Hidup di zaman modern seperti sekarang ini, sering kalaupun tidak setiap hari, tanpa disadari kita mengkonsumsi produk hasil dari sebuah rekayasa genetika. Misalnya nasi yang berasal dari padi dengan masa panen 4 kali setahun, dibandingkan dulu dalam setahun petani hanya bisa panen maksimal 2 kali saja. Kemudian buah tanpa biji, sayuran warna selalu cerah, dll., sangat banyak yang merupakan produk rekayasa genetika yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai GMO (Genetically Modified Organism). Sudah tentu produk GMO ini memancing diskusi, perdebatan, lalu pro dan kontra; karena tidak sedikit juga yang berargumen bahwa produk tersebut membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan kita.
GMO ini mewakili semua organisme hidup di mana DNA-nya sudah dimodifikasi menggunakan teknologi rekayasa genetika (genetic engineering technology) untuk membuat organisme baru yang lebih unggul dari sebelumnya. Di industri makanan, rekayasa genetika ini bertujuan agar tanaman hasil GMO lebih baik tumbuhnya, lebih tinggi kandungan nutrisinya, lebih tahan terhadap iklim dan hama, serta lebih mudah untuk dirawat oleh petani. GMO dipilih karena proses pemilihan seleksi alam secara alami untuk mendapatkan generasi yang lebih unggul memakan waktu yang tidak sebentar. Rekayasa genetika secara signifikan mempercepat proses tersebut. Departemen Pertanian AS bahkan menyatakan bahwa lebih dari 90% tanaman yang ditanam petani AS seperti jagung, kapas, dan kedelai merupakan GMO; dan sekitar 80% produk yang terdapat di supermarket di sana merupakan produk GMO.
Makanan berasal dari GMO memiliki manfaat dan kelebihan baik bagi petani maupun konsumennya. Pertama tanaman GMO lebih tahan terhadap hama dan serangga, sehingga tidak memerlukan penyemprotan pestisida yang sering. Pada tahun 2014, sudah ada 147 penelitian yang melaporkan bahwa teknologi GMO menekan penggunaan pestisida sampai 37% dengan kenaikan hasil produksi sampai 22%. Ada pula tanaman GMO yang dibuat agar lebih tahan perubahan iklim seperti musim kemarau sehingga membuat produksi dan suplai hasil tanam tidak menyebabkan kelangkaan di pasar. Sudah tentu GMO membuat biaya produksi petani menjadi lebih rendah, dan harga jual pada konsumen menjadi tidak mahal. Belum lagi produk dari GMO sering dibuat agar lebih tinggi kandungan nutrisinya, seperti produk sebuah jenis beras lebih tinggi beta carotene-nya yang baik untuk pertumbuhan dan kesehatan.
Keamanan GMO
Walaupun penelitian melaporkan bahwa makanan GMO aman, tapi tetap saja ada kekhawatiran terhadap keamanan jangka panjangnya terhadap kesehatan manusia dan dampaknya pada lingkungan. Kekhawatiran tersebut bisa dijabarkan sbb.:
- Alergi. Bahwa produk GMO dapat mencetus reaksi alergi, karena mengandung gen asing yang ditambahkan. Pada tahun 1990 di Brazil ada laporan reaksi alergi pada mereka yang memang alergi terhadap kacang setelah memakan kedelai yang ditambahkan gen kacang tanah. Walaupun tidak semua orang mengalami reaksi alergi, tetap produk tersebut langsung ditarik dari pasaran. Peneliti juga terus mengembangkan teknik agar zat alergen (penyebab alergi) tidak ikut ditransfer saat melakukan rekayasa genetika. Malah banyak dikembangkan produk yang bisa tidak mencetus alergi, seperti kacang tanah hasil GMO tidak menyebabkan alergi pada orang yang memang sebelumnya alergi pada kacang tanah yang alami.
- Kanker. Karena pada dasarnya kanker terjadi akibat adanya mutasi pada DNA, maka dikhawatirkan produk GMO bisa sampai mengganggu DNA manusia. Sampai saat ini penelitian GMO mencetus kanker paling jauh dilakukan sampai percobaan pada tikus, belum ada penelitian langsung pada manusia. The American Cancer Society (ACS) juga sudah mengeluarkan pernyataan bahwa sampai saat ini belum ada bukti produk GMO meningkatkan atau menurunkan resiko kejadian kanker.
- Keseimbangan lingkungan. Walaupun tanaman GMO lebih digemari petani karena kelebihan-kelebihannya, tapi ada kekhawatiran bisa merusak keseimbangan lingkungan. Contohnya tanaman GMO yang dibuat tahan terhadap herbisida (pembunuh tanaman pengganggu seperti rumput), sehingga petani bisa lebih bebas menggunakan herbisida tanpa khawatir tanaman produksinya mati. Tapi ada bukti malah muncul jenis rumput yang juga tahan terhadap herbisida yang membuat petani malah menggunakan herbisida lebih banyak lagi. Herbisida dalam jumlah tinggi sudah tentu berbahaya bagi lingkungan, dan bisa saja termakan oleh manusia ketika mengkonsumsi produk GMO tsb. Hal ini masih terus diteliti, tapi yang jelas banyak tanaman GMO yang tahan terhadap hama tanpa harus disemprot anti hama lagi oleh petani, yang sudah tentu justru baik bagi lingkungan.
Mengidentifikasi Sebuah GMO
Sebenarnya sulit untuk membedakan mana produk hasil GMO dan mana yang alami. Pertama, karena bentuk keduanya bisa sangat sama. Misal sebuah apel GMO yang terlihat sama dengan apel non-GMO, karena yang direkayasa adalah pohonnya agar bisa lebih tahan terhadap hama. Atau mangga hasil tanaman hibrida yang terlihat sama di toko buah, karena yang berbeda adalah pohonnya lebih rendah dan berbuah lebih lebat. Apa lagi produk turunannya, seperti jus apel, manisan mangga, dll. yang sudah mustahil untuk diidentifikasi berasal dari tanaman GMO. Hampir semua jenis bahan makanan yang berasal dari tumbuhan saat ini sedikit banyak mengalami suatu rekayasa genetika. Karenanya sejak Januari 2022 di AS, US-FDA (BPOM di sana) mengharuskan produsen mencantumkan label GMO pada produk mereka bila di dalam proses tanam sampai produksinya mengalami campur tangan rekayasa genetika.
Baca artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Tapi jangan harap kita menemukan tulisan GMO atau di Indonesia ada tulisan “Hasil Rekayasa Genetika”, karena besar kemungkinan banyak orang yang enggan untuk membelinya. Alih-alih produsen di AS menuliskan dengan cara yang lebih menarik seperti “Bioengineered Food”. Biasanya ditampilkan dalam simbol, atau pada produk langsung seperti label pada sebuah apel, atau disamping daftar kandungan bila merupakan produk olahan. Sangkin khawatirnya produk mereka kurang pembeli, malah ada produk yang tidak menampilkan tulisan sama sekali. Melainkan hanya menampilkan sebuah QR-code bertulisan “scan di sini untuk keterangan lebih lanjut”; yang bisa di-scan oleh calon pembeli. Dengan harapan tidak semua orang peduli dan langsung membelinya saja.
Mencari Produk Non-GMO
Bila Anda memang ingin menghindari produk hasil GMO sama sekali, justru lebih mudah untuk mencari produk non-GMO di pasaran, karena produsen sengaja menonjolkan informasi tersebut. Misalnya tulisan “100% Organik” / “Produk Organik”, yang mengindikasikan bahwa produk bukan suatu hasil rekayasa genetika. Namun hal ini pun sulit untuk menjadi 100% non-GMO, karena kalau tidak produknya langsung, bisa jadi bibitnya merupakan hasil rekayasa genetika. Karena istilah “organik” sering hanya berarti ditanam tidak menggunakan pupuk dan tidak menggunakan pestisida. Di negara-negara Uni Eropa, batasnya ada di angka 0,9%. Dengan rumus perhitungan yang ketat, bila ada proses GMO 1% ke atas, maka harus dilabel GMO dan tidak boleh dituliskan itu produk “organik”.
GMO vs. Non-GMO, 2 Sisi Koin
Para ahli di dunia terbagi dua bila berpendapat mengenai produk GMO. Satu sisi menganjurkan untuk dihindari karena efek samping yang mungkin muncul seperti bahasan di atas, tapi satu sisi lagi berargumen bahwa makanan GMO bisa mengatasi kelaparan pada populasi dunia yang semakin sesak ini. Berikut pendapat 2 ahli Dr. David Perlmutter, seorang dokter spesialis syaraf dan DR. Sarah Evanega, seorang ahli biologis tanaman. Mereka berdua saling bertentangan terkait GMO.
Kontra: Dr. David Perlmutter
Ia berpendapat bahwa tanaman GMO bukan solusi karena meningkatkan penggunaan zat kimia seperti glyphosate (dari herbisida) yang menjadi racun bagi lingkungan dan manusia. Tidak hanya mencemari tanah dan air, juga menurunkan kualitas tanah bagi tanaman produksi lainnya. Walaupun herbisida digunakan juga oleh petani non-GMO, tapi penggunaannya paling tinggi pada industri GMO. WHO sudah mengkarakterisasikan bahwa glyphosate sebagai kemungkinan karsinogenik (penyebab kanker) pada manusia. Dr. Perlmutter juga khawatir keseimbangan ekosistem akan terganggu, karena tumbuhan, hewan, dan manusia hidup secara co-exist yang saling terkait satu dengan lainnya. Kerusakan pada satu aspek yaitu tanaman, akan menjadi domino efek sampai ke manusia.
Pro: DR. Sarah Evanega
Berbeda dengan Dr. Perlmutter, Dr. Evanega justru membela GMO yang ditegaskan bahwa ia dan anak-anakanya mengkonsumsi produk GMO. Ia berpendapat kini semakin banyak mulut yang bisa diberi makan karena tanaman GMO yang lebih cepat dipanen, lebih tahan cuaca, lebih tahan hama, dan lebih mudah dirawat oleh petani. Penggunaan pestisida jauh menurun setelah banyak petani menanam GMO sehingga lebih sehat bagi mereka, lebih sehat bagi konsumen, dan lebih aman juga bagi lingkungan. Menurutnya dari sisi medis, makanan GMO tidak berbeda dengan non-GMO, bahkan bisa malah lebih sehat. Misal kacang yang dibuat bebas aflatoxin, gandum yang bebas gluten, jagung yang bebas myotoxin, dan beras yang diperkaya vitamin A. Yang justru lebih sehat dan aman terutama bagi mereka yang alergi. Belum ada bukti produk GMO membahayakan tubuh manusia secara langsung atau menurunkan nilai nutrisinya.
Rekayasa genetika pada GMO juga dilakukan agar produknya tidak cepat membusuk dan berubah warna. Seperti jamur, apel, dan kentang, yang dibuat tidak mudah berubah warna menjadi coklat lalu membusuk. Jamur, apel, dan kentang yang lebih tahan lama tersebut memberikan manfaat secara tidak langsung pada lingkungan, karena mereka tidak buru-buru dibuang menjadi sampah yang mencemari. Mereka bisa lebih lama bertahan di pasar untuk menunggu pembeli, dan dalam jangka panjang sudah tentu menguntungkan rantai pasokan dari mulai produsen, pedagang, sampai ke konsumen.
Produk GMO vs. Makanan Olahan
Banyak orang salah mengkategorikan dan mengeneralisir bahwa makanan olahan itu tidak baik bagi kesehatan karena berasal dari GMO. Padahal tidak juga seluruh makanan olahan bahan bakunya berasal dari GMO, dan dari penjelasan DR. Evanega di atas jelas bahwa GMO justru diusahakan agar dibuat lebih unggul, bukan sebaliknya. Yang membuat makanan olahan tidak sehat bukan karena memiliki kandungan GMO di dalamnya, melainkan proses fabrikasi dan pengemasan yang membuatnya berbahaya bagi kesehatan (baca dalam artikel lain mengenai makanan olahan).
Hukum Supply and Demand
Diperkirakan pada tahun 2050 nanti, dunia akan dihuni oleh 9,7 milyar manusia dan setiap mereka harus diberi makan. Demand yang semakin tinggi ini menuntut adanya keberlangsungan supply untuk mencegah kondisi kekurangan pangan. Belum lagi ancaman perubahan iklim dan pemanasan global yang justru mengancam turunnya produksi bahan pangan dunia. Ada pula tuntunan untuk mengurangi emosi gas carbon, mencegah polusi air, mencegah erosi tanah pertanian, dan larangan membuka lahan dari hutan menjadi lahan pertanian. Maka sangat tidak mungkin bila tidak ada campur tangan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian untuk mengatasi itu semua. Di sinilah peran penting dari dibuatnya GMO yang lebih unggul, meningkatkan produktivitasnya dan yang terpenting mencukupkan supply untuk memenuhi demand-nya.
To Eat or Not to Eat
Pertanyaan sekarang, sebagai penutup, apakah kita akan mengkonsumsinya atau tidak (to eat or not to eat). Semuanya kembali kepada masing-masing. Selama produk GMO bisa diyakinkan tidak membahayakan atau malah menguntungkan bagi kesehatan dan lingkungan, maka selama itu pula bisa menjadi argumen bagi kita untuk mengkonsumsinya. Kontrol dari regulator juga harus ketat, karena bila suatu saat ada pembuktian sebuah produk GMO membahayakan agar segera ditarik dari pasaran.
©IKM 2022-06