Pandemi dan endemi yang terjadi karena virus tidak akan pergi dan selesai begitu saja, karena selalu akan menunggu terjadinya herd immunity atau kekebalan komunitas yang didapat dengan atau tanpa vaksin. Bila didapatkannya tanpa vaksin, maka akan memakan waktu yang sangat lama dengan korban jiwa puluhan bahkan ratusan juta orang di seluruh dunia. Umat manusia sudah belajar 2 kali untuk 2 kasus yang berbeda. Pertama pandemi Spanish flu yang tanpa vaksin, dan yang kedua campak yang diatasi dengan vaksin. Keduanya memberikan akhir cerita yang berbeda. Sekarang kita dihadapkan oleh pandemi COVID-19 (C19) yang harus kita pilih, mau diselesaikan dengan vaksin atau tanpa vaksin, tentunya dengan segala konsekuensinya.
- Sampai tengah Desember 2020 sudah 184 vaksin diciptakan. 59 di antaranya sedang menjalani human trial (uji klinis).
- Dari 59 tersebut, setidaknya sudah 12 yang berada pada akhir uji klinis tahap 3 dan siap untuk diproduksi masal.
- Dari 12 tersebut, laporan yang sudah bisa didapatkan vaksin memberikan kekebalan antara 70-95%. Suatu angka yang menggembirakan mengingat singkatnya waktu yang dimiliki dalam membuat vaksin-vaksin tersebut.
- Sayangnya hanya sekitar 64,8% saja masyarakat Indonesia yang mengatakan bersedia divaksin. 27,6% belum bisa menentukan, sementara 7,6% menyatakan tidak mau. Angka-angka ini seragam dan merata di seluruh wilayah.
Kita ambil 2 perbandingan yang semua orang sudah sangat sering mendengar yaitu antara penyakit Spanish flu dan campak yang berbeda penanganan dan hasil akhirnya. Pertama adalah Spanish flu yang tanpa vaksin. Baru bisa selesai setelah hampir 3 tahun, menginfeksi 1/3 populasi dunia dengan korban meninggal >50 (bahkan 100) juta orang. Dan yang kedua adalah campak yang rutin menyebabkan endemi lokal di hampir seluruh wilayah dunia. Angka kematian turun drastis dari 3.000 orang dari setiap 1 juta orang yang terinfeksi pada tahun 1960-an, menjadi hanya 1 orang saja pada tahun 2000 dari setiap 1 juta orang yang terinfeksi. Keduanya memang berhasil menciptakan kekebalan komunitas, tapi dengan kerugian nyawa yang jauh berbeda. Dari dua kejadian itu saja, mungkin hanya orang yang tidak berfikir waras yang akan memilih penyelesaian tanpa vaksin untuk pandemi C19 yang sedang kita hadapi saat ini. Belum lagi ada kenyataan bahwa seseorang bisa terinfeksi SARS-CoV-2 penyebab C19 ini > 1 kali karena kekebalan tidak tercipta dalam tubuhnya.
Swedia Mencobanya
Satu negara di dunia yaitu Swedia mencoba untuk menciptakan kekebalan komunitas C19 tanpa vaksin dengan menyarankan warganya untuk beraktivitas normal seperti biasa pada awal pendemi ini. Tapi kemudian dilaporkan dalam the Journal of the Royal Society of Medicine November 2020 yang lalu, kekebalan komunitas Swedia masih sangat jauh dari tercipta, dan kematian karena C19 jelas lebih tinggi persentasenya dibandingkan dengan 2 negara Skandinavia tetangganya. Akhirnya Swedia, walaupun terlambat menerapkan peraturan lock down juga. Swedia berani mengambil resiko ini karena jaminan kesehatan di sana adalah yang terbaik di dunia. Artinya bila ada yang sakit, warganya akan mendapatkan pelayanan terbaik tanpa harus membayar sepeser pun.
Bila Indonesia Mencobanya
Dengan cepatnya C19 ini menyebar dan dengan jaminan pelayanan kesehatan yang masih jauh dari sempurna di Indonesia, bila kita berani mencoba meniru seperti Swedia, maka ini yang mungkin akan terjadi:
- Jelas kekebalan komunitas tidak bisa cepat terjadi. Di Swedia saja hampir 1 tahun belum terjadi juga.
- 2/3 orang di Indonesia atau sekitar 180 juta orang akan terinfeksi C19.
- Dari yang terinfeksi dan menjadi sakit banyak yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan karena RS sudah tidak dapat melayaninya lagi.
- Lalu akhirnya harus meninggal dalam perjuangan melawan infeksi C19 di dalam tubuhnya dengan angka diperkirakan sekitar 4 juta kematian.
Konsep Dasar Kekebalan Karena Vaksin
Konsep dasar vaksin ada dua, yang pertama memberikan kekebalan pada orang yang divaksin dan juga pada komunitas:
- Pada orang yang divaksin, Vaksin akan melindungi dirinya sebelum ia terinfeksi penyakit dengan cara melatih sistem imunitas untuk mengenali dan menyerang si virus, walaupun belum “dikenal” oleh tubuh sebelumnya. Dalam hal C19, virusnya adalah SARS-CoV-2. Hal ini bisa terjadi karena vaksin meniru kondisi terinfeksi di dalam tubuh hingga kekebalan terjadi tanpa yang bersangkutan harus menjadi sakit terlebih dahulu.
- Pada komunitas. Vaksin juga dapat melindungi komunitas dengan cara mengurangi kemungkinan penyebaran penyakit antara orang yang satu ke orang yang lain, akibat sudah banyak di antara mereka sudah mendapatkan vaksin. Inilah yang dikenal dengan herd immunity atau kekebalan komunitas yang tercipta karena vaksinasi.
Tidak ada Garansi
William Osler pernah berucap “medicine is a science of uncertainty and an art of probability”, yang bila diterjemahkan bebas; “Ilmu kedokteran adalah ilmu dari suatu yang tidak pasti dan sebuah seni permainan kemungkinan”. Tidak berbeda dengan vaksin untuk C19 ini, tidak ada garansi keberhasilannya. Walaupun demikian harapan berhasil dari hampir 60 vaksin C19 yang saat ini sedang menjalani human clinical trial (uji klinis ke manusia), sangat besar. Dan selama vaksin itu aman, maka kita ambil skenario “tidak berhasilnya”, dari pada harus menjalani skenario buruk seperti yang diuraikan di atas. Baca dalam artikel lain tentang “Berpacu Menemukan Vaksin C19”.
Human Challenge Trial
Vaccine human challenge trial atau uji tantangan vaksin pada manusia adalah pengujian sebuah vaksin yang disuntikkan pada orang sehat, lalu orang tersebut dengan sengaja diinfeksikan oleh virus, untuk kemudian dilihat pola kekebalan yang diberikan vaksin pada dirinya. Hal ini masih dalam perdebatan banyak ilmuan di dunia untuk vaksin C19 karena kita belum tahu semua resiko yang mungkin terjadi pada subjek penelitiannya. WHO bahkan sudah mengeluarkan ethical guidelines untuk jenis uji ini pada vaksin C19. Tapi nyatanya sudah lebih dari 38 ribu orang di seluruh dunia yang mendaftar untuk mengikuti uji ini. Bahkan di Inggris uji ini sudah akan dimulai pada Januari 2021 bila disetujui oleh pemangku kepentingan di sana.
Baca artikel lain di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
“Perlombaan” menciptakan vaksin C19 di dunia dimulai sejak Januari 2020 setelah kode genetik virus atau genome-nya SARS-CoV-2 dari ground zero di Wuhan didapatkan. Biasanya akan memakan waktu lebih lama sebelum vaksin dapat digunakan, tapi dengan kemajuan ilmu dan teknologi di bidang kedokteran dan biotechnology, proses ini bisa dipercepat. Di bawah dibahas vaksin-vaksin yang kemungkinan besar dapat disuntikkan pada tahun 2021 dengan karakteristik, kekurangan dan kelebihannya.
- Moderna. Dikenal jug dengan nama National Institute of Health (AS). Vaksin yang diciptakan merupakan genetic vaccine dan diberi kode mrna-1273. Uji klinis fase 3 dimulai akhir Juli 2020. Kelebihan vaksin ini adalah uji klinis fase 3 juga dilakukan pada manula >65 tahun dengan total 33 ribu orang dari semua usia dan memberikan kekebalan yang sama di angka 94.5%. Dapat bertahan 3 bulan pada suhu -20°C, dan 30 hari pada suhu refrigerator (2-8°C). Penyuntikannya dilakukan 2 kali dengan jarak 28 hari dengan perkirakan harga jual US$25-33 per dosis.
- Pfizer. Sebenarnya Pfizer (perusahaan German) tidak sendirian karena bekerja sama dengan 2 perusahaan bioteknologi lain yaitu BioNTech dari Jerman juga dan Fosum Pharma dari China untuk membuat RNA vaccine, yang diberi kode BNT162b2. Uji klinis fase 3 dimulai akhir Juli di AS, Brazil, Argentina dan Jerman. Kelebihan vaksin ini dilakukan juga uji coba pada kelompok umur anak 12 tahun dengan total 44 ribu orang dari segala usia dengan memberikan kekebalan yang sama yaitu di angka 95%. Penyuntikan dilakukan 2 kali dengan jarak 21 hari dengan harga jual US$15-20 per dosis. Tapi vaksin ini harus disimpan dan didistribusikan pada suhu -70°C yang membuat ini sebagai kekurangannya.
- AstraZeneca. Dikenal juga dengan vaksin dari University of Oxford di Inggris yang membuat viral vector vaccine dan diberi kode AZD1222. Uji klinis fase 3 dimulai pada Agustus 2020 di Brazil, Afrika Selatan dan AS. Di bulan September uji klinis ini sempat berhenti selama seminggu di Inggris dan sebulan di AS, karena seorang subjek ujinya mengalami rare spinal inflammatory disorder bernama transverse myelitis. Merupakan kelainan peradangan pada syaraf tulang punggung yang langka. Kelebihan vaksin ini juga dapat memberikan kekebalan pada manula >70 tahun. Tapi dari semua kelompok umur efektivitasnya bervariasi antara 70%-90%. Vaksin dapat disimpan pada suhu refrigerator (2-8°C), disuntikkan 2 kali dengan perkiraan harga jual US$3-4. Pada Maret 2021, AstraZeneca siap memproduksi 100 juta dosis.
- Gamaleya Research Institute. Perusahaan Rusia yang mengembangkan viral vector vaccine yang diberi nama Sputnik-V. Sampai Desember 2020 uji klinis fase 3 masih berlangsung di Rusia, Belarus, UAE, dan India dengan laporan dapat memberikan kekebalan di angka 92%. Vaksin dapat disimpan pada suhu refrigerator (2-8°C), disuntikkan 2 kali dengan perkiraan harga jual US$7.5-10 per dosis.
- Sinopharm. Perusahaan di China ini bekerja sama dengan dua lembaga penelitian menciptakan dua vaksin berbeda dengan jenis yang sama (whole virus vaccine). Yang pertama dengan Beijing Institute of Biological Products. Uji klinis fase 3 dimulai pada bulan Juli 2020 di UAE dan September di Brazil dan Argentina. Yang kedua dengan Wuhan Institute of Biological Products di Wuhan. Uji klinis fase 3 dimulai pada Juli 2020 di UAE dan Agustus 2020 di Peru dan Morocco. Total subjek uji mereka adalah 21 ribu orang. Tapi sampai tengah Desember 2020 ini hasil kedua uji tersebut belum didapatkan. Kedua jenis vaksin dapat disimpan pada suhu refrigerator (2-8°C), disuntikkan 2 kali, dengan perkiraan harga jual US$7 per dosis. Sinopharm berkomitmen bisa memproduksi 65 juta dosis pada 2021.
- Sinovac Biotech. Perusahaan China yang membuat whole virus vaccine dan diberi nama CoronaVac. Uji klinis fase 3 dimulai pada bulan Juli di Brazil, Agustus di Indonesia, dan September di Turki dengan total 9.000 orang. Di Indonesia bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Unpad yang menggunakan subjek uji 1.620 orang. Hasil ujinya baru akan bisa didapatkan pada April 2021 nanti. Vaksin ini nanti akan diproduksi bekerja sama dengan Biofarma yang dapat disimpan dalam suhu refrigerator (2-8°C) dan dapat bertahan hingga 3 tahun. Vaksin disuntikkan 2 kali berjarak 14 hari, dengan perkiraan harga jual US$15 per dosis. Sinovac Biotech sudah memproduksi 3 juta dosis sd. akhir Desember 2020, sedangkan Biofarma mampu memproduksi 200 juta dosis untuk pemakaian dalam negeri dengan harga yang sudah tentu lebih murah, yaitu di kisaran Rp200 ribu per dosis.
- Cansino Biologics. Perusahaan China yang membuat protein vaccine. Uji klinis fase 3 dimulai pada Agustus di Pakistan, Saudi Arabia dan Rusia namun belum didapatkan hasilnya.
- Novavax. Perusahaan ini menerima US$388 juta dari Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI) untuk membuat vaksin C19 dengan tipe protein vaccine. Uji klinis fase 3 dimulai pada September 2020 di Inggris dan pada akhir Desember di AS. Setiap negara di dunia nantinya akan mendapatkan porsi vaksin dari Novavax ini melalui GAVI (Global Alliance for Vaccine and Immunization).
- Johnson & Johnson. Perusahaan AS ini membuat viral vector vaccine. Uji klinis fase 3 dimulai pertengahan Oktober pada 60 ribu orang. Namun pernah dihentikan karena terdapat “unexplained illness” atau penyakit yang tidak dapat dijelaskan pada seorang subjek ujinya. Uji klinis kemudian mendapatkan izin diteruskan pada pertengahan November, tapi sampai Desember 2020 belum didapatkan hasilnya.
- Bharat Biotech. Bekerja sama dengan Indian Council of Medical Research dan Indian National Institute of Virology, menciptakan whole virus vaccine dan sudah memulai uji klinis fase 3 nya pada akhir Oktober 2020.
- Sanofi. Juga tidak sendiri karena bekerja sama dengan GSK membuat protein vaccine dan dengan Translate Bio membuat RNA vaccine. Uji klinis fase 3 baru dimulai pada Desember 2020.
- Repurposed Vaccine. Selain membuat vaksin yang benar-benar baru, vaksin yang sudah ada untuk penyakit lain terkadang juga bisa digunakan mencegah penyakit yang baru. Ada 2 jenis vaksin yang digunakan sejauh ini. Pertama adalah vaksin BCG yang diteliti oleh Murdoch Children’s Research Institute di Australia. Uji klinis fase 3 dilakukan di Australia, Brazil, Belanda, Spanyol dan Inggris. Yang kedua adalah vaksin MMR yang diteliti oleh 2 pusat penelitian di AS yang menyuntikkannya pada pekerja-pekerja medis di sana.
- Vaksin Merah Putih. Untuk vaksin Merah Putih yang merupakan genetic vaccine, masih akan lama baru dapat kita nikmati, karena sampai Desember 2020 masih dalam tahap uji pada hewan. Kelebihan vaksin ini adalah menggunakan bibit vaksin dari 114 whole genome sequencing (WGS) virus yang menyebar di Indonesia dari pasien positif C19 di tanah air, sehingga lebih cocok untuk orang Indonesia. Namun agak riskan bagi mereka yang sering bepergian keluar negeri, karena belum bisa dipastikan akan juga kebal terhadap virus SARS-CoV-2 yang berkembang di luar Indonesia. Guna mempercepat pengem-bangan vaksin ini, tidak kurang dari 6 lembaga bekerja sama yaitu Lembaga Eijkman, LIPI, UI, ITB, Unair, dan UGM. Biofarma adalah perusahaan yang juga diharapkan dapat memproduksi vaksin Merah Putih ini bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan farmasi di tanah air.
Satu Daerah/Negara Menggunakan Vaksin Berbeda
Sesuai ilmu epidemiologi, semakin banyak jenis vaksin yang berbeda bisa disuntikkan pada satu daerah (dalam hal ini negara) kepada orang yang berbeda-beda, maka akan semakin tinggi kemungkinan dan juga semakin cepat kekebalan komunitas dapat tercipta. Inilah sebabnya kita melihat, setiap negara di dunia mempersiapkan lebih dari 1 jenis vaksin yang akan disuntikkan di negaranya. Tidak melihat vaksin tersebut dari negara mana dan apa jenisnya. Tentu disesuaikan dengan karakteristik wilayahnya masing-masing terkait upaya pendistribusiannya. Misalnya di AS, Eropa dan China yang jaringan pendistribusian barangnya sudah baik, bisa menggunakan hampir semua jenis vaksin. Tapi Indonesia dengan negara kepulauan dengan banyaknya daerah terpencil serta beriklim tropis tentu tidak akan menggunakan vaksin yang harus didistribusikan dalam suhu yang ultra dingin.
Jenis Berbeda, Tujuan yang Sama
Jenis vaksin bisa saja berbeda, ada yang merupakan whole virus vaccine atau dikenal juga dengan inactivated vaccine, genetic vaccine atau RNA vaccine, protein vaccine dan viral vector vaccine. Cara kerja mereka menciptakan kekebalan di tubuh manusia pun berbeda. Cara dan waktu penyuntikan bisa saja berbeda atau cara mengangkut vaksinnya berbeda. Tapi tujuannya tetap sama yaitu menciptakan kekebalan pada tubuh orang yang divaksin dan akhirnya menciptakan suatu kekebalan komunitas. Untuk tahap awal sebaiknya tidak memilih-milih. Saat ada kesempatan pertama, apa pun jenis vaksinnya, baik sudah pernah kena C19 atau belum, sebaiknya seseorang dapat menerima dan langsung mendapatkan vaksinasi. Yang terpenting adalah tercipta dulu kekebalan yang kita butuhkan tersebut. Kalau nanti diperlukan vaksinasi jenis yang berbeda, tinggal disusulkan dengan waktu yang lebih santai.
Menunggu Uji Klinis Fase 3 Selesai
Namun apa pun jenis vaksinnya, dari manapun asalnya kita harus menunggu sampai uji klinis fase 3 dari suatu vaksin selesai, dilaporkan, dan mendapatkan persetujuan dari lembaga yang bertanggung jawab (di Indonesia BPOM). Vaksin boleh saja sudah diproduksi dan tersedia, boleh saja sudah diperoleh oleh Pemerintah Indonesia dengan tujuan “mencuri start” agar ketersediaan dan demand dapat terpenuhi; tapi tidak akan dapat langsung disuntikkan secara masal. Karenanya kita sebagai warga masyarakat harus senantiasa mencari perkembangan informasi yang tepat kapan sebuah produk vaksin C19 ini bisa untuk disuntikkan secara masal.
Roadmap Vaksinasi C19 di Indonesia
Pemerintah melalui departemen kesehatan sudah menyusun roadmap rencana dan tahapan vaksinasi C19 di Indonesia. Inilah yang nantinya menjadi panduan kita di tanah air sesuai dengan ketersediaan vaksinnya.
- Siapa. Seluruh warga negara berusia 18-59 tahun (sesuai dengan penelitian sebagaian besar vaksin yang ada). Tahap awal diberikan kepada petugas kesehatan, orang berstatus “kontak erat”, sektor pelayanan publik, tenaga pendidik, dan pegawai pemerintahan. Jumlah mereka diperkirakan 160 juta orang sehingga diperlukan 320 juta dosis vaksin. Baru kemudian untuk seluruh masyarakat lainnya.
- Apa. Vaksin yang digunakan adalah sesuai ketersediannya (yang mendapatkan approval). Kemungkinan akan dimulai dengan vaksin dari Moderna, Sinopharm dan Sinovac (dengan cara membeli), baru dilanjutkan dengan Sinovac (produksi oleh Biofarma), lalu ditambah yang gratis dari GAVI (Novavax). Terakhir nantinya vaksin Merah Putih.
- Kapan. Bila sudah disetujui BPOM, diperkirakan sudah bisa dimulai sejak awal Februari 2021.
- Bagaimana. Dengan cara pendistribusian jemput bola, seperti ke tempat kerja atau ke puskesmas dengan cara penjadwalan terstruktur dari tingkat provinsi sampai RT.
- Berapa. Penyuntikan awal akan diberikan gratis untuk seluruh masyarakat yang mau dan boleh divaksin (yang tidak ada kontraindikasi secara medis).
Sayangnya ada indikasi dari poling yang dilaporkan oleh lembaga independen, keberterimaan vaksin di tanah air masih sangat rendah. Yaitu hanya sekitar 64,8% saja masyarakat Indonesia yang mengatakan mau divaksin. 27,6% belum bisa menentukan, sementara 7,6% menyatakan tidak mau. Angka-angka ini seragam dan merata di seluruh wilayah di Indonesia. Ditengarai hal ini terjadi karena beberapa hal, sbb.:
- Simpangsiurnya pemberitaan tentang vaksin, membuat orang menjadi lebih banyak khawatirnya.
- Pemerintah kurang koordinasi dalam sosialisasi rencana vaksinasi C19 tahun depan (tahun 2021).
- Pemahaman masyarakat yang rendah terhadap pentingnya vaksinasi. Jangan kan vaksinasi C19, terhadap imunisasi dasar untuk anak-anak saja masih banyak masyarakat Indonesia yang menentang atau menolaknya.
- Isi halal-haram yang harus segera diluruskan, dalam hal ini oleh MUI, sehingga keberterimaan umat Islam bisa tinggi.
- Egoisme pribadi anggota masyarakat sehingga membenci terhadap jenis atau asal vaksin tertentu.
- Hoax tentang vaksin C19 yang sudah menjadi “tsunami” sehingga sudah sangat sulit untuk dibendung. Hoax tentang vaksin C19 ini dibuat dan disebarkan oleh orang yang anti terhadap jenis vaksin tertentu tersebut di atas, atau oleh orang yang memang anti terhadap vaksinasi secara umum.
Tidak Diwajibkan - Penutup
Tidak akan ada pemerintah manapun di dunia yang dapat mewajibkan suatu tindakan medis kepada seseorang, apa pun alasannya termasuk vaksinasi. Saya sebagai dokter yang aktif dalam bidang promotive & preventive (pencegahan dan promosi kesehatan), sangat menganjurkan dan mengharapkan saat Anda selesai membaca artikel ini bersedia disuntik vaksin C19. Agar segera tercipta herd immunity tanpa harus jatuh korban yang banyak. Sehingga mencapai tujuan kita untuk bisa menjalani hidup dan keseharian sebebas dulu lagi sebelum ada pandemi ini, serta agar pandemi ini segera bisa menjadi sejarah bagi kita.
©IKM 2020-12