Ganja yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama marijuana dan dalam bahasa latinnya cannabis, dikenal sebagai “recreational drug” (obat rekreasi/untuk kesenangan) sudah digunakan sejak ribuan tahun yang lalu. Namun sampai saat ini hanya sedikit negara yang melegalkannya untuk penggunaan medis, dan lebih sedikit lagi negara melegalkannya untuk non medis atau untuk kesenangan tadi. Hal ini karena adanya kandungan THC (tetrahydrocannabinol) di dalam ganja yang bersifat psikotik atau dapat mempengaruhi kerja otak. Dan karena alasan yang sama ganja digolongkan ke dalam psikotropika atau narkotika. Memang kandungan THC pada spesies ganja berbeda-beda sehingga banyak penelitian ingin mencari manfaat ganja dengan kandungan THC rendah untuk tujuan terapi yang dikenal dengan sebutan “ganja medis”.
Sebelum membahas lebih jauh tentang ganja medis, harus kenal dulu dengan spesies ganja yang diklasifikasikan ke dalam 3 spesies, yaitu: Cannabis sativa, Cannabis indica, dan Cannabis ruderalis. Yang sering digunakan untuk recreational drug adalah sativa, indica atau hasil hibrida keduanya. Berikut detilnya:
- Cannabis sativa. Memiliki ciri keenam sirip daun terpisah dari pangkalnya dengan daun lebih panjang, kurus, dan warna hijau lebih muda dibanding indica. Batang tanaman-nya lebih tinggi (2,4 - 4,6 meter). Kandungan THC sangat tinggi dan kandungan CBD sangat rendah, karenanya akan memberikan efek psikotik penggunanya menjadi euphoria atau terlalu bergairah. (THC-CBD dibahas di bawah).
- Cannabis indica. Memiliki ciri pangkal keenam sirip daun bersatu dengan daun yang pendek, gemuk, dan warna hijau lebih tua dibandingkan sativa. Batang tanamannya lebih rendah (0.6-1.8 meter) seperti tanaman semak. Perbandingan kandungan THC dan CBD-nya adalah 2:1, sehingga memberikan efek psikotik penggunanya menjadi mellow atau mengantuk.
- Cannabis ruderalis. Merupakan spesies ganja liar dengan daun yang pendek dan hanya memiliki 5 sirip. Tanamannya lebih kecil lagi dari indica sehingga tambah seperti tanaman semak. Dari ketiganya ruderalis memiliki THC yang paling rendah sehingga jarang digunakan sebagai recreational drug tapi jadi sering disilangkan secara ilegal dengan 2 spesies di atas untuk menghasilkan efek psikotik yang lebih ringan.
THC dan CBD merupakan 2 kandungan utama pada daun ganja yang melatarbelakangi syarat bila digunakan sebagai obat.
- THC (tetrahydrocannabinol). Memiliki efek psikotik sangat tinggi sehingga ketika THC masuk ke dalam tubuh, akan langsung menempel dan menstimulasi reseptor cannabinoid di otak. Menurut the National Institute on Drug Abuse (NIDA) di AS, persentase THC di dalam daun ganja yang disilangkan, semakin tinggi dari tahun ke tahun. Pada tahun 1990 persentasenya hanya 3.7%, tapi di tahun 2013 sudah mencapai 9.6%. Bila ganja ingin dimanfaatkan dalam pengobatan, kandungan THC-nya harus rendah.
- CBD (cannabidiol). CBD juga bersifat psikoaktif, tapi memiliki manfaat pada kesehatan karena bersifat non-impairing (tidak melumpuhkan) dan non-euphoric (tidak mencetus euforia). Dalam kata lain tidak menciptakan kondisi “memabukkan” seperti THC. Bila ganja ingin dimanfaatkan dalam pengobatan, kandungan CBD harus tinggi. Pada tahun 2018, BPOM di AS (FDA) telah meluluskan obat Epidolex berbahan aktif CBD ekstrak daun ganja untuk menterapi kejadian kejang. Sampai saat ini belum ada obat serupa yang diluluskan oleh FDA dengan kandungan serupa.
Cara Penggunaan Ganja Medis
Ganja medis diberikan dengan beberapa cara, yang ditentukan oleh Dokter cara yang terbaik, frekuensi, serta dosis ganja medis yang akan digunakan pasiennya, sbb.:
- Inhalasi: seperti rokok dan vaping
- Per oral (melalui mulut): dalam sediaan minyak dan konsentrat yang ditetes di bawah lidah. Atau dalam bentuk kapsul dan ada juga dengan cara dikunyah.
- Dioles di kulit: sediaan krim, lotion, balsam, atau koyok.
- Suppositoria: dimasukkan lewat anus atau vagina.
Manfaat Ganja di dunia Medis
Sudah jelas berarti kandungan di dalam daun ganja yang dimanfaatkan untuk keperluan pengobatan di dunia medis adalah CBD (cannabinol)-nya. Tapi di dunia, ganja sering digunakan sebagai CAM (complementary and alternative medicine) atau pengobatan alternatif tanpa menghilangkan kandungan THC-nya terlebih dahulu. Walaupun manfaatnya tetap bisa didapatkan, tetapi semakin tinggi kandungan THC-nya akan semakin tinggi juga efek samping psikotik yang tidak diinginkan. Sudah ribuan tahun ganja digunakan untuk mengobati rasa sakit kronis (menahun) dan kejang.
Ekstrak CBD dari daun ganja, artinya menghilangkan kandungan THC-nya; sebagai anti nyeri merupakan 62% dari total penggunaan ganja medis, yaitu untuk radang sendi (arthritis), fibromyalgia, migraine, dan rasa nyeri kronis lainnya. Dengan efek anti inflamasinya digunakan untuk tambahan terapi penderita cerebral palsy (cacat otak), epilepsi, parkinson, endometriosis (radang otot rahim), glaucoma, Crohn’s disease, dan irritable bowel syndrome. CBD juga diambil manfaat efek sampingnya yang dapat meningkatkan nafsu makan sehingga membantu asupan makanan penderita kanker dan AIDS yang sering kehilangan nafsu makan mereka. Efek psikoaktif dari CBD sendiri dimanfaatkan untuk tambahan terapi pasien insomnia, PTSD (post traumatic stress disorder) dan schizophrenia (penyakit gila). Dari seluruh penggunaan CBD di dunia medis tidak ada yang sampai bisa menyembuhkan penyakitnya. Jadi hanya terbatas menghilangkan gejala, membuat penderita merasa lebih enak sehingga meningkatkan kualitas hidupnya.
Baca artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Ada beberapa pengelompokan efek penggunaan ganja medis:
- Efek halusinogenik. Akan timbul efek halusinasi ringan, penurunan kemampuan motorik, dan gangguan persepsi dan terhadap realitas. Sehingga bila menggunakan ganja medis tidak boleh mengoperasikan kendaraan dan mesin.
- Efek depresi. Akan timbul efek depresi, mirip pada penggunaan berlebih alkohol (alcohol abuse). Akan merasa tenang dan rileks, tapi kehilangan koordinasi dan konsentrasi, sampai merasa depresi. Sehingga ganja medis tidak boleh digunakan pada penderita penyakit psikis.
- Efek stimulasi. Semangat (mood) akan meningkat, sampai menjadi hiperaktif, bernafas lebih cepat, peningkatan denyut jantung, dan peningkatan tekanan darah. Sehingga ganja medis tidak boleh digunakan pada penderita tekanan darah tinggi, dan pasien penyakit jantung pembuluh darah.
Bahaya Ganja Medis
Seperti judul artikel ini bahwa ganja medis memang layaknya pedang bermata dua yang sama tajamnya. Terapi menggunakan ganja medis, walaupun sudah menghilangkan kandungan THC sekalipun, tetap akan menimbulkan kecanduan. Dikatakan kecanduan yang ditimbulkannya bisa pada fisik dan psikis. Pada fisik artinya akan senantiasa membutuhkan dosis lebih tinggi untuk mendapatkan manfaat terapi yang sama. Sementara secara psikis jelas penderita akan kecanduan untuk memiliki rasa senang semu yang ditimbulkan oleh ganja tsb. Gejala kecanduan ganja akan muncul saat ganja tidak lagi didapatkan seperti: mudah marah, moody, insomnia, kehilangan nafsu makan, mual, rasa tidak nyaman di tubuh, dan lelah kronis.
Komplikasi Ganja Medis
Selain efek samping manifestasi dari kecanduan, penggunaan ganja medis juga memiliki komplikasi. Semakin tinggi dosis yang digunakan, maka akan semakin banyak dan berat komplikasi yang akan terjadi, yang dijabarkan sbb.:
- Pada fisik: peningkatan denyut jantung, peningkatan tekanan darah, gula darah turun, mata kering, mata merah, mulut kering, pusing, sakit kepala, sampai pingsan.
- Pada fungsi otak: penurunan daya ingat, penurunan kesiagaan, turun kemampuan memecahkan masalah, hilang kemampuan mengenali waktu, konsentrasi turun, gangguan bicara, dan penurunan kontrol motorik tubuh.
- Pada psikis: timbul paranoid, halusinasi, depresi, atau manik depresif (depresi yang disertai sering marah/mengamuk).
Pro Kontra Ganja Medis
Dari manfaat, efek samping, serta komplikasi yang dapat ditimbulkan dari penggunaan jasa medis, tentu saja akan selalu menimbulkan kontroversi serta pro dan kontra. Tidak hanya di Indonesia yang saat artikel ini ditulis (awal Juli 2022) sedang viral wacana ingin melegalkan ganja medis, di seluruh dunia pun kondisinya tidak berbeda. Suporter ganja medis jelas akan mengangkat manfaat yang bisa didapatkan dari penggunaannya sementara yang tidak setuju mengangkat kekhawatiran efek samping, komplikasi, serta yang terpenting adalah mencegah penyalahgunaannya. Satu hal yang pasti di Indonesia tidak akan dilegalkan penggunaannya untuk recreational drugs, bahkan untuk terapi alternatif pun sepertinya tidak akan.
Sementara penggunaan di dunia medis untuk pengobatan, tidak juga serta merta bila memang dilegalkan akan langsung banyak dokter yang akan menggunakannya. Karena pemberian obat untuk pasien merupakan hak prerogatif seorang dokter yang tidak bisa dicampurtangani oleh pihak lain. Hal ini dilatarbelakangi oleh banyak penelitian yang sudah diterbitkan tentang ganja medis saat ini, masih sangat banyak resikonya mengalahkan keuntungan yang bisa didapatkan. Sudah jelas ini berarti bahwa ganja medis bukanlah “one-size-fits-all” atau bisa digunakan untuk setiap pasien. Seorang dokter yang selalu berprinsip mengutamakan keselamatan dan kesehatan pasiennya akan berfikir berkali-kali sebelum memutuskan memberikan terapi ganja medis.
Legalisasi Ganja Medis
Ganja medis juga sangat rentan sekali untuk disalahgunakan. Karena ganja pada dasarnya dimanfaatkan sebagai recreational drugs atau untuk kesenangan, bukan hanya untuk pengobatan. Karenanya perlu regulasi yang sangat efektif dan efisien, serta penegak hukum yang kuat bila memang Indonesia ingin melegalkan ganja medis:
- Pengembangbiakan tanaman ganja harus dipilih spesies yang tinggi kandungan CBD dibandingkan THC-nya.
- Seluruh hasil tanam hanya digunakan untuk ekstraksi CBD, bukan untuk tujuan lain, apa lagi sebagai recreational drug.
- Seluruh hasil Ekstraksi CBD hanya digunakan untuk pembuatan obat untuk tujuan terapi, bukan rekreasi.
- Bila tidak melegalisasi tanam dan ekstraksi, tapi hanya impor saja, maka harus dengan rekomendasi BPOM yaitu untuk tujuan terapi kedokteran saja, bukan terapi alternatif.
- Memperbanyak penelitian kebermanfaatan ganja medis spesifik untuk orang Indonesia. Dan bila memang tidak terbukti lebih memberikan manfaat dari bahayanya, harus segera untuk melarangnya kembali.
Belajar dari Negara Maju
Penelitian di negara maju yang melegalisasi ganja medis dapat dijadikan pelajaran. Di sana dilaporkan bahwa legalisasi tersebut meningkatkan tindakan penyalahgunaannya. Sehingga dilaporkan bahwa legalisasi ganja medis memang dapat bermanfaat untuk penderita walaupun tetap dengan catatan masih terdapat efek samping dan komplikasi yang dapat timbul; namun jelas legalisasi tersebut juga berefek samping secara langsung dan tidak langsung kepada keamanan dan kesehatan seluruh masyarakat, karena meningkatnya penyalahgunaan ganja medis tersebut. Penelitian tahun 2016 juga pernah melaporkan bahwa pasien yang pernah menggunakan ganja medis, akan tetap menggunakannya sebagai recreational drugs atau menjadi kecanduan.
Bila Menggunakannya di Negara yang Melegalkan
Masyarakat Indonesia tetap saja bisa pergi ke negara yang melegalkan ganja medis. Tapi tentunya membeli dan menggunakannya selama berada di negara tersebut. Karena untuk membawanya keluar bandara dari negara asalnya saja sudah tidak diizinkan, jangankan untuk bisa masuk ke Indonesia. Konsultasikan kepada dokter yang berada di sana dan hanya gunakan sebagai peruntukan pengobatan medis, bukan sebagai pengobatan alternatif yang sering mengandalkan hanya testimoni saja tanpa penelitian bermetodologi ilmiah, atau yang sering disebut sebagai anecdotal evidence. Bila timbul efek samping bahaya apa lagi komplikasi dari penggunaannya segera dihentikan. Dan yang terpenting juga adalah untuk bisa berhenti sebelum ketagihan.
©IKM 2022-07