Pernahkah Anda merasakan butterflies di perut saat grogi, atau perut “mulai protes” saat stres kerja menumpuk? Banyak dari kita pernah, dan itu bukan sekadar ungkapan. Dalam beberapa dekade terakhir, ilmu pengetahuan menunjukkan ada komunikasi intens antara perut dan otak melalui jalur yang disebut “gut–brain axis”. Menariknya, sebagian besar serotonin, neurotransmitter yang populer juga disebut “hormon bahagia,” dihasilkan oleh sel yang berada di saluran cerna, bukan oleh otak itu sendiri. Ini menjelaskan mengapa gangguan pencernaan sering berjalan beriringan dengan gangguan suasana hati. Ketika “ekosistem” di perut terganggu, sinyal yang dikirim ke otak juga berubah. Lalu sebaliknya, stres atau kecemasan dapat mengubah fungsi pencernaan.
Sistem pencernaan ternyata bukan hanya saluran mekanis untuk memproses makanan. Di dalam usus hidup triliunan mikroorganisme, komunitas yang disebut mikrobiota usus yang berperan pada pencernaan, sintesis vitamin, regulasi imun, dan produksi banyak molekul bioaktif. Komposisi mikrobiota berbeda tiap orang, dipengaruhi pola makan, lingkungan, usia, penggunaan obat (mis. antibiotik), hingga status gizi. Beberapa fungsi penting mikrobiota:
- Memecah serat menjadi short-chain fatty acids (SCFA) atau asam lemak rantai pendek yang memberi energi bagi sel usus dan berefek anti inflamasi.
- Berkontribusi pada sintesis beberapa jenis vitamin B dan pemrosesan zat nutrisi.
- Memengaruhi kematangan sistem imun, sehingga keteraturan komposisi mikrobiota membantu melindungi dari infeksi dan inflamasi berlebih.
- Berinteraksi dengan sistem saraf enterik dan menghasilkan molekul yang memengaruhi neuro-transmiter dan hormon.
Fakta di Indonesia
Untuk konteks Indonesia, ada penelitian lokal menunjukkan bahwa komposisi mikrobiota usus pada anak-anak yang mengalami stunting ternyata berbeda dibandingkan dengan anak-anak yang tumbuh normal. Mikrobiota usus berperan penting tidak hanya dalam proses pencernaan, tetapi juga dalam pengaturan metabolisme, penyerapan zat gizi, serta sistem imun. Studi yang dilakukan di berbagai wilayah Indonesia (NTT, Jawa Barat, dan Kalimantan), menemukan adanya pola dysbiosis atau ketidak-seimbangan mikrobiota pada anak-anak stunting. Bakteri baik seperti Bifidobacterium dan Lactobacillus cenderung berkurang, sementara bakteri oportunistik justru meningkat. Kondisi ini berhubungan dengan gangguan penyerapan gizi dan peradangan tingkat rendah yang dapat berlangsung kronis.
Gut–Brain Axis: Jalan Dua Arah yang Nyata
Istilah gut–brain axis melibatkan beberapa jalur komunikasi, yaitu saraf vagus, sistem imun (sitokin dan inflamasi), metabolit mikrobial (SCFA, tryptophan metabolites), dan hormon. Di usus ada sistem saraf enterik yang sering disebut second brain atau “otak kedua” yang berisi jutaan neuron dan mampu mengatur fungsi pencernaan secara independen, namun tetap berkaitan erat dengan otak melalui saraf vagus. Berikut beberapa poin penting terkait hal ini:
- Saat stres akut atau kronis, otak memicu respon yang mengubah motilitas usus, sekresi, dan permeabilitas dinding usus, sampai mengubah lingkungan mikrobiota.
- Mikroorganisme di usus menghasilkan neuromodulator (serotonin, GABA, prekursor dopamin) atau meme-ngaruhi metabolisme tryptophan dan prekursor serotonin. Studi tinjauan menyatakan bahwa sekitar 90% serotonin tubuh disintesis di saluran pencernaan oleh sel-sel enterochromaffin yang kemudian berdampak pada mood dan perilaku.
- Eksperimen pada hewan dan uji klinis pada manusia menunjukkan perubahan perilaku (kecemasan, mood) setelah manipulasi mikrobiota. Inilah alasan munculnya istilah psychobiotics untuk probiotik yang berpotensi memengaruhi kesehatan mental.
Dampak pada Mood, Energi, dan Kualitas Hidup
Gangguan keseimbangan mikrobiota (dysbiosis) dan kondisi pencernaan kronis bisa memicu atau memperberat gejala mental seperti penurunan konsentrasi, gangguan tidur, kecemasan, hingga depresi. Mekanismenya melibatkan inflamasi kronis berkepanjangan, gangguan metabolit mikrobiota, dan sinyal saraf yang berubah. Berikut beberapa kondisi yang relevan dengan fakta ini:
- IBS (Irritable Bowel Syndrome). Salah satu gangguan fungsional pencernaan yang sering berkaitan erat dengan gangguan kecemasan dan depresi.
- Dysbiosis dan peradangan ringan. Dysbiosis dapat memicu low-grade inflammation (peradangan ringan) yang memengaruhi otak melalui produksi sitokin proinflamasi yang terkait dengan kelelahan kronis, mood buruk, dan gangguan kognitif.
- Sembelit kronis. Selain mengganggu aktivitas sehari-hari, sembelit kronis dapat meningkatkan ketidak-nyamanan dan kecemasan terkait kondisi tubuh sendiri.
Baca artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Walaupun tidak persis sama hasilnya untuk setiap orang, namun mengubah pola makan atau menambah probiotik bisa membantu mengatasi rasa cemas atau depresi. Kombinasi probiotik dengan prebiotik dapat membantu mengurangi gejala depresi dan kecemasan ringan hingga sedang, meski hasil antarstudi masih bervariasi tergantung jenis bakteri, dosis, lama konsumsi, dan kondisi individu. Istilah baru bahkan muncul: “psychobiotics”, yaitu mikro-organisme yang jika dikonsumsi cukup dapat memberikan efek menguntungkan bagi kesehatan mental. Tentunya tetap harus disertai dengan revolusi gaya hidup dengan memperbaiki pola makan, olahraga teratur, tidur cukup, dan manajemen stres, yang tetap menjadi langkah utama terbukti bermanfaat bagi suasana hati.
Data dan Penelitian di Indonesia
Berikut beberapa temuan dan angka dari data dan penelitian di Indonesia.
- Stunting dan mikrobiota. Studi multisite di Indonesia menemukan perbedaan komposisi mikrobiota antara anak stunting dan non-stunting di beberapa daerah (NTT, Jawa Barat, dan Kalimantan), menunjukkan peran mikrobiota dalam nutrisi dan pertumbuhan. Upaya intervensi menggunakan probiotik lokal sedang diteliti untuk mendukung catch-up growth atau mengejar ketertinggalan pertumbuhan.
- Prevalensi gangguan pencernaan pada remaja. Studi di Palembang melaporkan prevalensi IBS pada remaja yang cukup tinggi (~30%) pada sampel tertentu walaupun hasil berbeda antar studi dan lokasi.
- Konsumsi tempe. Tempe merupakan makanan fermentasi khas Indonesia yang kaya probiotik alami. Data BPS 2021 menyebut konsumsi tempe mingguan di Indonesia sekitar 146 gram per kapita per minggu. Hal ini menunjukkan bahwa tempe masih menjadi bagian penting dalam pola makan Indonesia dan menunjukkan tren konsumsi meningkat dari tahun sebelumnya. Ini menunjukkan potensi budaya pangan Indonesia yang sudah mendukung kesehatan mikrobiota jika dipertahankan dan dimanfaatkan secara baik.
Langkah Nyata untuk “Perut Sehat, Mood Happy”
1. Makanan dan nutrisi
- Tambahkan serat tiap hari: sayur, buah-buahan, biji-bijian utuh. Karena serat menjadi “makanan” bagi bakteri baik yang menghasilkan SCFA.
- Konsumsi makanan fermentasi seperti tempe, tape, atau yogurt (pilih yang tidak banyak gula).
- Kurangi makanan olahan dan minuman manis. Gula berlebih menurunkan keragaman mikrobiota.
- Cukupi prebiotik alami: bawang merah, bawang putih, pisang sedikit mentah, ubi, asparagus yang dapat men-support pertumbuhan probiotik.
2. Gaya hidup
- Tidur cukup dan berkualitas. Ritme sirkadian memengaruhi mikrobiota dan hormon.
- Aktivitas fisik dan olahraga rutin yang dapat meningkatkan keragaman mikrobiota dan mood.
- Kelola dan manfaatkan stres. Stres kronis mengubah motilitas usus dan komposisi mikrobiota.
- Berhenti rokok dan jauhi asap rokok orang lain.
3. Konsumsi suplemen
Suplemen probiotik bisa dipertimbangkan pada orang dengan gejala ringan sampai sedang. Namun pilih produk yang telah dipelajari secara klinis, konsultasikan ke dokter, dan pahami bahwa efek bisa strain-spesifik. Bukti klinis menunjukkan potensi manfaat, tapi tidak semua produk akan memberi efek yang sama.
4. Saatnya pergi ke dokter
Bila ada keluhan pencernaan berat, kronis, atau disertai penurunan berat badan, darah pada tinja, atau demam; konsultasikan pada dokter untuk pemeriksaan lengkap. Kombinasi evaluasi medis dan pendekatan nutrisi /psikososial sering diperlukan, terutama saat ada komorbiditas psikologis.
Kisah Singkat: Contoh Perubahan Nyata
Seorang pria pekerja kantor berusia 38 tahun di kota besar Indonesia sering mengalami kembung, sulit tidur, dan mudah emosi setelah jam kerja. Setelah evaluasi singkat, ia diarahkan untuk mencoba pendekatan bertahap: mengurangi kafein berlebih, menambahkan sarapan tinggi serat (oat + pisang), makan siang dengan sayur lebih banyak dan tempe dua kali seminggu, tidur lebih teratur, serta jalan pagi 20–30 menit setiap hari. Dalam 4 minggu, ia me-laporkan frekuensi kembung berkurang, tidur lebih nye-nyak, dan suasana hati lebih stabil. Tidak semua orang akan merespons sama cepat, tapi cerita ini menegaskan bahwa perubahan pola makan dan gaya hidup sederhana dapat memberi dampak signifikan pada pencernaan dan mood.
Batasan Bukti dan Harapan Masa Depan
Beberapa hal perlu diingat, bahwa bukti tentang efek diet dan probiotik terhadap suasana hati memang menjanjikan, tetapi hasil antarstudi masih beragam karena perbedaan jenis bakteri, dosis, durasi, dan karakteristik peserta. Meta-analisis menunjukkan manfaat pada depresi ringan sampai sedang, namun penelitian lebih terstandar masih dibutuh-kan. Di Indonesia, riset juga menunjukkan perbedaan mikrobiota antar daerah dan kaitannya dengan status gizi seperti stunting, sehingga intervensi gizi sebaiknya disesuaikan dengan konteks lokal, misalnya dengan memanfaatkan makanan fermentasi tradisional seperti tempe. Ke depan, penelitian seperti precision psychobiotics diharapkan memberi solusi yang lebih efektif, tetapi untuk saat ini pendekatan holistik melalui revolusi gaya hidup dengan perbaikan pola makan, gaya hidup sehat, dukungan psikologis, dan penggunaan probiotik secara tepat tetap menjadi pilihan terbaik.
Penutup
Perut sehat bukan hanya soal makan enak, melainkan sebuah pondasi untuk keseimbangan fisik dan mental. Ketika kita merawat mikrobiota dan fungsi pencernaan melalui pola makan baik, tidur cukup, olahraga, dan manajemen stres kita memberi otak pesan yang lebih tenang. Kalau perut sering “ngambek”, mungkin otak pun sedang memendam tanda-tanda yang perlu didengarkan. Mulailah dari langkah kecil hari ini:
- Tambahkan porsi sayur atau buah di tiap makan.
- Masukkan tempe atau sumber makanan fermentasi beberapa kali seminggu.
- Kurangi minuman manis kemasan.
- Perhatikan tidur dan istirahat.
©IKM 2025-10
Follow Dr. Indra on Instagram