Hal positif dari COVID-19 (C19), adalah tidak semua orang yang terkena harus merasakan penderitaan karena adanya berbagai gejala dan keluhan. Tapi justru karena hal tersebut membuat pandemi penyakit ini bertambah susah untuk dikendalikan, sekaligus membuatnya menjadi hal negatif. Karena mereka yang tidak bergejala tetap menjadi sumber penularan yang menyebarkan penyakitnya ke banyak orang. Di Indonesia kelompok orang tidak bergejala ini disebut sebagai OTG (Orang Tanpa Gejala). Sementara dalam bahasa Inggris mereka disebut sebagai asymptomatic carriers. Tapi definisi antara OTG di Indonesia dengan asymptomatic carriers yang dikenal dunia tersebut ternyata berbeda. Dalam artikel ini akan dibahas tentang OTG dan asymptomatic carriers sehingga tidak terjadi kesalahpahaman, untuk menekan penyebaran penyakit ini.
- Istilah OTG dikenal sejak adanya Kepmenkes No. 328 tahun 2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian C19.
- Istilah OTG versi Kemenkes sedikit berbeda dengan OTG versi WHO yang dikenal dunia.
- Sekitar 80% orang dengan COVID-19 tidak sadar bahwa dirinya memiliki virus.
- Waktu yang paling menulari bagi seorang OTG adalah 48 jam sebelum ia menimbulkan gejala (bila jadi sakit), atau sekitar 3 hari setelah dirinya terpapar (bila tidak jadi sakit).
- Tingginya jumlah OTG membuat membatasi bepergian, physical distancing, pemakaian masker, sering mencuci tangan, dan penjagaan kesehatan menjadi lebih krusial lagi.
Khususnya di Indonesia definisi OTG yang dipahami masyarakat sedikit berbeda dengan asymptomatic carriers yang dipahami sebagian besar orang di dunia, termasuk WHO. Di Indonesia istilah OTG atau Orang Tanpa Gejala pertama kali dipopulerkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/ 328/2020 tentang “Panduan Pencegahan dan Pengendalian C19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi”. Dalam keputusan tersebut pada huruf D tentang Pengertian, butir ketiga disebutkan; “Orang Tanpa Gejala yang selanjutnya disingkat OTG adalah orang yang memiliki riwayat kontak erat dengan kasus konfirmasi COVID-19 (dengan PCR) tetapi tidak memiliki gejala”. Artinya di sini walaupun yang bersangkutan belum diperiksa apa-apa tapi memiliki kontak erat dengan kasus konfirmasi menggunakan tes PCR C19; sudah masuk ke dalam kategori dan dianggap sebagai OTG.
Sementara ada istilah yang mirip dari WHO yaitu asymptomatic carriers, atau bila diterjemahkan menjadi “pembawa (virus) tanpa gejala” dan presymptomatic carriers, atau bila diterjemahkan menjadi “pembawa (virus) sebelum bergejala”; adalah mereka yang sudah terkonfirmasi positif C19 dengan menggunakan PCR atau tes antigen, tapi yang bersangkutan tidak/belum bergejala. Dengan demikian definisi OTG oleh WHO lebih sempit dibandingkan dengan istilah OTG oleh Kemenkes RI. Juga membuat jumlah OTG menggunakan istilah WHO akan lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah OTG menggunakan istilah dari Kemenkes. Perluasan definisi OTG oleh Kemenkes bertujuan agar tidak ada kasus luput karena adanya keterbatas-an akses swab PCR test pada awal pandemi ini di Indonesia.
Persentase Orang Tanpa Gejala
Diyakini sangat banyak orang yang berseliweran beraktivitas seperti biasa yang membawa virus SARS-CoV-2 penyebab C19, namun tidak menyadari sama sekali bahwa mereka berperan sangat besar menyebarkan penyakit ini. Semua hasil penelitian terkait OTG di dunia menggunakan definisi dari WHO, seperti yang akan dibahas berikut ini. Di dunia hal ini pertama kali dinyatakan pada awal April 2020 oleh Direktur CDC (Centers for Disease Control and Prevention) di AS, Dr. Robert Redfield. Saat itu Dr. Redfield memperkirakan adanya angka OTG sebesar 25%. Beberapa hari kemudian sebuah penelitian di Islandia yang bekerja sama dengan Amgen, sebuah perusahaan bioteknologi AS melaporkan angka OTG tersebut lebih besar, yaitu 50%. Mereka adalah orang dengan tes swab positif namun tidak bergejala. Dari sinilah muncul istilah asymptomatic carriers. Kini angka asymptomatic carriers dipercaya mencapai 80% yang didukung oleh hasil penelitian terhadap penumpang kapal pesiar, ditemukan 81% orang test positif C19, tanpa gejala.
Lalu sebuah penelitian di Singapura yang dilaporkan pada pertengahan April 2020; mengidentifikasi 7 clusters kejadian infeksi ulangan, dipercaya 44%-nya disebabkan oleh orang-orang yang awalnya belum bergejala atau disebut sebagai presymptomatic transmission. Bila diterjemahkan berarti penyebaran penyakit yang disebabkan oleh orang yang belum bergejala. Hal ini menguatkan pendapat ilmuan yang mengemukakan bahwa seseorang sudah bisa menulari C19 sejak ia belum menunjukkan adanya gejala. Yaitu ketika ia sudah memiliki virusnya, namun merasa masih sehat, sehingga masih beraktivitas seperti biasa serta kontak dengan orang banyak.
Transmisi Virus dari OTG
Bila dicari persamaannya penyebaran C19 sangat mirip dengan campak. Hal ini disampaikan oleh Dr. James Hildreth, president dan CEO Meharry Medical College; karena antara C19 dan campak memiliki angka potensi penyebaran yang hampir sama yaitu sekitar 4. Artinya setiap orang dengan virus berpotensi menularkan ke 4 orang lainnya. Bila dihitung secara matematika, maka angkanya akan menjadi dua kali lipat setiap 6 hari. Tapi berdasarkan data aktual di beberapa negara dunia angkanya bisa menjadi dua kali lipat bahkan setiap 3 hari. Hal ini terjadi karena orang yang memiliki virusnya tidak pernah sadar bahwa dirinya merupakan seorang pembawa virus (carrier). Inilah alasan betapa pentingnya setiap orang menyadari kemungkinan bahwa dirinya seorang OTG dan berpotensi menjadi penyebar C19.
Baca artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Sampai tengah Juli 2020, para ilmuan masih mencari angka pasti laju penyebaran C19 oleh OTG, karena untuk menentukan angkanya harus dilakukan tes pada 100% populasi. Beberapa ilmuan seperti dari Scripps Research Translational Institute berusaha menentukan angkanya, dan melaporkan 40-45% penularan C19 disebabkan oleh OTG. Bahkan dipercaya seorang OTG masih bisa menulari virusnya bahkan sampai beberapa minggu. Sementara bagi seorang yang awalnya OTG lalu dirinya juga sakit (presymptomatic carriers), bisa menularkan virus sejak 14 hari sebelum gejala mulai timbul pada dirinya. Hal ini disampaikan oleh Carl Bergstorm, seorang profesor di University of Washington, Seattle, AS.
Cara Penyebaran C19 dari OTG
Dari penelitian yang dilakukan di West China Hospital in Sichuan University, Chengdu; dipercaya ada sedikit perbedaan cara penyebaran antara seorang OTG dengan orang yang memang sakit. Orang OTG lebih menyebarkan virus pada permukaan benda yang disentuhnya (karena sebelumnya tangan mereka menyentuh hidung, mulut atau mata). Penelitian tersebut tidak menemukan penyebaran lewat udara dari seorang OTG. Walaupun hal ini masih harus diperkuat dengan penelitian lain, minimal kita kini bisa lebih berhati-hati untuk menyentuh benda-benda di tempat umum, lalu senantiasa mencuci tangan sebelum kita pun menyentuh mata, hidung dan mulut. Karena banyak sekali OTG di sekitar kita.
Isolasi Mandiri OTG
Masih dari penelitian di Sichuan University melaporkan bahwa isolasi seorang OTG secara mandiri di rumah, harus diikuti oleh partisipasi seluruh orang di rumah. Tidak bisa hanya OTG yang bersangkutan saja. Karena keluarga dan semua orang yang tinggal dalam satu rumah dengan seorang OTG, semakin pasti kini juga akan mendapatkan virusnya, walaupun mereka sekuat tenaga mencegahnya. Waktu yang dibutuhkan oleh tubuh rata-rata 14 hari untuk mengalahkan virus. Walaupun ada penelitian yang melaporkan penularan bisa sampai hitungan minggu; ditetapkan waktu isolasi mandiri tersebut minimal 14 hari. Bila akan diperpanjang maka akan lebih baik lagi.
Super Spreaders
Berbeda dengan OTG, seorang superspreaders (orang yang menyebarkan virus ke sangat banyak orang) adalah mereka yang memang sudah sakit dan positif C19. Jadi anggapan bahwa OTG bisa menjadi seorang superspreaders adalah tidak benar. Laju penyebaran virus dari seorang positif C19 jauh lebih tinggi dibandingkan dari seorang OTG. Penyebaran virus ke sangat banyak orang sejauh ini hanya bisa terjadi dari seorang positif C19, sehingga dikatakan bahwa mereka berpotensi menjadi seorang superspreaders bila tidak dirawat di RS. Inilah alasan mengapa seorang yang positif C19 (dari pemeriksaan swab – baik PCR ataupun antigen) lalu menunjukkan gejala, sebaiknya dirawat di rumah sakit. Mereka bahkan dikatakan sebagai “biologically radioactive” oleh Dr. William Schaffner dari National Foundation for Infectious Disease di Vanderbilt University Medical Center.
Kapan Harus Melakukan Tes
Karenanya, setiap orang dengan kategori OTG baik menggunakan definisi dari Kemenkes RI atau pun WHO, harus dilakukan pemeriksaan. Tujuannya adalah untuk contact tracing agar bisa diketahui yang bersangkutan berkemungkinan sudah menyebarkan virusnya kepada siapa saja. Bisa swab dulu baru rapid antibody test atau pun dibalik. Tentunya dengan pendekatan interpretasi hasil yang berbeda relatif terhadap suspect waktu paparan. Dengan demikian kita dapat menekan laju penyebaran C19 secara maksimal. Kita akan membahas lebih lanjut tentang tes yang ada untuk C19 dalam artikel terpisah.
Anak Muda OTG
Semakin hari kini semakin banyak OTG yang merupakan anak-anak muda. Hal ini membuat usaha menahan penyebaran C19 semakin susah untuk dilakukan. Karena anak-anak muda merupakan kelompok usia produktif yang memiliki aktivitas paling tinggi dibanding kelompok umur lainnya. Usia mereka yang muda memiliki daya tahan tubuh relatif lebih kuat (kecuali memiliki penyakit comorbid); sehingga sangat mungkin mereka menjadi OTG, memiliki virusnya tanpa menyadarinya, tapi menyebarluaskan infeksi kepada orang-orang yang kontak dengan mereka. Bila virus tersebut ditularkan kepada manula atau orang dengan kondisi comorbid lainnya, maka resiko meningkatnya angka kematian juga menjadi semakin tinggi. Semangat anak muda untuk tetap aktif sangat tinggi tidak didukung oleh kesadaran dan kepedulian mereka yang cendrung rendah terhadap pandemi C19.
Meningkatkan Kesadaran
Dengan penjelasan di atas, setiap kita harusnya memiliki kesadaran bahwa kita bisa saja adalah seorang OTG, terlepas dari berapa usia, apa aktivitas, ataupun pekerjaan kita. Bagi yang berusia muda harus senantiasa mengingat bahwa bila dirinya merupakan OTG, ia berpotensi menjadi “bom waktu” bagi orang-orang tua yang mereka cintai seperti ayah, ibu, kakek, nenek, dll. Kenyataan yang ada kini justru sebaliknya, termasuk di Indonesia. Dimana cendrung orang semakin terbiasa dengan pandemi C19 yang belum bisa dikatakan berakhir, belum bisa dikatakan aman, bahkan angka kematiannya pun semakin meningkat. Di Jakarta saja, lebih dari 77% orang kini merasa tidak khawatir terhadap pandemi C19 ini. Terbukti karena kini kita dapati tempat umum semakin ramai, protokol kesehatan banyak dilanggar, lalu-lintas manusia antar daerah/kota semakin biasa dan kehilangan kewaspadaannya.
Penutup
Jangan sampai harus “kena batunya dulu” baru republik ini tersadar. Mari kita mulai dari diri kita dan keluarga, mulai dari yang kecil dan mulai dari sekarang untuk membatasi bepergian semaksimal mungkin, bahkan sekedar keluar kota sekalipun, bila tidak sangat diperlukan sekali lebih baik ditunda dulu. Berusaha untuk membatasi kontak dengan orang yang tidak biasa kontak sehari-hari, tidak mengunjungi tempat-tempat keramaian dulu, menerapkan physical distancing jarak 2 meter dengan semua orang, menggunakan masker bahkan face shield, rajin mencuci tangan, serta menjalani gaya hidup sehat. Hanya dengan upaya maksimal seperti ini kita bisa secara bersama-sama membatasi dan menekan penularan C19 sampai nanti vaksinnya bisa kita dapatkan. Barulah kita setidaknya bisa hidup mirip dengan dulu lagi, seperti sebelum pandemi COVID-19.
©IKM 2020-07