Beberapa waktu terakhir, kita melihat gelombang tren baru di dunia minuman, termasuk di Indonesia. Jika dulu kafe identik dengan kopi, kini pilihan menu sering menampilkan satu minuman hijau yang sedang naik daun: matcha. Matcha hadir dalam bentuk latte, es krim, kue, pancake, hingga minuman kekinian dengan topping boba. Di kota-kota besar Indonesia, minuman matcha kerap menjadi menu favorit anak muda. Popularitasnya tidak terlepas dari pengaruh budaya Jepang yang semakin dikenal lewat anime, dorama, kuliner, dan tren gaya hidup sehat. Matcha, yang dulu identik dengan upacara minum teh di Kyoto, kini telah menjadi bagian dari urban lifestyle masyarakat Indonesia. Apakah matcha benar-benar sehat, atau hanya tren gaya hidup yang dipoles dengan label “superfood”?
Untuk memahami matcha, kita perlu kembali ke akar sejarahnya. Matcha berasal dari Jepang, namun sebenarnya benihnya datang dari Tiongkok pada abad ke-9. Seorang biksu Zen bernama Eisai membawa biji teh hijau ke Jepang pada abad ke-12, lalu mengembangkan tradisi minum teh sebagai bagian dari meditasi. Dalam tradisi Jepang, matcha tidak sekadar minuman. Ia bagian dari chanoyu, upacara minum teh yang sarat filosofi. Matcha dipandang sebagai simbol keharmonisan, kesederhanaan, ketenangan, dan penghormatan terhadap alam. Bahkan sampai hari ini, upacara minum teh masih dilakukan di Jepang terutama di Kyoto, lengkap dengan pakaian kimono, tatami, dan ritual penuh makna. Di Indonesia, tentu saja kita tidak memandang matcha dengan cara yang sama. Kita lebih mengenalnya sebagai minuman segar, enak, dan “instagramable”.
Follow Dr. Indra on Instagram