Pada musim kemarau di Indonesia pada tahun 2025 ini masih terdapat curah hujan yang cukup tinggi, khususnya di daerah Bandung Raya (Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat). Efek dari curah hujan yang tinggi ini memberikan ancaman serius terjadinya banjir. Kesadaran masyarakat terhadap berbagai penyakit menular terutama yang berkaitan erat dengan banjir harus ditingkatkan karena masih banyak infeksi yang kerap terabaikan karena gejalanya yang menyerupai penyakit ringan. Salah satunya adalah leptospirosis, yang meningkat insidensinya setiap ada musibah banjir. Di Indonesia walaupun leptospirosis bukanlah penyakit baru, namun sistem sanitasi yang belum optimal bila ditambah banjir membuat penyakit ini kembali menjadi ancaman.
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, yaitu penyakit infeksi yang ditularkan dari hewan ke manusia. Infeksi leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira, yang banyak ditemukan pada urin hewan terutama tikus, serta dapat mencemari tanah dan air di sekitarnya. Penularannya terjadi bila orang bersentuhan dengan air atau lumpur yang terkontaminasi, terutama jika kulit mengalami luka atau terkena langsung pada membran mukosa seperti mata dan mulut. Di Indonesia penyakit ini populer dikenal sebagai “penyakit kencing tikus.” Leptospirosis sering kali menye-rang kelompok masyarakat yang terpapar lingkungan kotor atau lembap, seperti petani, tinggal di DAS (daerah aliran sungai) perkotaan, hingga warga yang beraktivitas di sekitar pasar tradisional; terutama bila terjadi musibah banjir.
bakteri penyebab leptospirosis termasuk dari genus Leptospira yang berbentuk spiral halus, anggota ordo Spirochaetales dan famili Leptospiraceae. Leptospira bersifat Gram-negatif, memanjang antara 6-20 µm dan diameter hanya sekitar 0,1 µm, dengan tubuh yang sangat tipis dan berbentuk heliks, seringkali dengan ujung yang mengait menyerupai tanda tanya. Dua flagela periplasmik yang berada di tiap ujung sel memungkinkan Leptospira bergerak seperti gergaji, memudahkan bakteri menembus lapisan lendir dan sel inang. Genus Leptospira sendiri sangat heterogen, mencakup sekitar 66 jenis dan setidaknya ada 19 spesies, termasuk L. interrogans, L. borgpetersenii, dan L. noguchii, empat spesies yang diketahui menimbulkan infeksi pada manusia. Leptospira bersifat aerobik, tumbuh lambat pada suhu optimal 28-30 °C, serta membutuhkan kelembapan tinggi dan pH netral dalam lingkungan sekitar agar bertahan hidup. Ini menjelaskan mengapa penyakit leptospirosis banyak terjadi di daerah tropis yang lembap dan rawan genangan air.
Vektor Penyakit Leptospirosis
Tikus merupakan vektor utama sekaligus reservoir alami bagi bakteri Leptospira. Hewan ini menyimpan bakteri di ginjalnya dan menyebarkannya ke lingkungan melalui urin, bahkan tanpa menunjukkan gejala sakit. Urin yang terbuang ke saluran air, tanah, makanan, atau genangan air dapat menjadi sumber penularan bagi manusia maupun hewan lainnya. Oleh karena itu, pengendalian populasi tikus menjadi langkah penting dalam memutus mata rantai penyebaran penyakit ini. Selain tikus, beberapa hewan peliharaan dan ternak seperti anjing dan sapi juga berpotensi menjadi pembawa Leptospira. Walaupun mereka tidak selalu menunjukkan gejala sakit, mereka bisa menyebarkan bakteri ke lingkungan sekitarnya. Untuk itu, tersedia vaksin leptospirosis khusus untuk hewan, yang direkomendasikan diberikan setiap tahun. Vaksinasi ini tidak hanya melindungi hewannya, tetapi juga mengurangi risiko penularan silang kepada manusia, terutama bagi mereka yang tinggal atau bekerja di sekitar hewan tersebut.
Faktor Risiko Leptospirosis
Leptospirosis dapat menyerang siapa saja, namun seperti yang disinggung di atas, terdapat kelompok masyarakat tertentu yang memiliki risiko lebih tinggi untuk terinfeksi, terutama karena sifat pekerjaan atau aktivitas harian mereka yang meningkatkan kemungkinan kontak dengan sumber kontaminasi, seperti:
- Bekerja di sektor pertanian dan peternakan
- Petugas kebersihan dan pengelola sampah
- Pekerja pet shop atau pengelola hewan
- Anggota militer yang kerap bertugas di lapangan atau daerah terpencil
- Tinggal di DAS (daerah aliran sungai) perkotaan, karena sungai di perkotaan di Indonesia sering sekali kotor dan banyak sampah
- Melakukan aktivitas berenang, berkemah, atau kayak di danau, sungai, atau area air terbuka lainnya, terutama setelah hujan lebat, apa lagi banjir
- Bahkan, aktivitas sederhana seperti berjalan tanpa alas kaki di pasar tradisional, atau area lembap yang kurang terawat, terutama jika ada luka kecil pada kulit kaki.
Gejala dan Tahapan Klinis Leptospirosis
Leptospirosis memiliki spektrum gejala yang luas, tergantung pada tingkat keparahan infeksi dan respons imun tubuh penderita. Secara umum, penyakit ini berkembang dalam dua fase utama, yaitu fase anicteric (tanpa terjadi tubuh kuning) dan fase icteric (terjadi tubuh kuning) atau yang dikenal sebagai Weil’s disease (penyakit Weil). Fase anicteric syndrome mencakup sekitar 90% dari seluruh kasus leptospirosis:
Baca artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
- Gejala mirip flu: demam mendadak, nyeri otot (terutama betis dan punggung bawah), sakit kepala, batuk, mual, diare, mata merah.
- Durasi biasanya 1-2 minggu, namun bisa tak bergejala sama sekali.
- Terjadi setelah fase ringan membaik lalu memburuk kembali, atau pada saat tubuh tidak dapat mengatasi infeksinya.
- Ditandai dengan terjadinya kuning (jaundice), hepatitis, perdarahan spontan, aritmia, dan kesulitan bernapas.
- Komplikasi berat dapat terjadi rhabdomyolysis (kerusakan otot yang serius), gagal ginjal/paru/hati, meningitis (radang selaput otak), myocarditis (radang otot jantung), shock, sampai terjadi kematian.
Situasi Leptospirosis di Bandung Raya
Menurut data dan rilis resmi Kemenkes RI, terdapat tren peningkatan keprihatinan terhadap leptospirosis, terutama saat curah hujan tinggi di tahun 2025. Pada akhir tahun 2024 yang lalu, Kemenkes menerbitkan surat edaran antisipasi leptospirosis dan demam berdarah Dengue, yang melibatkan Bandung sebagai wilayah rawan. Lalu pada tgl. 26 Juni 2025, Dinkes Provinsi Jabar juga mengingatkan masyarakat terhadap peningkatan kasus, seiring aktivitas tikus meningkat saat genangan air muncul. Walaupun belum tersedia statistik angka pasti kasus leptospirosis di wilayah Bandung Raya, peringatan dan surat edaran tersebut menunjukkan bahwa kasus telah meningkat secara signifikan selama semester I tahun 2025. Imbauan di atas menandakan bahwa pemerintah pusat dan provinsi memfokuskan Bandung Area sebagai one of priority areas untuk antisipasi penyakit ini.
Penegakan Diagnosis Leptospirosis
Dalam menegakkan diagnosis leptospirosis diperlukan pendekatan klinis yang cermat dan wawasan epidemiologis yang kuat. Langkah pertama biasanya dimulai dari penelusuran riwayat paparan pasien, seperti apakah mereka pernah berkontak dengan air banjir, lumpur, urin hewan, atau tinggal di daerah dengan sanitasi buruk dan keberadaan tikus yang tinggi, terutama saat pasien datang dengan keluhan demam disertai nyeri otot dan mual. Pemeriksaan penunjang yang juga dapat dilakukan:
- Hitung darah lengkap, pemeriksaan fungsi ginjal (kreatinin), dan pemeriksaan fungsi liver (bilirubin)
- Pemeriksaan MAT (microscopic agglutination test) yang merupakan gold standard untuk leptospirosis, yaitu mendeteksi antibodi terhadap bakteri Leptospira dalam serum darah pasien
- Pemeriksaan PCR untuk mendeteksi keberadaan DNA bakteri secara langsung
- Bila diperlukan pemeriksaan IgM dengan metoda ELISA yang dapat membantu mengidentifikasi infeksi aktif.
Pengobatan Leptospirosis
Strategi pengobatan leptospirosis sangat bergantung pada tingkat keparahan gejala yang dialami pasien. Pada kasus yang tergolong ringan, yang umumnya hanya menunjukkan gejala seperti demam, nyeri otot, atau kelelahan, pengo-batan dapat dilakukan secara rawat jalan. Pasien dianjurkan untuk banyak beristirahat, menjaga kecukupan cairan tubuh, serta mengkonsumsi obat pereda nyeri dan penurun demam seperti ibuprofen atau paracetamol. Selain itu, dokter biasanya meresepkan antibiotik oral, yang terbukti efektif mengurangi durasi dan keparahan penyakit jika diberikan sejak dini.
Namun, pada kasus yang lebih berat, terutama yang telah berkembang menjadi Weil’s disease, penanganan harus dilakukan secara intensif di rumah sakit. Penderita membutuhkan perawatan lanjutan karena infeksi dapat menyebabkan kerusakan multi-organ. Antibiotik yang digunakan dalam kondisi ini umumnya diberikan secara intravena, untuk memastikan konsentrasi obat yang memadai dalam aliran darah. Perawatan suportif juga sangat penting untuk mendukung organ yang terdampak. Pasien dengan gagal ginjal mungkin memerlukan dialisis, sementara pasien dengan gangguan pernapasan dapat membutuhkan bantuan ventilator.
Pencegahan
Semua penyakit lebih baik dicegah dari pada mengobati, demikian pula halnya dengan infeksi leptospirosis, pencegahan merupakan langkah yang sangat penting, mengingat penyakit ini sering kali muncul akibat kontak dengan lingkungan yang terkontaminasi dan sulit terdeteksi secara kasat mata. Salah satu langkah paling dasar adalah menghindari kontak langsung dengan air atau lumpur yang kemungkinan tercemar urin hewan, terutama setelah terjadinya banjir atau genangan air akibat hujan deras. Kementerian Kesehatan RI secara khusus mengimbau masyarakat untuk tidak berenang, bermain, atau berjalan di air banjir tanpa perlindungan yang memadai, karena risiko penularannya sangat tinggi di situasi seperti itu.
Selain itu, penggunaan alas kaki dan alat pelindung diri lainnya seperti sarung tangan dan sepatu bot sangat dianjurkan, terutama bagi mereka yang bekerja di lingkungan berisiko tinggi seperti tempat pembuangan sampah, selokan, sungai, lahan pertanian, atau pasar tradisional. Luka kecil pada kulit, yang sering dianggap sepele, bisa menjadi pintu masuk bakteri Leptospira ke dalam tubuh. Lingkungan yang bersih, bebas dari tumpukan sampah, dan tidak lembap akan mengurangi daya tarik bagi tikus untuk berkembang biak. Strategi pengelolaan sampah yang baik, memperbaiki saluran air, serta menutup ma-kanan menjadi bagian integral pencegahan leptospirosis.
Penutup
Leptospirosis, walaupun terlihat ringan, menyembunyikan potensi komplikasi yang berat. Di Bandung dan sekitarnya, meningkatnya kasus dalam semester pertama 2025 menuntut sinergi antisipatif dan responsif dari masyarakat, tenaga kesehatan, dan pemerintah. Sayangnya, hingga saat ini vaksin leptospirosis hanya tersedia untuk hewan, dan belum tersedia vaksin leptospirosis yang dapat digunakan untuk manusia. Sudah ada penelitian di beberapa negara seperti Kuba dan Prancis yang telah menghasilkan vaksin untuk manusia. Namun sifatnya hanya terbatas dengan efektivitas pada beberapa strain saja. Aksi nyata seperti edukasi lingkungan, penggunaan alat pelindung diri, deteksi dini, serta respon medis cepat kunci melawan leptospirosis.
©IKM 2025-07