Apa yang dikenal dengan nama “sakit jiwa” di Indonesia, di dalam diagnosis medis salah satunya disebut dengan schizophrenia yang mendefinisikan suatu masalah kejiwaan kronis penderitanya sampai mempengaruhi emosi, kemampuan untuk berfikir jernih dan rasional, serta kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain. Penyebab pasti seseorang terkena schizophrenia atau yang sering juga disingkat dengan SR, masih tidak diketahui sampai saat ini. Tapi para ahli percaya merupakan kombinasi dari faktor biologis, genetik, dan lingkungan; yang diperkirakan terjadi pada 1% populasi manusia di dunia. Artinya 1% manusia di dunia pernah satu masa dalam hidupnya mengalami gejala SR.
Seperti yang disinggung di atas bahwa para ahli percaya penyebab SR adalah kontribusi dari tiga faktor, yaitu: biologi, genetik, dan lingkungan. Karenanya ada faktor risiko seseorang lebih mudah untuk terkena SR, yaitu:
- memiliki keluarga kandung yang juga menderita SR
- terpapar racun, virus, terjadi malnutrisi, atau gangguan lainnya selama masa kehamilan
- memiliki trauma di masa anak-anak
- menggunakan narkoba, terutama di usia remaja
- berada di lingkungan yang penuh stres, atau mengalami kejadian dalam hidup yang memicu stres berat.
Penelitian tentang faktor biologis sebagai penyebab SR terus dilakukan oleh para ahli. Kini para ahli mulai memahami bahwa pada penderita SR terjadi ketidakse-imbangan senyawa-senyawa kimia di dalam otaknya. Salah satunya adalah dopamine yang dikenal juga sebagai hormon motivasi. Pada orang SR terjadi lonjakan tidak normal dari dopamin sampai terjadi stimulasi yang berlebihan. Menurut penelitian yang dilakukan pada tikus oleh ahli di Duke University dan dipublikasikan dalam jurnal Nature Neuroscience, terjadi karena hilangnya gen Aarp2/3 yang membantu mengendalikan formasi sambungan antara sel-sel otak (neurons). Hal ini juga menciptakan kondisi neurons yang hiperaktif dan peningkatan aktivitasnya sehingga muncul gejala-gejala dari SR.
Gejala Schizophrenia
Dokter akan menegakkan diagnosis bila penderita memiliki gejala selama setidaknya 1 bulan dengan setidaknya memiliki 2 dari 3 gejala: halusinasi, delusi, atau bicara yang tidak beraturan. Gejala SR ini bisa terjadi pada pria dan wanita pada semua usia, yang dibagi menjadi 4, sbb.:
1. Gejala awal. Pada pria biasa mulai muncul pada akhir usia belasan atau awal 20an tahun, sementara wanita gejala muncul di akhir usia 20an sampai awal 30an tahun. Gejala tersebut dapat berupa:
- mengisolasi diri dari keluarga dan teman
- berganti-ganti teman atau grup-grup sosial
- perhatian/konsentrasi gampang berubah/terganggu
- mengalami gangguan tidur
- mudah tersinggung dan mudah marah
- kesulitan menjalani aktivitas sekolah/pekerjaan
- sering merasa cemas
- curiga terhadap sesuatu/orang lain
- memiliki ide-ide yang aneh secara norma
- merasa berbeda dengan orang lain
2. Gejala positif. Termasuk gejala lanjutan dengan istilah “positif” di sini adalah adanya tambahan pemikiran atau tindakan pada gejala pasien, seperti:
- Halusinasi; termasuk di dalamnya melihat, mendengar, mencium sesuatu yang tidak nyata.
- Delusi; yaitu mempercayai sesuatu hal atau kejadian tidak benar, bahkan ketika buktinya bertentangan.
- Paranoid; ketika penderita merasa ketakutan. Biasanya takut diikuti atau disakiti.
3. Gejala negatif. Juga termasuk gejala lanjutan dengan istilah “negatif” berarti hilangnya pada penderita tindakan yang harusnya terdapat pada orang normal, seperti:
- kurang berbicara dan lebih banyak diam
- ada respon emosi aneh/tidak biasa terhadap sesuatu
- atau tidak beremosi/berekspresi terhadap sesuatu
- kehilangan ketertarikan dan kegembiraan hidup
- kesulitan untuk merasa senang
- mengisolasi diri
- kesulitan memulai/menjalankan rencana/pekerjaan
- kesulitan menyelesaikan aktivitas normal keseharian.
4. Gejala kognitif, yang juga merupakan gejala lanjutan dengan adanya kesulitan penderita dengan fungsi kognitif atau mentalnya, seperti:
- sering sekali lupa dan melupakan sesuatu
- masalah dalam mempelajari/menggunakan informasi
- cara berfikir tidak beraturan dan kesulitan berkonsen-trasi atau memperhatikan sesuatu
- berfikir dan berbicara tidak beraturan dan sering meng-ganti topik pembicaraan atau menggunakan kata dan kalimat yang dikarang sendiri
- buruk dalam memahami sesuatu untuk menggunakan-nya dalam sebuah pengambilan keputusan.
Baca artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Walaupun SR seringnya muncul pada usia dewasa muda, SR dapat juga terjadi pada anak dan remaja di bawah usia 13 tahun. Menegakkan diagnosis SR pada anak termasuk sulit, karena perubahan prilaku biasa terjadi pada anak dan remaja seperti depresi, gangguan jiwa bipolar, dan gangguan perhatian (attention disorder/ADHD). Namun ada beberapa tanda dan gejala yang harus diwaspadai agar diagnosis tidak terlambat, yaitu:
- prestasi akademik menurun drastis
- terjadi gangguan tidur
- emosi yang berubah-rubah (emotional swings)
- berkurangnya perhatian untuk mengurus diri sendiri
- rasa takut/khawatir yang tidak biasa cendrung paranoid
- perubahan perilaku yang terjadi secara tiba-tiba
- muncul fikiran/kepercayaan aneh/tidak sesuai norma
- mendengar atau melihat yang tidak nyata (halusinasi).
Tipe-Tipe Schizophrenia
Dari gejala-gejala di atas, untuk memudahkan merencana-kan terapi yang akan diberikan, para ahli membaginya menjadi 5 tipe klasik SR (dulu dikenal subtipe), yaitu:
- Paranoid schizophrenia. Merupakan tipe SR yang paling sering terjadi. Gejala khas dari tipe ini adalah halusinasi, delusi, tidak berekspresi (flat affect), bicara tidak beraturan (echolalia/word salad), kesulitan berkonsen-trasi, dan penurunan prilaku seperti hilang kontrol diri atau gangguan emosi.
- Hebephrenic/disorganized schizophrenia. Pada tipe ini penderita tidak mengalami halusinasi atau delusi, tapi memiliki perilaku yang tidak beraturan seperti ganggu-an berbicara, berfikir yang tidak beraturan, dan memunculkan emosi atau mimik muka yang tidak tepat.
- Undifferentiated schizophrenia. Diberikan untuk pende-rita yang memiliki gejala campuran dari 2 tipe di atas.
- Catatonic schizophrenia. Penderitanya memiliki gejala khas seperti meniru gerakan/tindakan orang lain (mimicking behavior), membisu, sampai terlihat seperti orang pingsan.
- Residual schizophrenia. Diberikan untuk penderita yang sebelumnya menderita SR, tapi tidak memunculkan kembali gejala yang jelas. Tipe ini lebih memunculkan “gejala negatif” seperti diuraikan sebelumnya.
Schizophrenia vs. Psychosis vs. Bipolar Disorder
Antara SR dan psychosis (psikosis) sering bercampur aduk. SR adalah gangguan kesehatan mental, sementara psikosis adalah gabungan dari gejala-gejala kejiwaan. Penderita SR sudah pasti menunjukkan gejala psikosis, namun tidak semua orang yang memiliki gejala psikosis merupakan penderita SR. Demikian pula antara SR dan bipolar disorder (gangguan jiwa bipolar). Walaupun gejalanya ada yang sama, tapi keduanya berbeda. Pada penderita bipolar disorder terjadi perubahan mood antara mania (meledak-ledak) dan depresi (mengisolasi diri), namun penderitanya tidak dikatakan sebagai penderita SR karena tidak ada gejala-gejala khas SR seperti yang diuraikan di atas.
Komplikasi Schizophrenia
SR adalah penyakit jiwa yang serius, yang tidak boleh dibiarkan apa lagi sampai tidak ditangani. Karena semakin lama semakin besar kemungkinan untuk terjadi komplikasi serius dan berbahaya baik bagi diri penderita, keluarga, teman, dan lingkungan, seperti: menyakiti diri sendiri sampai bunuh diri, kecemasan dan fobia yang berlebih yang sulit dihilangkan, depresi, penyalahgunaan alkohol dan narkoba, serta muncul masalah sosial antara dirinya dengan anggota keluarga, teman, atau orang di lingkungan sekitar.
Risiko Bunuh Diri Penderita Schizophrenia
Dari semua komplikasi SR yang paling berbahaya adalah penderita menyakiti dirinya dan orang lain, sampai terjadi bunuh diri atau mencelakai orang lain. Risiko bunuh diri pada pasien SR 10% lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2016 melaporkan bahwa 40-79% penderita SR dilaporkan memiliki pemikiran untuk melakukan bunuh diri. Menurut penelitian tahun 2019, hal ini bisa terjadi karena:
- adanya halusinasi dan/atau delusi
- ada gejala negatif (baca kembali uraian di atas)
- ada tekanan psikososial terhadap kondisinya
- penggunaan narkoba
- kurang dukungan dari keluarga/teman/lingkungannya
- pernah ada usaha/pikiran bunuh diri sebelumnya
- merasa tidak berdaya sampai depresi
- efek samping pengobatan.
Penanganan Schizophrenia
SR tidak bisa disembuhkan. Semua penanganan yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi keparahan gejala, dengan beberapa metoda, sbb.:
- Pengobatan, terutama menghilangkan halusinasi dan delusi dengan memberikan obat antipsychotic yang berefek pada senyawa kimia di otak.
- Intervensi psikososial terutama mengatasi stres dengan social training memperbaiki komunikasi dan interaksi.
- CBT (cognitive behavioral therapy) untuk membantu kemampuan berfikir dan mengelola emosi.
- Vocational rehabilitation, yaitu melatih agar memiliki kemampuan untuk bisa kembali beraktivitas/bekerja.
- Dukungan keluarga atau teman dekat untuk mengatasi stres, dan menghilangkan rasa disisihkan.
- ECT (electroconvulsive therapy), dengan melakukan sengat listrik pada kepala penderita. Sekarang metoda ini dilakukan ketika penderita dibius sehingga tidak merasa sakit. ECT dilakukan bila cara lain kurang efektif.
Pencegahan Schizophrenia
Seperti juga pengobatannya, tidak ada cara yang benar-benar bisa mencegah SR. Sehingga cara mencegah SR adalah dengan menghindari faktor risiko seperti uraian di atas sebisa mungkin dan mengenali tanda-tanda awal agar cepat ditangani dan tidak menjadi SR yang parah.
Penutup
SR adalah kondisi yang kompleks. Gejala yang muncul pada setiap penderita dapat berbeda-beda dan memang tidak ada yang persis sama. Itulah sebabnya panduan diagnosis SR selalu berubah seiring dengan berkembangnya pemaha-man parah ahli terhadap penyakit ini. Diagnosis dini yang akurat dapat membantu pemilihan penanganan yang akan dilakukan terhadap penderita. Tantangannya lebih besar bila penderita masih anak-anak atau remaja, sehingga diperlukan kerja sama antara dokter dan orang tuanya.
©IKM 204-02