DSA adalah akronim dari Digital Subtraction Angiography, termasuk kelompok prosedur angiography atau arteriography, yaitu tindakan memeriksa arteri (dapat juga vena) mengguna-kan zat kontras (pewarna) dengan teknologi X-ray (sinar-X). Tujuan dari DSA adalah untuk menegakkan diagnosis sumbatan pembuluh darah, salah satunya pada pembuluh darah di otak. Tapi DSA yang sedianya hanya untuk tindakan diagnosis, belakangan digunakan sebagai tindakan terapi untuk melepas sumbatan yang ditemukan pada pembuluh darah tersebut dengan cara menyuntikkan larutan anti pembekuan darah seperti heparin. Terapi ini diberi nama yang cukup menarik perhatian yaitu “Terapi Cuci Otak”. Tindakan DSA yang dilanjutkan untuk terapi ini masih kontroversial karena laporan penelitian mengenai keberhasilannya masih sangat minim.
Dalam radiografi konvensional (foto Rontgen biasa), pembuluh darah tidak bisa dibedakan dengan organ di sekelilingnya. Agar pembuluh darah dapat terlihat pada foto Sinar-X, maka perlu disuntikkan pewarna ke dalam rongga pembuluh darah pada saat foto diambil. Zat pewarna yang disebut sebagai zat kontras ini mengandung iodin dan bersifat water-soluble atau larut dalam air. Cairan mengandung iodin akan terlihat lebih gelap pada foto sinar-X. Pada prosedur tindakannya, digunakan angiography catheter yang dimasukkan melalui arteri femoralis di lipat paha atau arteri radialis di lengan. Angiography catheter ini lalu diantar mendekati organ yang akan diperiksa pembuluh darahnya. Setelah sampai di lokasi yang diinginkan, maka zat kontras disuntikkan untuk memberi pewarnaan. Pada cerebral angiography (pemeriksaan pembuluh darah pada otak), kateter ditempatkan pada arteri Carotis yang ada di leher.
DSA sendiri secara spesifik merupakan teknik dan bagian dari angiography yang ditujukan untuk mencari occlusion atau sumbatan pada pembuluh darah di otak, jantung, paru-paru, ginjal, dan organ lainnya dengan menggunakan gambar fluoroskopi digital (digital fluoroscopic images). Oleh komputer gambar akan diolah dengan cara membandingkan antara gambar sebelum dan sesudah zat kontras disuntikkan. Komputer secara digital lalu melakukan subtract (pengurangan) atau bisa dijelaskan sebagai menghilangkan gambar organ lain, sehingga yang tersisa hanya gambar pembuluh darah saja, sehingga terlihat lebih jelas. Gambar tersebut lalu diamati oleh dokter interventional radiology (radiologi intervensi) untuk mencari ada/tidaknya dan lokasi pasti sumbatan yang terjadi. DSA sangat membantu penegakan diagnosis penyumbatan tsb.
Sejarah Angiografi dan DSA
Teknik ini pertama kali ditemukan pada awal 1950-an oleh cardiologist (ahli jantung) berkebangsaan Swedia bernama Sven-Ivar Seldinger. Sehingga teknik ini terkenal dengan nama Seldinger technique yang pertama diterima dunia kedokteran pada tahun 1953. DSA sendiri baru ditemukan pada tahun 1970-an saat teknologi komputer mulai digunakan di dunia kedokteran. Sensitivitas zat kontras yang lebih baik diperkenalkan oleh Robb dan Steinberg pada tahun 1980-an, sehingga DSA lalu diterima sebagai teknik penegakan neuro-diagnostic dengan aplikasi teknologi digital yang akurat. Sejak tahun 1980-an tersebut, DSA menjadi primadona dan terus berkembang teknologinya.
Prosedur Angiografi dan DSA
Sebelum sebuah prosedur angiografi dan DSA dilakukan, ada screening khusus untuk menentukan apakah dapat dilakukan pada pasien, karena tidak semua orang bisa secara aman dilakukan angiografi. Misalnya pada pasien renal insufficiency (penurunan fungsi ginjal) tidak boleh dilakukan. Atau pada pasien alergi terhadap iodin, maka zat kontras harus diganti dengan jenis lain. Selain itu pasien harus diperiksa apakah memiliki penyakit atherosclerotic, kencing manis, menjalani pengobatan (minum obat) tertentu, dll. Baru setelah screening lulus, pasien tersebut dapat menjalani prosedur angiografi dan DSA. Selama tindakan, denyut jantung, tekanan darah, dan saturasi oksigen pasien harus selalu diamati. Bila dianggap perlu, dokter anesthesi bisa memberikan zat sedasi (membuat tidur) atau bahkan melakukan bius total selama prosedur.
Teknik DSA
Alat yang digunakan bukan alat Rontgen biasa, melainkan sebuah fluoroscopy unit menggunakan C-arm (lengan berbentuk huruf C) yang bisa berputar secara aksial dan sagittal di sekeliling meja tempat pasien berbaring. Pertama foto awal diambil tanpa menggunakan zat kontras (non-contrast image) yang disebut sebagai mask image. Bentuknya mirip seperti foto Rontgen (sinar-X) biasa. Lalu zat kontras disuntikkan dan foto kedua diambil yang menghasilkan gambar pembuluh darah lebih gelap karena berisi zat kontras. Tapi gambarnya masih tumpang tindih dengan adanya bayangan organ-organ lain. Lalu oleh komputer secara digital, seluruh bayangan organ lain dihilangkan (dikurangi/subtract) pixel demi pixel sampai tersisa hanya gambar pembuluh darah saja. Dari sinilah nama DSA berasal – Digital Subtraction Angiography.
Komplikasi Angiografi dan DSA
Setelah tindakan pasien harus bedrest 4-6 jam pada posisi terlentang dan diobservasi secara berkala oleh dokter untuk melihat adanya komplikasi lokal seperti hematom pada lokasi tusukan, thrombus (sumbatan), pseudoaneurysm (pembesaran pembuluh darah), arteriovenous fistula (bersatunya arteri dan vena), dan terjadinya kerusakan jaringan lain. Juga melihat adanya komplikasi sistemik seperti thromboembolism (emboli akibat bekuan darah), air embolism (akibat udara), vessel dissection (robek pembuluh darah) dan contrast mediated nephrotoxicity (keracunan pada jaringan ginjal akibat zat kontras). Dengan banyak komplikasi yang dapat terjadi, angiografi dan DSA harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
Baca artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Sejak tahun 2012 sampai saat ini di Indonesia, ada prosedur medis intervensi yang disebut sebagai brain washing atau “terapi cuci otak”, yang sebenarnya sebuah tindakan yang dikenal dunia medis dengan istilah Cerebral Intra-Arterial Heparin Flushing (IAHF). “Terapi cuci otak” ini mengkombinasi-kan prosedur DSA dengan IAHF, yaitu menyuntikkan heparin (sebuah obat anti pembekuan darah) ke dalam arteri di otak yang ditemukan terdapat sumbatan pada saat prosedur diagnosis DSA. Tujuannya adalah untuk mengobati stroke iskemik akut dan kronis akibat sumbatan di dalam pembuluh darah pada otak. Tanpa melalui penelitian yang mendalam, prosedur ini dipraktekkan bebas untuk masyarakat di Indonesia, walaupun sampai saat ini sebenarnya tidak ada panduan yang tersedia atau yang telah terbukti secara universal untuk penanganan stroke iskemik menggunakan IAHF.
Telah banyak penelitian yang dilakukan menggunakan berbagai metoda, tapi belum ada yang terbukti kuat dan mendapatkan persetujuan dunia kedokteran. Sebuah artikel diterbitkan dalam jurnal BAOJ Neuro pada tahun 2016, yang mengkaji manfaat dari IAHF terhadap pasien stroke iskemik. Dari kajian yang dijabarkan dalam artikel tersebut membahas berbagai hasil penelitian terkait, disimpulkan bahwa IAHF pada prosedur brain washing, tidak berdasar pada prinsip ilmiah aplikasi kedokteran serta tidak ada literatur serta panduan yang dapat menguatkan manfaat dari penyuntikan heparin atau obat sejenis pada penderita stroke iskemik akut dan kronis. Sementara yang dipraktekkan sejak 2012 di Indonesia ini bukan hanya untuk pengobatan, tetapi juga untuk pencegahan stroke. Satu hal yang lebih tidak memiliki dasar, karena jangankan untuk pencegahan, untuk pengobatan saja belum ada panduan dan uji klinisnya.
Harus Evidence-base Medicine
Profesi dokter merupakan salah satu profesi tertua di dunia yang memiliki aturan ketat dan perlu dipatuhi karena semua tindakan dapat merupakan cerita hidup dan mati seorang manusia. Karena prinsip klasik tapi krusial ini, maka semua pengobatan dan tindakan yang diberikan di dunia medis, harus yang sudah terbukti secara ilmiah bermanfaat dan tidak menimbulkan bahaya baik bagi pasien maupun bagi dokternya. Seorang dokter tidak bisa hanya mengikuti intuisi atau perkiraan dirinya semata saat memberikan terapi, serta ia tidak dibenarkan melakukan suatu tindakan yang belum terbukti bermanfaat secara ilmiah.
Seorang dokter memang dibenarkan membuat sebuah hipotesis, tetapi tidak semerta-merta dapat langsung dipraktekkan pada pasiennya tanpa ada dukungan studi ilmiah. Setiap pengobatan dan tindakan medis harus senantiasa evidence-base medicine yang merupakan bukti terukur secara objektif. Memang, sebuah testimoni subjektif bisa menjadi pertimbangan, tapi tanpa adanya parameter objektif, tetap tidak bisa dianggap ilmiah. Keharusan berpegang pada bukti ilmiah ini menjadi gold standard dunia medis dan berlaku universal. Tidak mungkin pula tindakan tidak tervalidasi ilmiah di Indonesia akan serta-merta dapat diterima di negara lain.
Kontroversi “Terapi Cuci Otak” di Indonesia
Sejak akhir Maret 2022 ini tengah ramai dibicarakan kontroversi “terapi cuci otak” yang dilakukan oleh dr. TAP dan timnya. Kontroversi terjadi karena seperti uraian di atas, prosedur medis tersebut belum terbukti secara ilmiah, namun banyak testimoni termasuk dari tokoh masyarakat dan pemerintahan yang mengaku merasakan manfaatnya. Banyak yang melakukan “terapi cuci otak” ini untuk pencegahan stroke, bahkan untuk menghilangkan sakit kepala dan meningkatkan stamina, seperti beberapa kutipan testimoni berikut ini:
- Tn. PS : “3 kali terapi untuk keluhan vertigo, stamina kembali bagus”
- Tn. JS : “terapi bersama istri, merasa lebih sehat”
- Tn. ARB : “4 kali terapi stroke, mengaku kembali bugar”
- Ny. IK : “terapi karena pusing, jadi lebih segar”
- Tn. MMD : “terapi bersama istri, merasa lebih sehat”
- Tn. DI : “tidak sakit apapun, terhindar dari stroke”
Narasi stamina kembali bagus, merasa lebih sehat, mengaku kembali bugar, jadi lebih segar, merasa lebih sehat, bahkan terhindar dari stroke; adalah narasi subjektif. Narasi tersebut harus dibuktikan dengan parameter objektif. Diukur dengan alat dan metoda standar yang sahih serta akurat. Harus ada metoda ukur stamina yang kembali bagus, bugar, dan segar, kondisi tubuh yang lebih sehat, bahkan klaim terhindar dari stroke. Bila memang terbukti, barulah dikatakan testimoni subjektif sejalan dengan parameter objektif, dan bisa diklaim “terapi cuci otak” ini bermanfaat, baik untuk pengobatan maupun pencegahan stroke serta pengobatan keluhan-keluhan lainnya. Karena dalam dunia medis dikenal prinsip “seeing evidence is believing”, bahwa “harus melihat bukti dulu baru bisa dipercaya”. Tanpa pengukuran objektif, berbagai narasi subjektif disebut sebagai anecdotal evidence (bukti meragukan) dan unverified argument (argumen tanpa validasi).
Testimoni Ketidakberhasilan “Terapi Cuci Otak”
Seperti layaknya sebuah iklan terapi alternatif, sangat biasa hanya menampilkan testimoni dari orang yang merasa berhasil saja. Hampir tidak pernah dijumpai menampilkan testimoni dari pasien yang tidak berhasil sembuh, kecuali Complementary Alternative Medicine yang telah tervalidasi (tidak dibahas dalam artikel ini). Demikian pula halnya dengan “terapi cuci otak” yang dipraktekkan di Indonesia, hanya menampilkan testimoni keberhasilan saja. Padahal ada juga kasus ketidak-berhasilan, bahkan komplikasi. Menurut Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi), Prof. DR. Dr. Moh. Hasan Machfoed dalam sebuah tulisannya pada tahun 2018, menuturkan bahwa testimoni datang dari orang yang umumnya tidak sakit stroke, tapi hanya ingin terhindar dari stroke saja. Sehingga merupakan testimoni berasal dari orang sehat.
Dalam tulisannya Prof. Hasan menuturkan adanya kasus kegagalan “terapi cuci otak” meski bukan dilakukan oleh dr. TAP yang dialami oleh Ny. X (68 tahun) pada tahun 2013 yang malah mengalami perburukan, bahkan akhirnya meninggal. Komite medis di RS tempat dilakukannya memanggil dokter yang melakukan terapi, namun dokter tsb. tidak bisa menunjukkan bukti ilmiah yang mendasari tindakannya. Dia hanya berkata bahwa sudah sering dilakukan oleh dr. TAP dan hasilnya baik. Sejak saat itu “terapi cuci otak” dilarang di RS besar di Surabaya tsb. Sayangnya berita ketidakberhasilan jarang ter-expose. Terutama bila keluarga pasien menerimanya sebagai sebuah takdir, sehingga pemberitaan menjadi tidak berimbang. Apa lagi bila sudah didukung oleh buzzers dan netizens, serta disisipi oleh kepentingan politik. Bila dibiarkan sangat berpotensi justru malah mempertaruhkan keselamatan masyarakat di Indonesia.
©IKM 2022-04