Pendahuluan
Sejalan dengan perkembangan pandemi COVID-19, semakin banyak manusia-manusia dengan beragam motif membuat konten baik berupa tulisan, gambar, video, meme, bahkan guyonan. Sayangnya tidak semuanya benar, malah banyak informasinya yang kurang tepat. Penyakit ini masih relatif baru, sehingga dunia kedokteran internasional saja masih dalam tahap pembelajaran, yang malah harus dilakukan dengan learning by doing. Sesuatu informasi atau penjelasan tentang COVID-19 yang awalnya digunakan oleh medis sebagai landasan penegakan diagnosis atau malah terapi, dalam sebulan bisa berubah 180 derajat. Apa lagi yang bukan informasi medis, bisa dibayangkan kecepatan perubahannya. Dalam artikel ini kita akan membahas mengenai fakta, mitos, dan hoax seputar COVID-19 yang paling banyak tersebar saat artikel ini ditulis; yang bisa saja nantinya juga akan berubah.
Fakta Tentang “Fakta-Mitos-Hoax” Seputar COVID-19
- Di Indonesia dari data yang di-release oleh Menkominfo, pada awal April setidaknya sudah lebih dari 400 mitos dan hoax yang beredar.
- Penambahannya semakin cepat. Dalam 10 hari bisa bertambah lebih dari 100 mitos dan hoax di Indonesia.
- Masih dari sumber yang sama; setidaknya ada 800.000 situs penyebar mitos dan hoax di Indonesia.
- Dengan pengguna media sosial di Indonesia sudah mencapai angka 132,7 juta orang, membuat masalah ini menjadi sangat serius.
Berita bohong atau hoax dibuat bisa disebabkan karena banyak motif yang melatarbelakanginya, sbb.:
- Di dunia daring (online), paling sering disebabkan karena untuk meningkatkan pendapat iklan dari web traffic (kunjungan suatu laman web).
- Masih di dunia online, motif kedua karena ingin menggunakan kesempatan mempromosikan diri, produk, perusahaan, organisasi, perkumpulan; yang ujung-ujungnya menawarkan suatu produk terkait berita hoax yang dibuat.
- Bisa juga karena suatu mitos memang sudah lama dipercaya oleh sekelompok masyarakat terkait budaya dan kebiasaan.
- Karena motif ingin menjatuhkan seorang public figure atau satu perusahaan.
- Sebagai motor pergerakan politik, dan karena alasan politik lainnya. Bisa antar partai bahkan antar negara.
Ternyata bisa juga suatu mitos dan hoax beredar, bukan karena disengaja oleh si penulis. Tapi karena memang dia sangat percaya dengan pendapat pribadinya yang sering sangat subjektif dan tidak berlandas pada fakta. Ada rasa di dirinya bahwa orang lain harus ikut percaya dengan apa yang diyakininya. Mereka biasanya hanya menulis pada kelompok kecil dan tertutup untuk teman, saudara atau follower-nya di media sosial. Tapi kemudian teman, saudara atau follower-nya lah yang kemudian menyebarkan tulisan yang bersifat mitos atau hoax tersebut, membuatnya menjadi viral.
Tiga Faktor Tersebarnya Berita Bohong
Dewasa ini ada statistik yang mengkhawatirkan bahwa 60% orang di negara maju atau kota-kota besar kini mendapatkan suatu informasi dari sosial media. Hal inilah yang menjadi faktor utama tersebarnya berita yang tidak benar, karena antara fakta dan mitos atau bahkan hoax di dunia maya bisa ditemukan saling berdampingan. Belum lagi pencipta berita hoax memang menulis sedemikian rupa agar yang ditulisnya terlihat benar, yang membuat batasnya menjadi semakin kabur. Karenanya pembaca akan sangat mudah masuk ke dalam jebakan penulis. Faktor kedua adalah kepercayaan yang disebut sebagai cognitive biases. Berita hoax yang sudah terlanjur menyebar bila ditulis atau di-share oleh orang panutan seperti guru, saudara, bahkan tokoh masyarakat; biasanya akan sangat mudah dipercaya oleh pembacanya untuk kemudian tambah mem-viral-kannya. Faktor ketiga karena berita hoax biasanya memainkan emosi pembacanya. Emosi yang sering coba dimunculkan oleh berita hoax adalah rasa terkejut (surprise), takut dan khawatir, jijik, benci, dll., atau malah rasa tenang dan damai. Bila si pembaca terbawa emosi-emosi tersebut, hampir pasti ada keinginan dirinya untuk men-share berita yang baru saja dibacanya. Hal yang sama terjadi pada pemberitaan dan informasi COVID-19, yang beberapa di antaranya kita bahas.
Tentang COVID-19 yang Merupakan Fakta
Secara singkat untuk melawan mitos dan hoax, ada beberapa fakta solid tentang COVID-19 yang harus ditegaskan, sbb.:
- COVID-19 ditularkan melalui droplets yang mengandung virus. Droplets ini bisa terbawa terbang di udara sampai jarak tertentu tergantung kondisi, bisa juga menempel di permukaan benda.
- Mencuci tangan setiap sebelum menyentuh muka, mempraktekkan social distancing, dan menjaga kesehatan adalah tiga cara terbaik melindungi diri dari paparannya.
- Kita masih belum mengenal COVID-19 dengan baik, karena penyakit ini masih relatif baru.
Influenza vs. COVID-19
Influenza dan COVID9 merupakan dua hal yang serupa tapi tidak sama. Berikut pointers-nya:
- Influenza menyerang setiap tahun, semoga saja COVID-19 tidak. Tapi yang jelas kita sudah sangat memahami penyakit influenza dan sudah terdapat vaksinnya. Sebaliknya kita masih jauh dari paham terhadap COVID-19.
- Karena COVID-19 menyerang pernafasan bagian bawah, maka gejala umum (bila bergejala) adalah batuk kering, sesak nafas dan bisa disertai dengan demam. Sementara influenza gejalanya adalah sakit-sakit otot, hidung beringus, radang tenggorokan dan bersin.
- COVID-19 juga bisa menginfeksi orang yang sedang sakit influenza sehingga gejalanya menjadi tidak jelas. Kalau Anda ragu segera periksakan diri ke RS rujukan COVID-19 terdekat.
COVID-19 Hanya Mengenai Orang Tua
Korban dari COVID-19 di seluruh dunia terdiri dari semua usia. Tapi secara persentase, memang lebih banyak fatalitasnya terjadi pada orang berusia di atas 60 tahun. Bukan berarti yang lebih muda tidak beresiko, karena bila seseorang memiliki comorbid (penyakit penyerta), berapa pun usianya bisa menjadi fatal dan menyebabkan kematian. Saat ini 29% kasus justru terjadi pada mereka berusia 20-44 tahun dengan comorbid. Baca artikel lain tentang comorbid COVID-19.
Virus Penyebab COVID-19 Sengaja Dibuat
Saat ini AS dan China masih saling tuduh, dari mana asal dan siapa patient zero (orang pertama) yang menyebabkan pandemi COVID-19 ini. Akhirnya netizen juga banyak yang berspekulasi dengan alasan dan argumen uniknya masing-masing menelurkan berbagai teori konspirasi yang memang menarik untuk didiskusikan. Ada yang menggunakan argumen militer, meyakini virus ini adalah suatu senjata biologis. Lalu ada yang mengatakan bahwa ini alat perang dagang antara negara adi daya. Padahal kalau dilihat secara ilmu mikrobiologi dan virologi, SARS-CoV-2 merupakan virus RNA berantai pendek, yang memang sangat rajin bermutasi. Dimana virus hasil mutasinya memiliki kemampuan yang lebih unggul dari pendahulunya (misal; dapat menulari dari hewan ke manusia). Sampai saat ini para ahli virologi masih meyakini bahwa SARS-CoV-2 merupakan hasil mutasi alamiah tersebut.
Masker
Sepertinya masker merupakan hal yang paling membingungkan orang di seluruh dunia saat ini, karena bahkan WHO pun bisa merubah rekomendasinya. Awalnya WHO mengatakan masker untuk orang yang sakit saja, tapi saat ini WHO menganjurkan semua orang menggunakan masker. Keduanya benar; pada masanya. Saat awal pandemi ini sebelum banyak orang yang terpapar, masker digunakan oleh orang yang sedang sakit dengan gejala seperti COVID-19. Tujuannya agar seandainya dia membawa virusnya, bisa meminimalisir dirinya sebagai sumber penularan ke orang lain. Tapi seiring dengan berjalannya pandemi, saat ini kita harus menganggap setiap orang membawa virusnya. Karena belakangan terbukti sangat banyak orang membawa virus yang tidak bergejala. Di Indonesia sampai dibuat singkatan khusus yaitu OTG (Orang Tanpa Gejala). Maka saat ini semua orang wajib menggunakan masker ketika sedang berada di tempat umum, agar tidak menulari ke orang lain seandainya dirinya merupakan seorang OTG. Tapi pakemnya masih sama, yang bisa saya sarikan sbb.:
- Masker N95 hanya untuk di pusat pelayanan kesehatan atau dipakai oleh tenaga kesehatan saja. Selain harganya mahal, bila digunakan sehari-hari juga akan sangat tidak nyaman. Tenaga kesehatan lebih membutuhkannya, bila diborong oleh masyarakat, harganya menjadi bertambah mahal. Padahal merupakan bagian penting dari APD (Alat Pelindung Diri) yang harus digunakan tenaga kesehatan. Saat ini saja harganya sudah lebih dari 2 juta rupiah per buahnya.
- Masker pada dasarnya, tetap untuk melindungi orang lain dari penyakit yang dapat tertular dari si pemakai masker. Sangat sedikit sekali efek untuk melindungi si pemakai dari penyakit yang mungkin ditularkan oleh orang lain yang tidak menggunakan masker. Untuk melindungi diri dari paparan, lihat fakta nomor 2 di atas.
- Masker bedah (surgical mask) dan masker kain (cloth mask) pada dasarnya sama baiknya, selama bisa menahan droplets pada bagian dalamnya saat pemakai masker batuk, bersin, tertawa, dan berbicara. Jadi harus digunakan menutup hidung hingga bawah dagu.
- Masker bedah dan masker kain, harus diganti setiap 4 jam sekali untuk melindungi pemakai dari akumulasi mikroba pada bagian dalam masker dari dalam tubuhnya sendiri dan dari mikroba yang mungkin juga menempel pada bagian luar masker dari orang lain.
- Masker bedah tidak untuk dicuci, dan harus segera dibuang dengan cara yang banyak dianjurkan. Masker kain dapat digunakan ulang setelah dicuci, selama tidak diselipi bahan spun bund pada bagian tengahnya (karena rusak bila tercuci). Cara mencucinya sama seperti mencuci pakaian pada umumnya, tidak perlu memerlukan cara khusus. Cukup pakai detergen dan air saja.
- Saat menggunakan masker, jangan menurunkan kewaspadaan. Tetap harus menghindari menyentuh muka atau membetulkan letak masker, sebelum mencuci tangan.
Rokok dan COVID-19
Pernah beredar mitos bahwa merokok dapat membunuh virus penyebab COVID-19 karena hawa panasnya. Jelas ini suatu informasi yang salah, malah bertolak belakang. Karena justru kebiasaan merokok yang dilakukan seseorang, akan membuat dirinya menjadi seorang yang rentan bila terpapar virus penyebab COVID-19 untuk memiliki gejala yang berat, malah beresiko besar untuk meninggal. Demikian pula halnya dangan rokok elektronik dan vape yang jelas lebih merusak paru-paru dibandingkan rokok konvensional. Walaupun hal ini masih terus diteliti, yang jelas merokok apa lagi menghisap vape, membuat paru-paru menjadi rusak dan rentan untuk terinfeksi, sementara target organ dari SARS-CoV-2 adalah paru-paru. Bisa dibayangkan paru-paru yang sudah rusak akibat asap rokok atau vape, lalu harus tambah babak-belur saat terpapar COVID-19 ini.
Lalu ada pula berita yang salah menyimpulkan bahwa asap rokok dapat menyebarkan virus SARS-CoV-2 ini. Ada benarnya, tapi si penyampai berita tidak memperhatikan dengan seksama dokter yang menjelaskannya. Kuncinya sekali lagi ada di droplets, yaitu bila di dalam asap rokok terdapat droplets yang mengandung virus. Misal, sambil mengeluarkan asap dari mulut lalu si perokok batuk/bersin/tertawa/berbicara, maka sampai jarak 2 meteran, asap tersebut mengandung droplets bervirus. Tapi karena kemungkinan besar perokok bila terpapar SARS-CoV-2 akan sakit, maka kini harus diasumsikan juga pada setiap asap rokok yang berjarak 2 meteran dari perokoknya, mengandung droplets bervirus.
Berjemur
Berjemur tidak akan membunuh virus SARS-CoV-2 di dalam tubuh seseorang dan tidak pula membuat tubuh jadi terhindar dari paparan virusnya. Virus dan mikroba memang bisa mati menggunakan UV sterilisator khusus yang biasa digunakan untuk mensterilkan ruangan di RS. Tapi hanya mikroba yang terdapat pada permukaan. Bila tertutup oleh suatu benda dan tidak terkena sinar UV-nya, mikrobanya tidak pula akan mati. Tapi dengan berjemur seseorang bisa mendapatkan manfaat dari sinar matahari dalam fungsinya merubah pro vitamin D menjadi vitamin D, yang merupakan vitamin esensial dalam sistem imunitas tubuh. Dengan catatan ketersediaan pro vitamin D juga cukup di dalam tubuh. Berjemurnya juga tidak harus lama. Untuk warna kulit seperti orang Indonesia, cukup sekitar 10 menit saja. Dan waktu yang paling disarankan untuk letak geografis Indonesia adalah di bawah jam 10 pagi. Baca lebih jauh tentang vitamin D dalam artikel lainnya.
Jahe, Kunyit, Temulawak (Curcuma), & Habbatussauda
Jahe, kunyit, dan temulawak tidak bisa menyembuhkan seseorang yang terkena COVID-19, serta tidak bisa pula membuat seseorang menjadi kebal. Demikian pula halnya dengan habbatussauda. Tapi semuanya merupakan rempah yang biasa menjadi bahan obat-obat tradisional di Indonesia juga dunia, yang berkhasiat menyehatkan tubuh dan dapat meningkatkan daya tahan tubuh. Dengan demikian diharapkan yang mengkonsumsinya memiliki daya tahan tubuh lebih baik saat terpapar virus penyebab COVID-19.
Swab Test vs. Rapid Test
Merupakan dua jenis pemeriksaan yang sering kita dengar di media. Keduanya merupakan tes yang berbeda namun saling melengkapi. Swab test yang menggunakan teknologi pemeriksaan CPR atau real time PCR, untuk memeriksa adanya virus di dalam tubuh seseorang. Sementara rapid test dengan pemeriksaan darah tepi, untuk memeriksa antibody yang dibuat oleh tubuh seseorang saat terpapar virus. Hasil pemeriksaan yang digunakan sebagai alat pantauan kasus positif adalah swab test, bukan rapid test. Karena seseorang dikatakan positif ketika ditemukan virus di dalam tubuhnya, bahkan bisa diketahui sejak hari pertama ia terpapar. Minimal 7 hari setelah seseorang terpapar, tubuhnya akan membuat antibody terhadap virus dalam sebuah proses normal tubuh dalam melawan infeksi.
Jadi bila didapati seorang dengan hasil rapid test positif, ini berarti ia pernah terpapar sekitar 7 hari sebelum pemeriksaan. Yang bersangkutan bisa menunjukkan gejala sakit, tapi bisa juga tidak bergejala sama sekali atau yang dikatakan OTG. Kalau penjaringan kasus dilakukan hanya dengan rapid test, bisa dibayangkan sudah berapa banyak orang kontak dengan OTG selama minimal 7 hari tersebut sebelum ia terjaring. Di negara maju seperti AS dan Inggris mereka mengandalkan swab test untuk menjaring. Baru setelah berlangsung 2 minggu, rapid test dilakukan untuk melihat sudah berapa banyak orang yang berhasil menciptakan antibody terhadap SARS-CoV-2. Berbeda dengan di Indonesia yang justru mengandalkan rapid test untuk menjaring, baru melakukan swab test.
ODP, PDP, dan Pasien Positif COVID-19
Karena di Indonesia kita mendahulukan rapid test baru swab test, maka akhirnya keluar istilah pengelompokan orang relatif terhadap paparan COVID-19. Berikut pointers-nya:
- ODP (Orang Dalam Pemantauan) adalah mereka yang dicurigai kontak dengan seorang PDP atau positif COVID-19. Seorang ODP harus melakukan pemeriksaan untuk mengetahui statusnya, apakah tidak terinfeksi, menjadi PDP atau malah naik menjadi pasien positif COVID-19.
- PDP (Pasien Dalam Pengawasan) adalah mereka yang tadinya ODP lalu dilakukan pemeriksaan rapid test dengan hasil positif. PDP bisanya dijadwal untuk mendapatkan pemeriksaan swab test untuk mengetahui statusnya, apakah menjadi Pasien Positif COVID-19, atau merupakan seorang yang sudah memiliki antibody.
- Pasien positif COVID-19, adalah mereka yang hasil swab test-nya positif. PDP dan pasien positif COVID-19 bisa merupakan OTG, seorang bergejala sakit yang ringan, atau seorang bergejala sakit berat sehingga harus dirawat di rumah sakit.
Daerah Abu-Abu
Penyakit ini masih relatif baru dan masih banyak yang harus dipelajari dan dimengerti oleh dunia kedokteran. Hal ini membuat masih banyak hal yang terletak di daerah abu-abu, yaitu antara fakta yang kuat, suatu dugaan kuat, atau merupakan mitos. Seiring dengan berjalannya pandemi ini, hal dalam daerah abu-abu ini juga akan bisa berubah.
- Obat. Sudah banyak obat yang diteliti dan dicoba kepada pasien COVID-19. Di antaranya adalah obat anti malaria, obat HIV, obat flu, bahkan obat-obatan tradisional. Sampai saat ini masih belum ada yang bisa dipastikan mana yang paling efektif. Di luar itu juga banyak obat yang dicurigai merupakan kontra indikasi untuk diberikan kepada seorang pasien COVID-19, seperti obat darah tinggi dan suplemen immunobooster. Tapi sampai saat ini juga masih belum bisa dipastikan sehingga dokter masih terus memberikan sesuai indikasi yang ada.
- Anti Virus. Sampai saat ini sudah beberapa jenis anti virus yang dicoba kepada pasien COVID-19. Ada beberapa rekomendasi dan hasil dari berbagai pusat penelitian besar di dunia. Tapi belum ada hasil yang bisa memastikan jenis mana yang paling baik digunakan untuk kasus COVID-19. Kita tunggu saja.
- Vaksin. Vaksin untuk mencegah infeksi SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 sudah selesai dibuat dan sedang diuji-kliniskan (human clinical trial). Tapi sampai saat ini belum ada yang bisa memastikan keberhasilannya untuk diproduksi masal dan diberikan kepada orang di seluruh dunia. Karena seiring dengan dibuatnya vaksin, virus SARS-CoV-2 juga terus bermutasi.
- Herd immunity atau kekebalan komunitas. Suatu topik panas yang masih terus diperdebatkan. Ilmuan masih terbelah dua antara yang meyakini herd immunity ini bisa terbentuk dengan yang tidak. Yang meragukan adalah ilmuan yang mengkhawatirkan terjadinya mutasi ulang pada virus ini, sehingga akan ada pandemi gelombang dua yang juga akan memakan korban yang tidak sedikit
- Hewan peliharaan. Ada beberapa bukti bahwa hewan dapat tertular COVID-19 yang diduga dari manusia. Hal ini membuat orang khawatir dirinya yang mungkin seorang OTG dapat menulari hewan peliharaannya. Lebih jauh ada pula yang takut hewan domestik seperti kucing dan anjing juga dapat menularkannya ke manusia. Issue ini masih terus diteliti, sehingga belum bisa disimpulkan secara solid.
- Cara penularan. Bahkan cara penularan COVID-19 secara umum saja masih belum bisa dipastikan secara solid. Yaitu pada aspek berapa jauh droplets mengandung virus bisa terbang di udara, dan aspek berapa lama virus bisa hidup pada droplets bila menempel di permukaan benda yang terbuat dari berbagai jenis bahan.
- Barang dan Makanan. Karena nomor 5 di atas masih terus diteliti, akhirnya masih belum bisa dipastikan persentase keamanan makanan siap saji atau barang yang dibeli. Banyak ahli yang menyarankan, agar makanan lebih baik di masak sendiri agar semua mikroba diyakini mati. Serta barang yang dibeli atau diantar kurir, dilap dulu oleh cairan antiseptik/disinfektan sebelum dibawa masuk ke rumah.
Penutup
Isi dan detil dari artikel yang ditulis pada bulan April 2020 ini juga suatu saat mungkin harus direvisi karena ada perkembangan dan informasi baru mengenai perjalanan pandemi dari COVID-19, yang saat ini belum tersedia atau belum diketahui. Sementara semua orang bisa menulis apa saja terutama di dunia online dengan alasan dan tujuan yang beragam seperti uraian di atas. Karenanya sangat penting bagi kita sebagai pengguna internet pintar, untuk “pintar-pintar” menyaring segala informasi. Jangan terlalu mudah untuk men-share setiap informasi yang didapatkan sebelum diperiksa kebenarannya. Bila Anda sendiri ragu, lebih baik untuk tidak men-share-nya sama sekali. Usahakanlah untuk senantiasa bertanya kepada yang lebih paham, seperti dokter Anda. Semoga dokter Anda juga seorang yang senantiasa memperkaya pengetahuannya serta bisa bersikap objektif terhadap setiap berita.
©IKM 2020-04 - unpdated 2020-05