Kita semua pernah mengalami pikiran ‘barkabut’ misalnya ketika kurang tidur di malam hari atau sedang banyak masalah yang harus diselesaikan. Akan sulit sekali untuk fokus dan berkonsentrasi membuat produktivitas menjadi menurun. Sebagian orang malah akan merasa khawatir, gugup, berfikiran negatif, stres, bahkan depresi. Akhir-akhir ini semakin sering seseorang mengalami seperti ini bahkan ketika cukup tidur di malam hari sebelumnya. Sebagian ahli menduga salah satu penyebabnya adalah terlalu lama berada di depan komputer, laptop, atau layar telepon genggam (HP) sehingga menyebabkan apa yang disebut sebagai digital information overload atau kebanjiran informasi digital. Keadaan yang dapat berujung pada kondisi yang dikenal sebagai “brain rot” atau “brainrot.”
Brain rot bila diterjemahkan secara langsung adalah “kebusukan otak.” Bukan berarti otak membusuk secara organ melainkan tugasnya yang terganggu, sehingga lebih tepat dikatakan sebagai “kebuntuan otak.” Istilah brain rot pertama kali digunakan pada tahun 1854 di dalam buku berjudul Walden (berarti “hutan” dalam bahasa Inggris kuno) karya Henry Davit Thoreau. Dalam buku itu Thoreau mengkritisi apa yang ia lihat sebagai penurunan dari standar intelektual di masyarakat Eropa kala itu yang dibandingkannya dengan metafora “potato rot” atau “kentang busuk.”
Brain Rot dan Budaya Internet
Selain dijadikan sebagai kata benda untuk konten di dunia maya yang “receh” atau tidak ada manfaatnya, brain rot juga dijadikan kata sifat sebagai efek negatif pada psikis serta kemunduran fungsi kognitif otak dan intelektual seseorang sebagai akibat dari konten receh tersebut. Secara umum brain rot menggambarkan dampak merugikan yang terkait dengan penggunaan media digital secara berlebihan, sampai ada prilaku dan kebiasaan secara terus menerus melihat konten atau berita negatif yang tidak jarang memancing emosi di sosial media, websites, portal berita, dll. Brain rot ini oleh sebagian ahli kini dikenal dapat menyebabkan kecemasan, kesedihan, stres, dan gangguan kesehatan jiwa lainnya.
Brain Rot dan Kesehatan Jiwa
Fenomena brain rot ini sekarang semakin banyak dibahas di lingkup kesehatan jiwa, sehingga istilah brain rot oleh sebagian ahli digunakan juga untuk menggambarkan kondisi jiwa seseorang yang berkabut dan terjadi penurunan kognitif akibat aktivitas berlebih di dunia maya. Walaupun masih ada sebagian ahli yang berpendapat tidak ada hubungan langsung antara aktivitas di dunia maya ini terhadap gangguan jiwa, dan memang belum dikatakan sebagai kondisi medis tertentu, tapi sudah jelas bahwa brain rot adalah sebuah fenomena yang nyata.
Para ahli yang meyakini adanya hubungan tersebut berpendapat bahwa ketika seseorang menghabiskan berjam-jam untuk surfing dan scrolling, ia akan mengkonsumsi data atau informasi yang tidak berguna dalam jumlah yang sangat besar; seperti berita negatif dan foto-foto hasil edit-an dari teman atau celebrities yang membuat diri merasa kurang berarti atau kurang beruntung. Berusaha untuk menyerap dan mencerna banjirnya konten tersebut akan membuat kelelahan mental (mental fatigue) yang akan berujung pada turunnya motivasi, fokus, produktivitas, dan semangat terutama pada orang berusia muda.
Brain Rot dan “Kecanduan Internet”
Aktivitas di atas dapat membuat aktifnya produksi hormon dopamin di otak membuat munculnya rasa senang untuk melakukannya. Semakin sering dilakukan, akan semakin muncul rasa untuk terus melakukannya. Otak akan mengasosiasikan aktivitas tersebut sebagai rasa kepuasan, bahkan ketika pelakunya sadar sepenuhnya bahwa yang dilakukannya sesuatu yang kurang atau tidak berguna serta dapat berdampak buruk bagi kesehatan jiwa. Bila sudah terjadi seperti ini, maka pelakunya dikatakan sudah memiliki perilaku kecanduan. Dengan kecanduan tersebut sudah pasti ia akan bertambah sering melakukannya, sampai akhirnya menyebabkan otak ter-over stimulasi, terbanjiri oleh terlalu banyak informasi, maka terjadilah brain rot.
Baca artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Akibat dari penggunaan perangkat yang terhubung pada dunia maya secara berlebihan tersebut, kini sering kita dengar juga istilah brain rot behavior atau perilaku brain rot. Para ahli sampai menjabarkan aktivitas apa saja yang dapat dikatakan sebagai brain rot behavior ini, sbb.:
- Video gaming. Mungkin saja gemar bermain “game” di perangkat digital tanpa harus kecanduan. Namun tidak sedikit gamers sampai bermain secara kompulsif dan terkena gaming disorder atau kelainan prilaku akibat bermain game. Mereka seperti terhipnotis pada dunia game, karakter dalam game, dan plot yang rumit dalam dunia maya, sampai pada titik kesulitan berfungsi dalam kehidupannya di dunia nyata.
- Doomscrolling. Adalah aktivitas dengan sengaja mencari informasi atau berita yang negatif. Ada rasa FOMO (fear of missing out) atau rasa takut ketinggalan bila tidak mencari berita terbaru, bahkan ketika berita itu berita yang buruk.
- Zombie scrolling. Lebih parah dari doomscrolling, adalah aktivitas scrolling di internet dan media sosial tanpa ada tujuan pasti, bahkan sering dilakukan dengan pikiran yang kosong tanpa ada tujuannya. Pelakunya sering menatap gadget dengan pandangan yang kosong.
- Kecanduan media sosial. Ditandai dengan adanya dorongan kuat untuk membuka dan mengakses media sosial, serta ada rasa gelisah saat berusaha untuk meninggalkan kebiasaan tersebut. Ada tiga media sosial saat ini yang paling banyak menyebabkan kecanduan, yaitu YouTube, Instagram, dan TikTok. Notifikasi yang terus menerus membuat penderitanya merasa bahagia, tapi juga membuatnya sulit berpikir jernih.
Efek Perilaku Brain Rot pada Anak dan Orang Muda
Seperti yang disinggung di atas bahwa perilaku brain rot saat ini paling banyak mengenai anak dan orang berusia muda. Walaupun tidak menutup kemungkinan orang dewasa juga dapat terkena brain rot. Menghabiskan waktu menatap layar gadget seperti sesuatu yang tidak berbahaya. Namun lama-kelamaan perilaku brain rot dapat merusak kesehatan mental dan emosi. Otak manusia memang lebih mudah mengingat informasi negatif dibandingkan positif. Konten di dunia maya yang tidak berguna bahkan negatif secara berlebihan akan menurunkan ambang stimulus seseorang terhadap kondisi negatif membuatnya kesulitan untuk memiliki perasaan positif dan merasakan kesenangan.
Penelitian juga sudah menunjukkan bahwa aktivitas di dunia maya secara berlebihan dan mencetus brain rot dapat menyebabkan perubahan jangka panjang pada kemampuan kognitif seseorang terkait dengan perhatian dan ingatan. Dilaporkan penelitian yang dilakukan pada 1.051 orang muda berusia 18-27 tahun, kecanduan media sosial secara signifikan berdampak negatif pada kemampuan mereka dalam menyusun rencana, mengeksekusi rencana, memecahkan masalah, mengambil keputusan, serta menurunkan kemampuan daya ingatnya. Brain rot lebih berisiko terjadi pada anak dan dewasa muda pertama memang mereka adalah pengguna terbesar dunia maya saat ini, selain itu usia muda memang cendrung mengalami jiwa yang lebih labil dibandingkan usia yang lebih dewasa.
Brain Rot Merusak Konsep Diri
Lebih jauh lagi perilaku brain rot dapat merusak konsep diri seseorang. Seiring dengan meningkatnya interaksi sosial di internet, dunia maya memiliki alam semesta sosialnya sendiri, terutama pada Generasi Z dan Alfa. Berapa banyak teman yang dimiliki, berapa banyak followers atau “like” yang didapat dari postingan-an yang diunggah, dapat terpampang bagi banyak orang untuk dilihat, diketahui, bahkan dikomentari. Maka pelakunya akan mudah sekali jatuh dalam perangkap membandingkan diri dengan orang lain. Belum lagi informasi yang belum tentu benar didapat dari dunia maya tentang keberhasilan teman atau orang lain, pergi liburan ke tempat eksotis, memiliki kehidupan yang terlihat sangat sempurna, sampai foto-foto ideal yang sering merupakan hasil edit-an menggunakan AI dan filters; akan hanya membuat perilaku brain rot menjadi rusak konsep dirinya. Akan muncul rasa tidak puas dan merasa menderita tentang kehidupannya yang berujung pada stres kecemasan, depresi, sampai menderita sakit jiwa.
Penyebab Lain Kelelahan Mental
Perilaku brain rot memang bukan satu-satunya penyebab dapat terjadinya kelelahan mental. Karena ada penyebab lain yang dapat mengganggu kesehatan mental lebih dari sekedar efek media sosial. Sebut saja efek dari kemiskinan, status sosioekonomi, masalah di keluarga atau hubungan, dll., yang boleh jadi malah dapat berefek lebih besar terhadap terjadinya kelelahan mental serta penurunan fungsi kognitif dan intelektual seseorang. Karenanya para ahli yang tidak begitu setuju terhadap pernyataan brain rot yang ramai sejak tahun 2024 ini merupakan penyebab terjadinya penurunan fungsi kognitif, konsentrasi, dan intelektual, serta dapat mencetus stres, kecemasan bahkan depresi; mereka merasa perlu untuk melihat pada perspektif yang lebih luas dalam kehidupan penderitanya.
Mengatasi dan Mencegah Brain Rot
Walaupun bukan satu-satunya tetap saja brain rot berefek negatif pada kesehatan mental. Para ahli percaya dengan cara-cara di bawah ini dapat mengatasi sekaligus mencegah terjadinya brain rot serta memperbaiki kesehatan mental dan emosi akibat perilaku brain rot:
- Batasi screen time atau waktu penggunaan gadget. Mulai dengan menyadari kebiasaan diri berapa waktu yang digunakan dalam 24 jam menatap layar gadget yang bukan untuk tujuan pekerjaan/belajar. Banyak orang terkejut ketika mengetahui statistik dirinya ini. Setelah itu tetapkan waktu maksimal untuk mengizinkan diri menggunakan gadget selain untuk pekerjaan/ belajar tersebut. Matikan notifikasi dari media sosial, serta hindari membuka media sosial sebelum tidur.
- Atur isi feeds yang dikonsumsi untuk hal-hal yang lebih berguna saja. Hindari ikut membaca atau melihat posting-an tentang hal yang sensasional dan negatif. Konsumsi berita dari portal resmi, bukan dari posting-an seseorang. Unfollow akun yang sering berisi konten memancing amarah dan rasa tidak nyaman. Follow akun yang nyaman bagi jiwa dan informasi bermanfaat.
- Lakukan digital detox yaitu benar-benar tidak menggunakan media sosial sama sekali. Penelitian melaporkan bahwa tidak menggunakan media sosial selama 7 hari saja sudah secara signifikan meningkatkan kesejahteraan mental dibandingkan 7 hari saat menggunakannya. Disarankan dengan menggunakan metoda mengurangi 15 menit setiap hari sampai benar-benar dapat terlepas.
- Terhubung secara offline dengan orang yang positif seperti keluarga dan teman lama untuk melakukan aktivitas di dunia nyata. Miliki komunitas sosial yang sebenarnya dan melakukan hal-hal positif bersama. Cari dukungan emosi dan teman curhat dari orang secara tatap muka, bukan melalui layar gadget.
- Miliki ketertarikan yang non-digital seperti olahraga, aktivitas fisik lain, serta hobby yang tidak menggunakan gadget. Beraktivitas di luar rumah & perbanyak ibadah.
©IKM 2025-02