Sejalan dengan berkembangnya pandemi COVID-19 (C19), dunia ilmu kedokteran semakin mengenal penyakit ini. Salah satu yang semakin dimengerti adalah gejala-gejala yang mungkin saja muncul pada seorang penderita. Awalnya C19 sudah diketahui menyebabkan infeksi pada saluran pernafasan yang mencetus gejala seperti demam, batuk, dan kesulitan bernafas. Tetapi ternyata bukan itu saja gejala yang dapat dikaitkan dengan C19. Cukup banyak penderita yang memunculkan gejala yang lebih tidak spesifik. Semakin baik kita memahami gejala suatu penyakit, maka akan semakin cepat diagnosis ditegakkan dan semakin tepat pula penanganan yang diberikan pada penderita.
- Gejala C19 yang paling umum, sudah jelas terdapat pada sistem pernafasan yang sudah banyak dikenal orang.
- Kini, ditemukan gejala tidak biasa di selain sistem pernafasan, yang sebelumnya tidak dianggap sebagai suatu gejala C19.
- 1 dari 5 pasien positif C19, mengalami kerusakan pada jantung (heart injury) yang membuat gejala dan komplikasi pada cardiovascular menjadi yang paling bahaya.
- Orang yang memiliki penyakit atau kondisi comorbid, masih merupakan kelompok yang paling beresiko dan bergejala.
Dalam artikel ini kita akan membahas gejala-gejala yang baru dimasukkan ke dalam gejala C19, dimana tadinya tidak dianggap sebagai gejala C19, termasuk membahas komplikasi yang paling berbahaya. Dari gejala yang khas dan gejala yang tidak biasa, kini penderita C19 dapat dibagi menjadi empat kelompok sbb.:
- Penderita yang hanya menunjukkan gejala khas yang sebagian besar pada sistem pernafasan seperti; demam, sakit-sakit badan, batuk, radang tenggorokan dan kesulitan bernafas.
- Penderita yang menunjukkan keduanya yaitu gejala khas seperti nomor satu di atas, tapi juga menunjukkan gejala tidak khas seperti pada nomor tiga di bawah.
- Penderita yang hanya menunjukkan gejala tidak khas yang justru terdapat pada sistem lain di luar sistem pernafasan, seperti; kehilangan nafsu makan, mual, muntah, diare, delirium, lesi di kulit sampai ada yang mirip cacar air, serta kehilangan kemampuan merasa pada lidah dan kehilangan kemampuan membau, dll.
- Penderita yang tidak menunjukkan gejala sama sekali. Di Indonesia mereka disebut OTG (Orang Tanpa Gejala).
Kehilangan Kemampuan Merasa & Membau
Dalam bahasa Inggrisnya biasa disebut dengan loss of taste or smell. Sejak awal Juni 2020 ini, CDC (Centers for Disease Control) di AS memasukkan gejala “loss of taste or smell” ke dalam daftar gejala yang dapat muncul pada penderita C19. Peneliti di University of California di Sand Diego melaporkan, lebih dari dua per tiga penderita mengalami gejala pada sistem syaraf ini. Memang kehilangan kemampuan merasa dan membau ini juga bisa disebabkan oleh penyakit atau kondisi medis lain seperti flu dan alergi, tapi sekarang kita tidak boleh mengabaikan apa bila ada orang yang mengeluhkan gejala tersebut sebagai kemungkinan sebagai seorang penderita C19.
Mual – Muntah – Mencret
Sejauh ini CDC masih belum memasukkan gejala mual, muntah, mencret atau keluhan pada saluran pencernaan lain ke dalam daftar gejala C19. Tapi ini hanya tinggal menunggu waktu saja, karena sudah banyak peneliti yang melaporkan gangguan pada saluran pencernaan (gastrointestinal distress) semakin biasa ditemukan pada seorang penderita C19. Peneliti dari Standford Medicine me-review dari 116 orang subjek penelitiannya dengan positif C19, sepertiganya mengeluhkan masalah pada saluran pencernaan, termasuk kehilangan nafsu makan, mual, muntah atau diare.
Lesi atau Gejala pada Kulit
Para ahli kulit di Italia yang meneliti 88 orang dengan positif C19, menemukan 20%-nya mengalami keluhan atau gejala pada kulit. Gejala tersebut mulai dari adanya perubahan warna kemerahan (rash) yang bisa dirasakan gatal, bruntusan kecil merata (hives) yang juga bisa dirasakan gatal, sampai adanya gejala yang mirip seperti cacar air yang bisa terbentuk bula (bentol berisi cairan). Lokasi pada tubuh yang sering muncul gejala tersebut adalah pada kaki dan jari kaki yang bila dilihat sepintas sangat mirip dengan gejala biasa pada awal terjadinya suatu infeksi di kulit.
Gejala pada Sistem Syaraf
Rasa bingung (confusion), delirium (penurunan kewaspadaan pada lingkungan), dan gejala pada persyarafan lainnya juga sudah banyak ditemukan pada penderita C19. Hal ini dilaporkan di dalam Journal of the American Medical Association (JAMA) Neurology. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, gejala loss of taste and smell sudah dimasukkan oleh CDC ke dalam daftar gejala penderita C19. Selain itu ada gejala lainnya seperti sakit kepala, pusing (dizziness), confusion, delirium, atau keluhan merasa lemas pada otot di tubuh (muscle weakness). Gejala pada sistem syaraf yang bisa dikatakan ringan ini diketahui sering muncul pada tahap awal dari perjalanan penyakit C19. Sementara gejala yang lebih berat seperti pembengkakan pada otak dan perubahan status mental dapat muncul seiring dengan perjalanan penyakitnya yang bertambah berat.
Happy Hypoxia
Beberapa penderita C19 ada yang menunjukkan fenomena klinis aneh yang disebut sebagai happy hypoxia dimana terjadi kondisi hypoxia atau otak kekurangan oksigen, tetapi yang bersangkutan tetap merasa nyaman dan tidak menunjukkan suatu kegelisahan atau tanda lainnya. Hypoxia pada kondisi normal sudah pasti akan menurunkan tingkat kesadaran penderitanya. Jadi akan terlihat berbeda antara apa yang dibaca pada vital sign monitor dengan gejala klinis yang ditunjukkan oleh penderita. Hal ini disampaikan oleh Dr. Reuben Strayer di Maimonides Medical Center, kota New York. Diyakini kemungkinan fenomena ini terjadi akibat adanya bekuan darah yang menyumbat pada pembuluh darah kecil di paru-paru. Tapi untuk memastikannya harus dilakukan penelitian kembali.
Baca artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Mungkin yang kini paling banyak diteliti dari gejala dan komplikasi C19 adalah pada sistem cardiovascular (jantung dan pembuluh darah). Karena sudah banyak dilaporkan C19 bisa meningkatkan resiko terjadinya bekuan darah abnormal lalu menyumbat pembuluh darah. Inilah yang menjadi penyebab munculnya keluhan pada kulit terutama di kaki dan alat gerak, yaitu karena terjadi bekuan darah dan penyumbatan pada pembuluh darah kecil di kulit. Tetapi akan berbeda ceritanya bila bekuan darah dan penyumbatan pembuluh darah tersebut terjadi di paru-paru, jantung atau otak. Karena akan mencetus komplikasi yang lebih serius dan dapat mengancam jiwa seperti emboli paru (pulmonary emboly), serangan jantung (heart attack), atau stroke. Sudah semakin sering ada laporan pasien masuk ke RS dengan gejala stroke atau serangan jantung yang ternyata merupakan penderita C19.
COVID-19 Dapat Menyerang Jantung
Sampai 20% penderita C19 mengalami kerusakan di jantungnya. Kerusakan pada jantung ini malah bisa terjadi pada penderita yang tidak mengalami gejala atau keluhan pada sistem pernafasan. Tingginya insidensi masalah jantung bagi orang yang terpapar C19 sampai kini membuat bingung para ahli medis di dunia. Memang sebagian besar dari mereka yang memiliki kerusakan jantung tersebut sebelumnya sudah memiliki masalah cardiovascular seperti tekanan darah tinggi dan penyakit jantung lainnya. Tapi tidak sedikit kerusakan jantung ini juga terjadi pada pasien yang sebelumnya sehat, dan justru menderita penyakit cardiovascular setelah terkapar C19; seperti kerusakan pembuluh darah, terjadi bekuan darah dan penyumbatan pembuluh darah, arrhythmia (gangguan irama jantung), stroke, sampai serangan jantung. Sebuah penelitian yang dipublikasi di Journal of Emergency Medicine pada pertengahan May 2020, melaporkan 45 kasus penderita C19 dengan kerusakan jantung akan memiliki kerusakan permanen pada jantung dan sistem cardiovascular-nya. Hal ini dapat diperburuk bila mereka mendapatkan terapi eksperimental menggunakan obat anti-malaria seperti hydroxychloroquine atau chloroquine yang dapat memperparah kondisi kerusakan jantung tersebut atau memperparah penyakit cardiovascular yang memang sebelumnya sudah diderita.
Cytokine Storm
Salah satu kunci masalah yang dapat dikaitkan antara kerusakan jantung dengan C19 adalah karena beratnya kondisi peradangan yang terjadi di dalam tubuh seorang penderita C19, sampai akhirnya merusak sel-sel otot jantung. Peradangan berat tersebut adalah suatu kondisi medis yang dikenal dengan cytokine storm atau badai sitokin. Merupakan kondisi dimana sistem imunitas memproduksi terlalu banyak sel cytokine untuk melawan virus. Sel-sel pertahanan tubuh tersebut bukan hanya menyerang virus, tapi juga menyerang sel-sel jantung yang sehat sampai membuat badai peradangan di sana. Kejadian ini dikenal dengan istilah fulminant myocarditis yang sampai bisa membuat nekrosis lalu kematian pada sel-sel otot jantung. Respon peradangan yang terlalu besar seperti ini dapat membuat jantung stres, membuatnya bekerja lebih keras untuk memompakan darah ke seluruh tubuh untuk melawan infeksi. Saat ia harus bekerja keras sementara sel-sel ototnya sudah nekrosis dan mati, akan berakhir dengan kerusakan jantung dan organ pada sistem cardiovascular lainnya. Hal ini disampaikan oleh seorang peneliti dari China, Dr. Shuyang Zhang. Ia adalah profesor di Peking Union Medical College, di Beijing.
SARS-CoV-2 Menyerang Jantung
Virus SARS-CoV-2 penyebab C19 ini juga dapat secara langsung menyerang sistem cardiovascular melalui reseptor angiotensin converting enzyme 2 (ACE2). Karena virus ini berikatan dengan ACE2 dan ACE2 tidak hanya terdapat pada paru-paru tapi juga terdapat pada jantung dan pembuluh darah. Kerusakan langsung sel-sel di jantung ini akan mencetus keluhan nyeri dada, irama jantung yang tidak normal (aritmia), bahkan gagal jantung. Kejadian ini sebenarnya sudah pernah ditemukan pada kasus SARS di tahun 2002. Kondisi cytokine storms dan kemampuan virus menyerang sel jantung secara langsung ini, membuat 22% kematian penderita C19 terjadi pada mereka yang memiliki komorbiditas cardiovascular. Fatality rate pasien dengan penyakit jantung juga ditemukan lebih tinggi yaitu 10.5%, dibandingkan dengan kondisi kronis (selain penyakit pernafasan) sekitar 7.3%, dengan kondisi pernafasan kronis (6.3), atau karena kanker (5.6%).
Virus Menyebar di Seluruh Tubuh
Karena tubuh manusia belum membangun kekebalan terhadap virus SARS-CoV-2 penyebab C19 ini, maka ia dapat dengan mudah menyebar ke seluruh tubuh. Saat ia sudah berada di dalam pembuluh darah yang awalnya terdapat di paru-paru, maka ia akan mampu meyebar dengan sangat mudah tanpa ada sistem imunitas yang menahannya. Banyak penelitian yang masih harus dilakukan untuk melihat bagaimana virus ini berefek terhadap sel-sel berbeda di tubuh manusia. Sejauh ini memang ditemukan ada gejala yang timbul karena efek dari masuknya virus ke dalam sel pada organ tertentu, tapi ada juga gejala yang timbul akibat terjadinya peradangan sebagai respon dari sistem imunitas melawan infeksi seperti yang dijelaskan di atas. Perjalanan pandemi C19 ini terlalu cepat, dan ilmuan medis dunia memang kesulitan untuk mengejarnya.
Penutup
Karena tanda dan gejala dari C19 semakin banyak, seseorang bisa saja sudah terpapar virus SARS-CoV-2 tanpa menyadarinya. Hal ini membuat pemeliharaan kesehatan, lalu tes dan screening semakin bertambah penting agar kita bisa menahan laju penyebarannya sampai tersedianya vaksin yang diharapkan bisa menciptakan kekebalan komunitas. Sampai hal tersebut tercapai, setiap orang harus menjaga kesehatan sebaik-baiknya, mengatasi kondisi comorbid sekuat tenaga, mempraktekkan physical distancing seefisien mungkin, mau mengisolasi diri bila didapatkan dirinya tidak sehat (sedang sakit), serta menjalani protokol-protokol kesehatan dengan ikhlas tanpa paksaan. Bagi pemerintah di suatu negara diharapkan dapat secara reguler melakukan uji dan screening kepada penduduk di negaranya.