Salah satu cara untuk membedakan dan menentukan apakah seseorang memiliki atau terinfeksi virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 (C19) di dalam tubuhnya adalah dengan pemeriksaan swab. Pemeriksaan swab ini bisa diproses untuk memeriksa keberadaan antigen dari virus menggunakan test pack, atau menggunakan mesin PCR untuk memeriksa keberadaan materi genetik dari virus. Tapi pemeriksaan swab bukan penentu utama, karena tetap dibutuhkan interpretasi dokter dengan melihat kondisi klinis dan gejala yang ada pada penderita. Lalu bergantung pada kapan pemeriksaan swab dilakukan relatif terhadap waktu paparan atau timbulnya gejala, dan melihat riwayat perjalanan penyakit secara keseluruhan. Begitu juga dalam menentukan kesembuhan penderita C19, pemeriksaan swab harus diinterpretasikan oleh dokter, tidak untuk disimpulkan sendiri oleh pasien atau keluarganya.
- Kondisi klinis pasien C19 lebih penting dari pada sekedar hasil pemeriksaan swab PCR atau antigennya.
- Interpretasi hasil swab antigen atau PCR tersebut sangat tergantung kapan swab atau pengambilan sample dilakukan relatif terhadap waktu paparan pada seseorang.
- Bila terlalu lama dari waktu paparan, hasil swab antigen berpotensi memberikan hasil false negative.
- Sementara hasil swab PCR berpotensi memberikan hasil false positive pada waktu di ujung kesembuhan penderita.
- Masih banyak masyarakat yang kurang memahami ini sehingga sering terjadi perdebatan dengan tenaga medis atas hasil pemeriksaan diri atau keluarganya.
Seperti yang pernah dibahas di dalam artikel sebelumnya tentang pentingnya melakukan pemeriksaan C19, pemeriksaan swab sampai tengah Juli 2021 ini, masih menjadi gold standard di hampir semua aktivitas dan mobilitas. Setiap perawatan di sarana pelayanan kesehatan, setiap akan bepergian mengguna-kan kendaraan umum, bahkan ada kantor pemerintahan yang mewajibkan pengunjungnya melakukan pemeriksaan swab antigen terlebih dahulu sebelum diizinkan masuk. Juga tidak sedikit perusahaan atau instansi pemerintahan yang merutin-kan pemeriksaan ini kepada seluruh karyawannya. Seperti yang sudah banyak diketahui, pengambilan sample dilakukan dengan cara swab melalui hidung (nasopharynx) atau melalui mulut (oropharynx). Hasil swab tersebut diperiksa menggunakan mesin PCR atau RT-CPR untuk mendeteksi keberadaan virus melalui DNA-nya. Atau dapat juga diperiksa menggunakan test pack antigen test untuk mendeteksi keberadaan virus melalui antigen yang ada pada permukaan selnya.
Swab Antigen Test
Pemeriksaan swab antigen atau lengkapnya swab rapid antigen test merupakan tes serologi yang dapat memberikan hasil dalam hitungan menit karena hanya membutuhkan test pack dan tidak membutuhkan mesin pemeriksaan laboratorium. Hasilnya pun tidak perlu dianalisa oleh seorang dokter atau analis laboratorium, karena bisa langsung dilihat dengan mata. Bila hasilnya 2 strip (control dan tes) berarti positif, 1 strip (hanya control) berarti negatif, tidak ada garis control berarti pemeriksaan tidak valid. Dari sisi biaya juga lebih murah. Sampai tengah Juli 2021 ini berkisar antara 100-250 ribu sekali tes, tergantung di mana dilakukan dan siapa produsennya kit-nya. Belakangan CDC di AS berhenti menggunakan kata rapid untuk pemeriksaan ini, sehingga namanya dipersingkat menjadi “antigen test”.
Walaupun tes antigen ini lebih murah, lebih cepat, dan lebih mudah, tapi dia memiliki kelemahan yaitu tidak bisa memeriksa pada sembarang waktu. Pemilihan waktu untuk dilakukan swab antigen test sangat penting untuk menghindari terjadinya hasil false negative atau negatif palsu. Suatu hal yang berpotensi memberikan rasa keamanan palsu bagi penderita atau orang yang ada disekitarnya, karena merasa hasilnya negatif padahal dirinya masih sakit dan/atau masih berpotensi menularinya ke orang lain. Bisa dilihat pada gambar grafik di bagian tengah artikel ini, bahwa tes antigen hanya bermanfaat dilakukan setelah terjadinya paparan sampai kurang lebih 14 hari setelahnya. Atau bila dihitung dari gejala muncul hanya bermanfaat dilakukan sampai kurang lebih 7 hari setelahnya. Lebih dari waktu itu maka sangat berpotensi akan memberikan hasil negatif atau false negatif (negatif palsu). Bila dilakukan random kepada orang yang bergejala tanpa melihat waktu seperti diuraikan di atas, akurasinya hanya sekitar 65-80%, dan pada OTG hanya sekitar 40-75%.
Saat ini di Indonesia sangat banyak sekali merk yang beredar dikeluarkan oleh pabrikan pembuat test kit untuk tes antigen. Tingkat keakurasiannya pun beragam, tergantung dari kualitas yang ditetapkan oleh produsennya. Di dunia, yang direkomendasikan oleh WHO dan banyak digunakan di negara maju ada 4 merk terdepan yaitu Roche, Abbot, MEDsan, dan Siemens. Untungnya dua dari 4 merk ini yaitu Roche dan Abbot tersedia banyak di Indonesia, terutama di laboratorium yang memiliki standar mutu ISO dan di rumah-rumah sakit besar. Karena banyak kelebihan melakukan tes antigen ini dibandingkan PCR, maka masih sangat luas dipergunakan, terutama untuk keperluan screening yang tidak terlalu beresiko seperti menjelang bepergian dengan kendaraan umum non pesawat terbang, dan screening rutin di perkantoran.
Baca artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Sering sekali dijumpai seseorang memeriksakan dirinya atau disuruh oleh dokter untuk periksa swab tes antigen mendapati hasilnya negatif, padahal penderita masih bergejala. Dari penjelasan di atas, hal ini sangat mungkin terjadi, yaitu bila hari pemeriksaan sudah lebih dari 7 hari setelah gejala muncul. Demikian juga banyak kasus hasil tes antigen negatif, tetapi dirinya merupakan super spreader karena ternyata seorang OTG (orang tanpa gejala). Hal ini juga bisa terjadi bila pemeriksaan swab tes antigennya dilakukan lebih dari 14 hari setelah dirinya terpapar virus dari orang lain. Karenanya bila mendapati hasil pemeriksaan tes antigen negatif, jangan langsung yakin 100% sudah sembuh atau benar-benar tidak memiliki virusnya. Bila masih sakit harus mencukupi isoman (isolasi mandiri) sampai 3 hari bebas gejala (minimal 14 hari), dan bila tidak bergejala masih tetap melakukan protokol ketat 5M dalam kesehariannya. Bila diperlukan dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan PCR.
Swab PCR Test
Berbeda dengan tes antigen yang hanya menggunakan test pack, tes PCR yang merupakan tes molecular, menggunakan mesin laboratorium yang khusus. Karena virus SARS-CoV-2 merupakan virus RNA, maka tes PCR (polymerase chain reaction) yang digunakan bukan qPCR (quantitative-PCR) biasa, melainkan menggunakan RT-PCR (reverse transcription-PCR). Dalam proses pemeriksaan RT-PCR, RNA diubah dulu menjadi cDNA (complementary-DNA) sebelum dilakukan PCR. Langkah inilah yang disebut sebagai reverse transcription. RT dapat dilakukan dengan one-step yaitu RT dan amplifikasi dilakukan sekaligus dalam mesin PCR. Atau two-step yaitu dibuat cDNA dulu dalam suatu tabung sebelum dilakukan PCR. Target gen yang diperiksa pun membedakan pemeriksaan PCR menjadi singleplex, yaitu bila hanya 1 gen target yang diamplifikasi per reaksi di mana probe gen target diberi fluoresens tertentu. Atau multiplex bila lebih dari 1 gen target yang dideteksi per reaksi, di mana probe masing-masing gen target diberi fluoresens yang berbeda sehingga dapat dibedakan gen mana yang diamplifikasi. Jumlah gen target yang dideteksi inilah yang membedakan harga pemeriksaan PCR.
Nilai Ct pada Hasil PCR
Mesin PCR pada dasarnya melakukan amplifikasi dengan reaksi berantai berkali-kali, sampai gen target terdeteksi. Jumlah siklus yang dilakukan itulah yang menjadi hasil pada sebuah pemeriksaan PCR yang disebut sebagai Ct value (cycle threshold value) atau Cq. Ct value menunjukkan jumlah siklus yang diperlukan sinyal fluoresens untuk melewati ambang/threshold. Ct value berbanding terbalik dengan jumlah target DNA pada sample. Hasil Ct value yang rendah menunjukkan jumlah target DNA yang besar atau banyaknya jumlah DNA Virus. Dan hasil Ct value yang tinggi menunjukkan hasil sebaliknya. Pemeriksaan RT-PCR pada pasien C19 dapat dilakukan dengan rentang yang lebih luas dibandingkan tes antigen. RT-PCR dapat mendeteksi keberadaan virus pada sample sejak hari-hari awal paparan dan bisa bertahan sampai 5 minggu setelahnya atau sekitar 4 minggu sejak gejala muncul (lihat pada grafik). Akurasi pemeriksaan PCR pada pasien C19 pun bisa mencapai 97%.
Tapi Ct value hanya menunjukkan ditemukannya DNA dari virus. Pemeriksaan PCR ini tidak bisa membedakan apakah itu DNA dari virus yang masih hidup, atau merupakan DNA dari virus yang sudah mati. Karenanya patokan Ct value sebagai dasar diagnosis atau follow up penderita C19, mengalami beberapa kali perubahan. Awalnya angka Ct value 40 ke atas, baru dianggap negatif, tapi kini patokan ini sudah diturunkan menjadi > 35. Ct value di atas itu sudah dianggap negatif. Walaupun demikian bukan berarti bila angkanya < 35 pasien dikatakan belum sembuh atau masih bisa menulari. Karena sekali lagi DNA yang terdeteksi bisa juga merupakan DNA virus yang sudah mati. Karenanya penentuan akhir bukan berdasarkan Ct value, melainkan dari kondisi klinis penderita yang ditentuken oleh dokter yang menanganinya.
Bebas Gejala +3 Hari
Berdasarkan penelitian yang sudah banyak dilakukan, sampai dengan tengah Juli 2021 ini, rekomendasi yang diberikan WHO dalam penentuan seseorang sudah dikatakan sembuh dari C19 dan diharapkan tidak menulari lagi adalah dari klinis atau gejala. Bila penderita sudah bebas gejala, lalu ditambah 3 hari, maka ia dikatakan sembuh. Tapi bila jumlah hari tersebut masih kurang dari 14 hari, maka akan dicukupkan minimal 14 hari. Terlepas dari apa hasil pemeriksaan PCR penderita tersebut. Untuk menentukan bebas gejala tersebut, perlu diputuskan oleh dokter yang merawat. Disarankan tidak diputuskan sendiri oleh penderita atau keluarganya, karena penyakit ini sangat menular dan berbahaya, agar penularan dapat kita cegah sebaik-baiknya.
Kapan Melakukan Pemeriksaan PCR vs. Antigen?
Dari uraian di atas jelas, pemeriksaan swab antigen dan PCR untuk C19 tidak bisa dilakukan kapan saja mau, karena harus senantiasa dilihat waktu dan gejala atau klinis dari penderita:
Pemeriksaan Tes Antigen
- Bila suspect kuat ada paparan dari kontak erat < 14 hari
- Bila ada gejala khas C19 < 7 hari
- Untuk kepentingan screening yang tidak terlalu krusial
- Tidak untuk follow up penderita C19 yang sedang sakit
Pemeriksaan Tes RT-PCR
- Bila suspect kuat ada paparan dari kontak erat < 5 minggu
- Bila ada gejala khas C19 < 4 minggu
- Untuk kepentingan screening yang krusial seperti bepergian dengan pesawat, sebelum tindakan medis di RS selama pandemi, screening tenaga medis di RS, dll.
- Untuk follow up penderita C19 yang sedang sakit selama masih belum bebas dari gejala
- Tidak untuk diperiksa pada penderita yang sudah bebas dari gejala +3 hari.
Faktor Eksternal dan Keputusan Dokter
Bagaimana bagusnya pun suatu pemeriksaan, tetap saja ada faktor eksternal yang dapat mempengaruhi hasil. Dalam hal tes swab antigen dan PCR faktor eksternal tersebut bisa berupa kesalahan pengambilan sample saat swab, kesalahan handling dari sample, dan kerusakan test pack atau mesin PCR. Karenanya, kembalikan dan percayakan semua keputusan akhir pada dokter yang menangani. Ct value pada pemeriksaan PCR sebenarnya merupakan informasi bagi dokter yang merawat untuk melengkapi berbagai informasi yang sudah dimiliki, maka dokter yang merawat akan membuat keputusan tentang kondisi dan perawatan pasien selanjutnya. Pasien adalah sosok tubuh lengkap, bukan sekedar angka Ct value. Sehingga penilaian terhadap kondisi pasien harus komprehensif. Sebaliknya kalau PCR belum negatif, lebih baik dianggap virusnya masih ada, masih bisa menular, harus waspada. Tapi juga jangan panik, pastikan dan percayakan keputusan akhir pada dokter yang merawatnya.
©IKM 2021-07