Setiap orang di dunia dan juga sebagian besar orang yang berharap di Indonesia kini seakan merasa melihat seberkas cahaya terang di dalam gelapnya pandemi COVID-19 (C19) ini. Karena saat ini sudah semakin banyak berita dan hasil penelitian melaporkan seakan-akan vaksin C19 akan tersedia sebentar lagi. Padahal kenyataanya, vaksin masih dalam tahap pengembang-an dan pengujian. Lalu nantinya harus melalui proses produksi, distribusi, baru penyuntikan. Setelah itu masih harus kita buktikan dulu bahwa vaksin tersebut benar bisa memberikan kekebalan. Sampai itu terjadi, sesungguhnya kita masih tetap harus menjalani hidup dengan adaptasi kebiasaan baru ini (era new normal). Seberkas cahaya terang itu terlihatnya saja yang dekat, tapi sesungguhnya masih cukup jauh.
- Sampai minggu ketiga Juli di seluruh dunia, ada 165 vaksin C19 yang sedang dikembangkan, dimana 34 kandidat vaksinnya sudah pada tahap menjalani uji klinis.
- Ada 4 metoda dasar dalam pengembangan vaksin. Untuk C19 kini dikembangkan keempatnya oleh ilmuan dunia.
- Pemerintah Inggris dengan jumlah penduduk 66 juta orang sudah memesan 190 juta dosis vaksin dari 3 kandidat vaksin yang berbeda; terdiri dari 100 juta vaksin Oxford, 30 juta vaksin Pfizer, dan 60 juta vaksin Valneva.
- Pemerintah Indonesia melalui Bio Farma bekerja sama dengan Sinovac untuk menjalani uji klinis fase III dan akan memproduksinya untuk pemanfaatan di dalam negeri.
Sampai akhir minggu ketiga Juli ini, urgensi untuk menemukan vaksin terasa semakin sangat besar. Waktu pengembangan vaksin yang dalam kondisi normal bisa memakan waktu sampai 5 tahun, kini ditekan sesingkat-singkatnya. Kerjasama antara pemerintah, lembaga penelitian dan swasta terbentuk hampir di seluruh dunia dalam kepentingan pengambangan vaksin ini, untuk memudahkan pendanaan, pengujian dan perizinan. Satu hal yang pasti, faktor keamanan dan efikasi tetap menjadi prioritas semua pihak. Para ilmuan di seluruh dunia terus mengawal proses tersebut dengan evidence-based science. Tidak boleh ada intervensi politik atau kepentingan bisnis yang bisa merusak proses pengambangan vaksin tersebut. Setiap orang di seluruh dunia bahkan bisa memantaunya secara mandiri melalui situs
https://www.gavi.org/vaccineswork/covid-19-vaccine-race
Manufacture at Risk
Karena kebutuhan tersedianya vaksin C19 sangat mendesak, dunia terpaksa dihadapi oleh kenyataan “manufacture at risk” atau “memproduksi dengan resiko”, karena akan memproduksi vaksin dalam jumlah besar dengan waktu uji klinis yang relatif singkat. Sudah pasti resiko utama adalah kerugian finansial. Karena bila uji klinis ternyata gagal, maka seluruh vaksin yang sudah diproduksi harus dibuang. Lalu akan ada resiko dimana uji klinis tampak seperti berhasil, tapi kemudian ternyata kekebalan yang terbentuk tidak seperti yang diharapkan. Hal ini akan membuat semua usaha pengembangan vaksin harus kembali ke “meja gambar”. Ketidakpastian ini terjadi karena para peneliti masih belum bisa mengetahui secara pasti bagaimana respon sistem imunitas alamiah manusia melawan infeksi SARS-CoV-2 penyebab C19.
Tahap Pengujian Vaksin
Pengujian vaksin secara klinis (human trial/uji pada manusia) harus melalui tiga fase yang tidak dapat terpisahkan, dan pada setiap fasenya menggunakan subjek uji yang semakin besar:
- Fase I: Vaksin diberikan pada kelompok kecil, biasanya kurang dari 100 orang untuk menguji keamanan dan melihat efek samping yang mungkin ditimbulkannya.
- Fase II: Jumlah subjek ditingkatkan menjadi ratusan orang untuk mendapatkan lebih rinci informasi mengenai keamanan, immunogenicity dan dosis yang dibutuhkan.
- Fase III: Jumlah subjek ditingkatkan lagi mencapai jumlah sampai ribuan bahkan puluhan ribu orang. Tujuannya untuk memahami lebih baik tentang efek samping yang bisa saja belum muncul pada jumlah subjek yang kecil. Lalu yang terpenting untuk melihat efektivitas vaksinnya.
Metoda Pengembangan Vaksin
Metoda pengembangan vaksin saat ini ada 4 yang juga menjadi penamaan jenis vaksin yang diciptakan. Dari yang sudah berada pada tahap uji klinis untuk vaksin C19 adalah sebagai berikut:
1. Genetic Vaccine
Vaksin yang memanfaatkan gen dari virus untuk merangsang respon imunitas positif. Ada 11 pusat penelitian yang menggunakan metoda ini yaitu; (Fase III): Moderna di AS. (Fase II): BioNTec bersama Pfizer dan Fosun Pharma di AS, Imperial College London bersama Morningside di Inggris, Zydus di India, AnGes bersama Osaka University dan Takara di Jepang, serta Arctrurus Therapeutics bersama Duke-NUS Medical School di AS. (Fase I): Inovio di AS, CureVac di AS, Genexine di Korea Selatan, serta Academy of Military Medical Science bersama Suzhou Abogen Biosciences dan Walvax Biotechnology di China. (Fase preclinical): Sanofi bersama Translate Bio di Prancis.
2. Viral Vector Vaccine
Vaksin yang menggunakan sebuah virus lain untuk mengantar gen SARS-CoV-2 ke dalam sel untuk merangsang respon imunitas positif. Ada 8 pusat penelitian yang menggunakan metoda ini yaitu; (Fase III): AstraZeneca bersama University of Oxford di Inggris. (Fase II): CanSino Biologics bersama Academy of Military Medical Science di China, Johnson&Johnson bersama Beth Israel Daeconess Medical Center di AS, serta Gamaleya Research Institute di Rusia. (Fase preclinical): Massachusetts Eye and Ear Hospital bersama Novartis di AS, Merck bersama IAVI di AS, Merck bersama Themis Bioscience di Austria, serta Vaxart di AS.
Baca artikel lainnya di blog Dr. Indra K. Muhtadi
Vaksin yang menggunakan protein SARS-CoV-2 atau potongan proteinnya untuk merangsang respon imunitas positif. Ada 10 pusat penelitian yang menggunakan metoda ini yaitu; (Fase II): Anhui Zhifei Longcom bersama Institute Medical Biology di China, Novovax di US, serta Clover Biopharmaceuticals bersama GSK dan Dynavax di China. (Fase I): Vaxine di Australia, Medicago bersama GSK dan Dynavax di Canada, The University of Queensland bersama CSL di Australia, serta Kentucky BioProcessing di AS. (Fase preclinical): Baylor College of Medicine bersama Texas Children’s Hospital di AS, University of Pittsburgh di AS, serta Sanofi bersama GSK di Prancis.
4. Whole-Virus Vaccine
Vaksin yang menggunakan virus SARS-CoV-2 yang dilemahkan atau di-inaktivasi untuk merangsang respon imunitas positif. Ada 5 pusat penelitian yang menggunakan metoda ini yaitu; (Fase III): Sinopharm bersama Wuhan Institute of Biological Products di China, serta Sinovac di China. (Fase II): Institute of Medical Biology at the Chinese Academy of Medical Science, serta Indian Council of Medical Research bersama National Institute of Virology dan Bharat Biotech di India. (Fase I): North Korea’s State Commission of Science and Technology.
Efek Samping yang Sudah Diketahui
Besar kemungkinan bahwa seseorang akan membutuhkan lebih dari satu jenis vaksin untuk menciptakan kekebalan paripurna. Kemudian bisa jadi vaksin yang berbeda akan lebih efektif untuk kelompok orang yang berbeda, seperti perbedaan kelompok usia, faktor resiko, etnis, dll. Karenanya sangat penting bagi peneliti untuk mengetahui efek sampingnya. Dari semua vaksin C19 yang sudah memasuki uji klinis, efek samping yang sudah mulai bisa diketahui rata-rata memiliki efek samping normal sebuah vaksin yang juga bisa diatasi oleh paracetamol; seperti fatigue, sakit kepala, sakit pada lokasi penyuntikan, sakit-sakit otot dan demam. Efek samping tersebut rata-rata terjadi pada 24 jam setelah penyuntikan, terjadi pada kelompok yang diuji dengan dosis tinggi, dan efek sampingnya tidak begitu dominan setelah penyuntikan kedua (bagi yang menggunakan booster).
Kandidat Vaksin yang Berhasil ke Fase III
Kandidat vaksin C19 yang kini berhasil memasuki fase III, data hasil dari fase I dan II mereka memberikan harapan yang sangat baik dan dapat merangsang terciptanya respon imunitas positif pada subjek orang sehat yang menjadi sukarelawan. Tapi karena fase I dan II terutama fokus pada keamanan dan dosis, data tersebut tidak dapat menggambarkan apakah benar bisa mencegah penyakit C19. Untuk membuat angka kemungkinan keberhasilan bisa meningkat, maka dibutuhkan uji klinis fase III yang lebih besar pada lokasi dimana penyebaran C19 masih terjadi secara masif. Seperti vaksin dari Sinovac yang memerlukan Indonesia, Brazil dan Bangladesh. Atau vaksin dari Oxford yang memerlukan Inggris, Afrika Selatan dan Brazil; karena di negara-negara tersebut penyebaran C19 masih terjadi secara masif, membuatnya ideal untuk melakukan uji klinis fase III. Mari kita bahas beberapa di antaranya.
Vaksin dari Sinovac
Sinovac Biotech Ltd. adalah perusahaan bioteknologi berbasis di Beijing, China sebelumnya sudah membuat vaksin hepatitis A, hepatitis B, vaksin influenza, mumps, dan rabies. Saat pandemi flu burung dan flu babi, mereka juga perusahaan yang berusaha membuat vaksinnya. Vaksin C19 Sinovac bernama “CoronaVac”, pada uji klinis fase I menggunakan 143 orang dan fase II 600 orang dewasa sehat berusia 18-59 tahun yang belum terinfeksi SARS-CoV-2. Vaksin berhasil merangsang terbentuknya neutralizing antibodies pada 14 hari setelah vaksinasi dengan keberhasilan 90% merangsang respon imunitas positif.
Di Indonesia akan bekerja sama dengan pemerintah melalui Bio Farma dan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Pada tanggal 19 Juli 2020, sebanyak 2.400 vaksin telah tiba di Indonesia untuk kebutuhan uji klinis fase 3 pada Agustus 2020. Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir mengatakan Sinovac dipilih karena alasan kualitas dan portfolio perusahaan. Selain itu juga karena dalam membuat vaksin C19, Sinovac mengguna-kan metoda yang sudah dikenal sangat baik oleh Bio Farma yaitu dengan mengembangkan vaksin dari virus yang di-inaktivasi. Uji klinis fase III ini dijadwalkan akan berjalan selama enam bulan, sehingga ditargetkan akan selesai pada bulan Januari 2021. Bio Farma telah mempersiapkan kapasitas produksi vaksin hingga 250 juta dosis. Bila uji klinis tersebut lancar, Bio Farma akan mulai memproduksinya pada Q1 2021 mendatang.
Vaksin dari University of Oxford
University of Oxford bekerja sama dengan AstraZeneca. Respon imunitas T-cell -nya tercipta pada 14 hari setelah vaksinasi dan respon imunitas antibody-nya tercipta pada 28 hari setelah vaksinasi. Masih perlu dilihat berapa lama respon tersebut bertahan, tapi yang jelas kedua respon imunitas tersebut diperlukan untuk memberikan pertahanan pada tubuh terhadap suatu infeksi. Pada 90% subjek dapat tercipta neutralizing antibodies pada level yang dapat menetralisir virus hanya dengan sekali suntik. 10% sisanya harus mendapatkan booster 28 hari setelah penyuntikan yang pertama. Subjek penelitian mereka adalah 1.077 orang dewasa sehat yang belum terinfeksi SARS-CoV-2 berusia 18-55 tahun, porsi pria wanitanya 50:50, dan 90%-nya orang berkulit putih. Hal ini masih belum bisa menyimpulkan efektivitas vaksin pada manula, orang dengan comorbid, serta dari etnis lainnya. AstraZeneca siap memproduksi 2 miliar dosis vaksin bila fase III ini berhasil.
Vaksin dari Moderna
Sementara di AS Moderna bekerja sama dengan US National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID). Kandidat vaksinnya diberi nama mRNA-1273. Fase II penelitiannya dilakukan pada 75 orang yang beberapa di antaranya berusia di atas 55 tahun. Mereka mendapatkan 2 suntikan berjarak 28 hari dengan dosis yang berbeda-beda (25, 100, dan 250 micro-grams). Bagi yang mendapatkan suntikan kedua, ketiga group menunjukkan terciptanya neutralizing antibody dengan level yang sama dengan yang ditemukan pada pasien C19 yang sembuh. Namun akibat harus mendapatkan 2 kali suntikan, kandidat vaksin ini kurang cocok di dunia, karena banyak orang di dunia mungkin hanya bisa mendapatkan sekali suntik saja.
Penutup
Masih banyak yang kita harus ketahui mengenai pengembangan vaksin C19 ini; seperti berapa lama kekebalan tersebut dapat bertahan, adakah respon imun yang tidak diinginkan ikut muncul, serta apakah benar dapat menciptakan herd immunity (kekebalan komunitas) seperti yang diharapkan. Kita masih harus bersabar menunggu seberkas cahaya terang tersebut.
©IKM 2020-07