraian di atas. Namun ketika sudah mulai mempengaruhi cara fikir dan perannya dalam kehidupan sehari-hari, maka ia berarti sudah mengalami krisis identitas. Tanda dan gejala krisis identitas bisa sangat beragam. Menjadi penting untuk mengenalinya agar lebih dini dapat tertangani. Berikut adalah tanda dan gejalanya:
- Memiliki rasa bingung dan keraguan tanpa henti tentang siapa dirinya serta nilai dan makna dari hidupnya. Ia akan sering mempertanyakan keputusan-keputusan masa lalu yang telah dibuatnya, serta merasa ragu dengan masa depannya.
- Percaya diri rendah. Rasa insecure dan ketidakmampuan sering muncul. Penderita akan kesulitan memahami kemampuan dan kekuatan unik yang dimilikinya.
- Perubahan sikap dan prilaku juga sering terjadi. Penderita akan berubah pandangannya tentang sesuatu, bahkan mempertanyakan pentingnya ia menjalani suatu aktivitas yang dulu pernah disenanginya.
- Isolasi diri. Krisis identitas akan mengarah pada isolasi diri, menarik diri dari interaksi sosial, dan merasa sulit untuk berhubungan dengan orang lain. Penderita juga kesulitan untuk mengkomunikasikan fikiran dan perasaannya, karena takut disalahartikan dan dihakimi.
- Kesulitan membuat keputusan dan merasa senantiasa berada pada keraguan antara pilihan, serta kehilangan makna dari nilai dan tujuan yang akan dicapainya.
- Kecemasan dan depresi. Akhirnya tanda-tanda anxiety atau kecemasan, depresi, dan masalah kesehatan mental lainnya perlahan muncul. Penderita merasa tersesat dan terputus dari dirinya dan larut dalam kesedihan emosi yang mendalam. Kondisi ini tidak jarang membuat ia memutuskan untuk mencelakai dirinya atau menghabisi nyawanya sendiri. Baca dalam artikel lain tentang kecemasan dan depresi ini.
Baca artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Krisis identitas tidak hanya mempengaruhi persepsi seseorang terhadap dirinya saja, kerana dapat sampai memiliki konsekuensi pada emosi dan dampak psikologis, seperti:
- Krisis identitas yang berkepanjangan dapat berkontribusi pada kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi yang dijelaskan di atas.
- Krisis identitas dapat memperburuk hubungan karena mungkin merasa disalahpahami dan terputus dari teman, keluarga, atau pasangan. Orang-orang tercinta mereka mungkin kesulitan memahami pergolakan batin atau perubahan perilaku dan sikap yang menyertai krisis identitas tersebut.
- Kurangnya motivasi, kurang fokus, dan kehilangan antusiasme dalam studi dan/atau pekerjaan dapat muncul dari krisis identitas, seiring dengan pertanyaan dirinya tentang jalur karir, pilihan jurusan pendidikan, atau tujuan jangka panjang dari kehidupannya.
Remaja dengan Krisis Identitas
Usia remaja adalah masa terbanyak pertama kali seseorang mengalami krisis identitas dalam hidupnya. Karena seperti dijelaskan di sebelumnya, salah satu faktor penyebabnya adalah tahapan perkembangan. Sebagian kecil bahkan mengalami badai stres cukup serius, sampai membutuhkan dukungan intensif yang terus-menerus, yang bila tidak ditangani dengan baik dapat berujung pada hal-hal negatif. Apa pun kasusnya, remaja memang sedang mencari identitas mendefinisikan siapa dirinya. Cara terbaik membimbing mereka adalah dengan memberikan kesempatan untuk menentukan sendiri jati dirinya sebagai transisi dari usia anak ke usia dewasa. Agar tidak terperosok dalam krisis identitas berkepanjangan, mereka perlu dibekali dengan pengetahuan agama yang kuat, mengerti tentang norma dan tatanan sosial, dan berada dalam atmosfir keterbukaan untuk curhat tanpa khawatir akan disalahkan atau dihakimi.
Peran Krisis Identitas dalam Kematangan Pribadi
Krisis identitas juga ada sisi positifnya, karena dapat menjadi katalis terjadinya kematangan pribadi seseorang. Dengan mempertanyakan keyakinan lama dan mengeksplorasi perannya yang baru, seseorang dapat tumbuh semakin matang, mendefinisikan ulang nilai-nilai yang diyakininya dalam hidup, dan menemukan pemahaman lebih dalam tentang dirinya. Banyak orang yang mengalami krisis identitas menjelma menjadi pribadi baru yang memiliki tujuan dan pemahaman yang lebih jelas tentang siapa dirinya dan apa yang ingin dicapai. Bagian penting dari perjalanan ini adalah belajar untuk menerima perubahan, adaptabilitas, dan ketahanan. Dengan demikian, orang dapat belajar untuk menghadapi krisis lainnya atau periode ketidakpastian di masa depan dengan rasa percaya diri dan keterbukaan yang lebih besar.
Bertanya pada Diri Sendiri
Untuk dapat mengambil manfaat dari krisis identitas seperti di atas, ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Tentunya setelah memahami dan mengakui bahwa diri memang telah mengalami suatu krisis identitas. Yang pertama adalah bertanya pada diri sendiri. Luangkan waktu sejenak untuk benar-benar melihat ke dalam diri sendiri dan ajukan beberapa pertanyaan tentang apa yang disuka dan tidak disuka lagi. Tanyakan pada diri sendiri dan lihat apakah dapat menjawabnya seiring waktu, dan apakah jawaban-jawaban tersebut dapat membantu untuk mencari pemahaman baru. Harus diyakini bahwa tidak perlu memiliki semua jawaban, dan jawaban-jawaban tersebut mungkin berubah seiring waktu. Pertanyaan yang dapat ditanyakan itu seperti:
- Kualitas dan karakteristik apa yang dimiliki dan dapat mendefinisikan diri, bagaimana berubah seiring waktu?
- Jika sedang mengalami perubahan besar dalam hidup, bagaimana dampak perubahan itu? Apakah merasa puas dengan perubahannya? Bagaimana agar dapat menghadapinya?
- Apa nilai-nilai yang dipercaya? Adakah sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut sekarang?
- Apa yang penting terkait dengan nilai-nilai, tujuan hidup, atau identitas diri tersebut? Adakah hal yang dirasa dapat dilakukan untuk meningkatkannya?
- Miliki minat, kegemaran, dan hobi, lalu tanya apakah rutin melakukannya? Jika tidak, mengapa tidak? Faktor apa yang menghalanginya?
- Apa yang dapat membuat diri tetap teguh? Apa yang dapat membantu bertahan ketika sedang bermasalah?
Abaikan Penilaian Internal dan Eksternal
Sambil berusaha menggali ke dalam diri sendiri, harapan orang lain maupun ekspektasi diri sendiri dapat memiliki dampak besar pada perasaan seseorang. Namun, jangan sampai standar yang ada menentukan identitas diri dan menjadi penentu utama apa yang seharusnya disukai. Persepsi tentang diri sangat penting untuk kebahagiaan secara keseluruhan. Menghabiskan waktu serta tenaga tentang penilaian orang lain yang menghakimi tidak akan ada ujungnya. Selama nilai yang dianut tidak bertentangan dengan nilai agama dan norma sosial yang ada, maka tidak ada satu hal juga yang dapat memberikan penilaian buruk terhadap diri. Baik itu dari dalam diri sendiri apa lagi dari orang lain.
Membuat Diri Berarti dengan Memberi
Tidak ada hidup yang sempurna. Tidak ada pekerjaan, karir, pasangan yang sempurna. Bahkan yang dianggap sempurna pun bisa jadi setelah didapatkan akan penuh dengan ketidaksempurnaan. Cara termudah, namun tidak banyak yang mengetahui bahwa untuk memiliki hidup yang penuh arti adalah dengan membagikan kebahagiaan dan sering memberi kepada orang lain. Baik itu membagikan dan memberi materi, tenaga, fikiran, dengan berzakat, bersedekah, atau minimal mendoakan orang lain. Maka akan membuat ada perasaan berarti dan bermakna dalam hidup. Perbanyak silaturahmi, networking, dan hubungan dengan banyak orang, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan.
©IKM 2024-11