Pada akhir Agustus 2020, tengah marak pemberitaan tentang satu gejala yang tidak biasa dari penderita COVID-19, yaitu happy hypoxia. Hal ini pernah dibahas sedikit pada artikel sebelumnya, tapi akan dibahas lebih dalam pada artikel ini. Happy hypoxia memiliki nama yang lebih formal di ilmu kedokteran yaitu silent hypoxia atau silent hypoxemia. Suatu kejadian atau kondisi yang sudah lama dikenal di dunia medis yang bisa terjadi karena beberapa kondisi medis. Hanya saja karena saat ini terjadi pada pasien COVID-19 (C19) ada yang menunjukkan gejala ini, happy hypoxia menjadi terkenal.
- Biasa dijumpai pada pasien PPOK dan pendaki gunung.
- Seiring dengan perjalanan pandemi C19, lebih banyak kini ditemukan penderita C19 mengalami happy hypoxia.
- Pada kasus C19, lebih sering terjadi pada orang dewasa muda dan orang sehat yang tidak memiliki faktor comorbid.
Sebelum kita membahas tentang happy hypoxia kita harus mengenal dulu hypoxia dan perbedaannya dengan hypoxemia; yang antara keduanya serupa tapi tidak sama. Hypoxemia didefinisikan sebagai penurunan tekanan parsial dari gas oksigen di darah, karena terjadi penurunan kadar oksigen di dalam darah. Sementara hypoxia adalah kondisi saat terjadi penurunan kadar oksigen di dalam sel pada jaringan di tubuh. Hypoxemia bisa terjadi berbarengan dengan hypoxia, tapi bisa juga terjadi secara terpisah. Adanya hypoxemia bisa menjadi indikasi terjadinya hypoxia. Karena bila oksigen di dalam darah rendah, maka bisa terjadi jaringan tubuh juga tidak cukup untuk mendapatkan oksigen yang dibutuhkannya. Tapi penyebab keduanya sama dan gejala yang ditimbulkannya juga mirip.
Tipe Hypoxemia
Pembagian tipe hypoxemia yang bisa menjadi hypoxia ini dibuat berdasarkan mekanisme terjadinya penurunan kadar oksigen di dalam darah.
1. Ketidakcocokan perbandingan ventilasi/perfusi (V/Q)
Ini adalah tipe tersering dari hypoxemia. Yang dimaksud dengan ventilasi adalah suplai oksigen ke paru-paru, sementara perfusi adalah suplai darah ke paru-paru. Ventilasi dan perfusi diukur dengan rasio V/Q. Dalam kondisi normal ketidakcocokan ini bisa saja terjadi, tapi dalam rasio yang relatif kecil. Namun ketika ketidakcocokannya semakin besar, maka terjadilah masalah. Ada 2 penyebab hal ini dapat terjadi:
- Paru-paru mendapatkan cukup oksigen, tapi darah yang masuk ke paru-paru tidak mencukupi (rasio V/Q meningkat).
- Darah yang ke paru-paru cukup, tapi tidak cukup oksigen yang masuk ke paru-paru (rasio V/Q menurun).
2. Shunt
Dalam kondisi normal, darah yang “miskin” oksigen (deoxygenated) masuk ke bagian kanan jantung, untuk dipompa ke paru-paru agar mendapatkan oksigen, lalu kembali ke jantung di sebelah kiri untuk kemudian didistribusikan ke seluruh tubuh. Pada kejadian shunt, yaitu kelainan pada pembuluh darah; saat darah kembali ke jantung, tidak menjadi “kaya” oksigen (oxygenated).
3. Kegagalan Difusi
Saat oksigen masuk ke paru-paru, ia mengisi kantung mungil bernama alveoli yang dikelilingi oleh pembuluh darah yang mungil juga yang disebut kapiler. Maka terjadilah proses difusi dari alveoli ke darah untuk kemudian diangkut ke jantung. Proses difusi ini bisa gagal sehingga darah tidak berhasil mendapatkan oksigen saat keluar dari paru-paru.
4. Hipoventilasi
Hipoventilasi adalah kondisi asupan oksigen dari pernafasan yang rendah. Hal ini mengakibatkan tingginya kadar karbon dioksida di dalam darah sehingga menurunkan kadar oksigen.
5. Kondisi lingkungan kurang oksigen
Kondisi ini sering ada di dataran tinggi seperti di puncak gunung. Oksigen akan menipis seiring dengan peningkatan ketinggian. Dalam satu tarikan nafas yang sama, oksigen yang masuk ke dalam tubuh lebih rendah di dataran tinggi dibandingkan dengan di pinggir laut.
Penyebab Hypoxemia & Hypoxia
Kelima tipe hypoxemia di atas dapat disebabkan dan dilatarbelakangi oleh kondisi atau penyakit sbb.:
- Acute respiratory distress syndrome (ARDS) dan juga Severe acute respiratory distress syndrome (SARS). Salah satu penyebabnya adalah infeksi virus seperti SARS-CoV-2 penyebab C19.
- Pneumonia atau radang paru, yang juga bisa disebabkan oleh penyakit C19.
- Bekuan darah pada jaringan paru-paru, yang juga bisa disebabkan oleh penyakit C19.
- Berada di dataran tinggi
- COPD (PPOK) atau bronkhitis kronis
- Anemia
- Asma
- Terdapat cairan di dalam paru-paru (pulmonary edema)
- Collapsed lung (kondisi paru-paru tidak bisa mengembang)
- Congenital heart defects or disease
- Interstitial lung disease.
Hypoxemia & Hypoxia pada COVID-19
C19 secara prinsip adalah penyakit saluran pernafasan di mana pada kasus berat dapat mengurangi jumlah oksigen yang dapat diserap oleh paru-paru. Kejadian hypoxemia dan hypoxia sering terjadi pada penderita C19 dengan sering ditemukan kadar oksigen yang sangat rendah di dalam darah penderitanya. Seperti pada kasus hypoxemia dan hypoxia lainnya, penderita akan mengalami kesulitan bernafas yang disebut dengan dyspnea. Dari mulai derajat yang ringan, sampai harus mendapatkan bantuan ventilator. Tapi ada kalanya walaupun sudah terjadi penurunan saturasi oksigen di dalam jaringan tubuhnya, seorang dengan hypoxemia dan hypoxia bisa tidak menimbulkan gejala atau keluhan. Hal inilah yang disebut sebagai silent hypoxia atau silent hypoxemia yang kini lebih dikenal dengan sebutan happy hypoxia.
Baca artikel lainnya di blog Dr. Indra K. Muhtadi
Saat kondisi normal saturasi oksigen berada pada angka 94%-100%. Saat lebih rendah dari itu, otak sudah mulai kekurangan oksigen yang dapat mencetus kebingungan dan lethargy atau rasa lemas. Bila levelnya jatuh di bawah 80%, dapat terjadi kerusakan organ vital sampai dapat mengancam jiwa. Dalam kondisi normal tersebut, bila oksigen darah menjadi rendah, otak kita akan mendeteksinya. Yang bertugas mendeteksi ini adalah carotid body, yaitu sebuah kelompok sel di dalam arteri karotis, lalu melaporkannya ke otak. Sebagai responnya, otak akan mengirimkan pesan ke seluruh tubuh agar paru-paru meningkatkan frekuensi nafas dan mengecilkan pembuluh darahnya, lalu jantung memompa lebih cepat, dan pembuluh darah pada alat gerak (kaki dan tangan) dilebarkan. Tapi saat terjadi silent hypoxia, sistem ini tidak berjalan, membuat penderitanya tidak merasakan keluhan apa-apa. Hal ini bisa terjadi karena beberapa mekanisme sbb.:
- Otak tidak dapat mendeteksi terjadinya penurunan kadar oksigen di darah yang terjadi secara cepat.
- Terjadi kadar karbon dioksida yang juga rendah di dalam darah, sehingga menghilangkan efek rendahnya kadar oksigen di dalam darah.
- Terjadi pada orang usia muda yang lebih bisa mentoleransi kondisi rendahnya oksigen di dalam jaringan.
Happy Hypoxia dan COVID-19
Seiring dengan perjalanan penyakit C19, semakin banyak laporan terjadinya happy hypoxia pada penderitanya. Sering dilaporkan walaupun saturasi oksigen di jaringan pada penderita terbaca sudah sangat rendah, namun yang bersangkutan tetap melaksanakan aktivitas bahkan tanpa adanya keluhan kesulitan bernafas. Selain terjadi karena tiga mekanisme di atas, pada pasien C19 juga pernah ditemukan diakibatkan karena adanya bekuan-bekuan darah di pembuluh darah kapiler paru-paru; walaupun hal ini masih harus diteliti lebih lanjut lagi. Banyak dokter yang merawat pasien C19 di dunia menyampaikan bahwa mereka memiliki pasien dengan paru-paru sudah terendam cairan atau nanah ketika sampai di RS, tapi sebelumnya tidak mengalami kesulitan bernafas sama sekali. Hal ini membuat penanganan pendertia C19 bisa menjadi sangat terlambat.
Merusak dengan “Mode Siluman”
Di banyak kasus C19, virus SARS-CoV-2 secara diam-diam menyebabkan kerusakan pada alveoli di dalam paru-paru. Mereka seperti memiliki kemampuan stealth atau siluman, karena tidak terdeteksi oleh warning system di dalam tubuh seperti yang dijelaskan di atas. Kerusakan ini tidak langsung menyebabkan disfungsi dari paru-paru, karena paru-paru tetap bisa mengeluarkan karbon dioksida sehingga yang penderita tidak merasa kesulitan bernafas. Ketika keluhan muncul, kondisi peradangan di paru-paru sudah sangat buruk, dan kerusakan yang terjadi sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Belum lagi efek kerusakan alveoli tersebut membuat kadar oksigen di dalam jaringan menjadi sangat bahaya rendahnya, sehingga berpotensi memiliki domino efek terjadinya kerusakan organ multiple terutama otak, jantung, ginjal dan liver yang mengarah pada kematian.
Faktor Resiko Happy Hypoxia
Tidak semua penderita C19 mengalami happy hypoxia. Mereka yang memiliki faktor comorbid (baca dalam artikel lainnya), justru lebih cepat mengeluhkan gangguan pernafasan saat terjadi hypoxia, sehingga lebih cepat untuk mencari pertolongan medis. Tapi bagi mereka pada daftar di bawah ini lebih beresiko mengalami happy hypoxia:
- Mereka yang lebih muda dan lebih sehat, karena dapat lebih mentoleransi kondisi hypoxia sehingga tidak menimbulkan gejala.
- Mereka yang biasa tinggi di dataran tinggi, karena terbiasa hidup dalam kondisi udara yang rendah kadar oksigennya.
- Mereka yang mengalami penurunan saturasi oksigen secara tiba-tiba, sehingga tidak terdeteksi oleh otaknya.
- Mereka yang memiliki PPOK, anemia dan asma.
Pencegahan Happy Hypoxia
Tidak ada cara yang lebih bijaksana untuk mencegah happy hypoxia yaitu dengan menjauhi semua faktor resiko dan penyebab yang bisa dihindari, seperti:
- Mencegah dan menghindari penyakit penyebab anemia, PPOK, pneumonia, ARDS, SARS, termasuk mencegah C19.
- Bila memiliki faktor resiko yang tidak bisa dihindari seperti memiliki asma, congenital heart defects or disease, atau berada di dataran tinggi; harus lebih waspada terhadap tanda-tanda penyakitnya (selain gangguan bernafas).
- Terkait dengan penyakit C19, bila didapati tanda-tanda khas penyakit ini, ataupun tanda-tanda yang tidak biasa lainnya, maka sebaiknya langsung diperiksa saturasi oksigen menggunakan alat SpO2 sensor (disebut juga oximeter) yang dipasangkan pada jari.
Penggunaan Oximeter
Oximeter atau SpO2 sensor adalah alat yang berfungsi untuk mengukur saturasi atau kelarutan oksigen di dalam jaringan. Karena pemeriksaannya paling sering di ujung jari, maka saturasi oksigen pada ujung jari tersebut dianggap mewakili saturasi oksigen pada jaringan tubuh lainnya. Alat ini bisa dibeli bebas di toko-toko alat kesehatan atau toko-toko online. Bahkan kini juga terdapat built in pada tipe-tipe HP smart phone yang mahal. Sudah banyak penelitian yang melaporkan bahwa oximeter yang dijual bebas dan yang terdapat pada HP, sangat akurat untuk membaca saturasi oksigen saat angkanya tinggi. Tapi seiring dengan penurunan saturasi oksigen di dalam jaringan, alat ini menjadi tambah tidak akurat. Karenanya kini direkomendasikan, bila pengukuran dilakukan secara mandiri tidak oleh tenaga medis, bila angka saturasi oksigen sudah di bawah 95%, sebaiknya langsung ke RS untuk dipastikan dokter.
Penutup
Kalau tidak karena C19, happy hypoxia tidak akan seterkenal ini. Karena ia sekarang menjadi salah satu gejala yang tidak biasa dari penyakit berbahaya penyebab pandemi, maka sangat penting bagi semua orang untuk memahaminya. Tujuannya adalah agar tidak terjadi keterlambatan rujukan ke rumah sakit, yang bisa menyebabkan keterlambatan pemberian pertolongan medis sehingga bisa mengancam jiwa penderitanya.
©IKM 2020-08