Semua topik yang dapat memancing minat orang untuk memperhatikan dan membicarakannya selalu saja rentan untuk dijadikan objek hoax atau misinformasi. Sering dijadikan objek oleh pihak yang ingin mengambil keuntungan pribadi atau organisasinya. Salah satu topik “seksi” tersebut adalah topik kesehatan. Sangat banyak sekali beredar misinformasi tentang kesehatan di media, terutama internet. Sebagian misinformasi itu sengaja dibuat untuk menjadi bahan bakar kontroversi yang sudah terjadi atau lahir dari ketidaksengajaan walaupun akhirnya menjadi viral dan menyesatkan. Sudah saatnya kita dapat kritis menyikapi hoax kesehatan ini dengan mengetahui penyebab, jenis, dan cara untuk mendeteksinya.
Berikut adalah penyebab yang membuat sebuah narasi misinformasi mudah menjadi viral:
- Tidak seperti dulu saat media sifatnya tertulis atau dari TV dan radio, kini setiap orang dapat menulis apa saja di dunia maya yang memberikan ruang komunikasi seluas-luasnya tanpa bisa disaring kebenarannya.
- Warganet lebih mudah percaya pada logika ilmiah yang dinarasikan sehingga berkurang sikap kritis terhadap karya manipulatif.
- Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap istilah medis membuat mereka secara aktif mencari informasi secara mandiri melalui media digital.
- Meningkatnya kepedulian dan kebutuhan tentang informasi kesehatan membuat masyarakat aktif menca-ri, membaca, dan menyebarkan semua informasi.
- Kini, hoax dengan tujuan tertentu mengutilisasi media sosial lebih masif dibandingkan waktu dulu.
- Rendahnya literasi digital di masyarakat membuat me-reka tersesat dalam informasi massal di era media baru.
Kita bisa mengkategorikan misinformasi tentang kesehatan ini berdasarkan jenis atau temanya. Di Indonesia yang paling sering adalah tentang:
- Regulasi kesehatan
- Malpraktik
- Pengobatan alternatif
- Suplemen obat dan makanan
- Vaksinasi
Hoax Regulasi Kesehatan di Indonesia
Hoax regulasi kesehatan di Indonesia yang belakangan ini sedang ramai mengisi diskusi di media terutama di dunia maya adalah misinformasi pemerasan terselubung di dunia kedokteran dan issue misinformasi ‘banyaknya mahasiswa program pendidikan dokter spesialis (PPDS) yang mengala-mi gejala depresi berat. Masih menjadi misteri mengapa dan apa motif sehingga dua issue ini diangkat, bahkan oleh pejabat publik sendiri. Juga masih menjadi misteri dari mana pejabat publik tersebut mendapatkan informasi sehingga akhirnya menyimpulkan terjadinya dua issue tersebut. Semoga bukan karena disengaja dan salah persepsi saja, sehingga suatu saat nanti dapat dikoreksi.
Dalam narasi misinformasi tersebut dikatakan bahwa ada-nya dana sebesar Rp6 juta yang dikeluarkan per 5 tahun oleh seorang dokter spesialis untuk mempertahankan STR (Surat Tanda Registrasi)-nya sebagai dokter. Padahal yang benar pengurusan STR hanya memerlukan biaya Rp300 ribu saja dan dananya pun masuk ke kas negara. Memang benar ada kewajiban iuran sebesar Rp100 ribu per bulan, sehingga bila dijumlahkan menjadi Rp6 juta selama 5 tahun. Tapi ini adalah dana untuk pengembangan organisasi sesuai kespe-sialisasiannya yang secara suka rela dibayarkan. Manfaat dana itu pun dirasakan kembali bagi anggota dalam berba-gai kegiatan dan untuk kepengurusan organisasi tersebut.
Lalu terpisahnya pengurusan STR dan SIP (Surat Izin Praktik) dokter dan harus dilakukan setiap 5 tahun, dinarasikan sebagai keinginan dari IDI. Padahal merupakan amanat UU Kesehatan No. 29 thn 2004, dan IDI hanya menjalaninya. Disambung lagi dengan besarnya biaya kegiatan ilmiah untuk memperbarui kompetensi dan keilmuan dokter, dikatakan sebagai bisnis. Padahal panitia suatu pertemuan ilmiah hampir semua bersifat suka rela dan biaya yang dipu-ngut digunakan untuk menyewa tempat acara, konsumsi, honor pemateri, pameran, dan biaya kegiatan lainnya.
Yang juga sedang viral adalah misinformasi bahwa mahasis-wa PPDS sebagian besar mengalami gejala depresi berat yang dinarasikan data didapat dari hasil skrining terhadap 12.121 PPDS di 28 RS vertikal menggunakan Patient Health Questi-onnaire PHQ-9. Satu hal yang luput dari pembuat narasi bahwa PHQ-9 ini sejak tahun 2022 sudah tidak digunakan kembali, karena 77% hasilnya adalah positif palsu. Lalu narasi tersebut juga luput untuk menyertakan data pembanding dengan mahasiswa dari program pendidi-kan lain seperti Akmil, STPDN, ITB, dll., yang juga memiliki tingkat stressing tinggi dalam pendidikannya.
Baca dalam artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Berita tentang malpraktik juga merupakan berita yang cepat menarik perhatian orang. Entah mengapa bahwa berobat ke dokter itu tuntutannya harus sembuh dan tidak boleh meninggal, sehingga bila ada yang tidak sembuh atau menyebabkan pasien meninggal selalu saja dikatakan malpraktik. Sementara kalau berobat ke pengobatan alter-natif bila tidak sembuh atau pasien meninggal dikatakan sudah menjadi takdir dan merasa puas karena sudah ikhtiar berobat. Padahal tidak sedikit kasus seseorang baru dibawa ke dokter setelah gagal berobat ke alternatif sehingga saat ditangani dokter kondisinya sudah buruk atau kritis.
Lebih jauh sebenarnya, definisi dari malpraktik itu yang tidak dipahami oleh sebagian besar orang di Indonesia. Dikatakan malpraktik bukan dilihat dari hasil akhir seperti pasien tidak sembuh atau meninggal, melainkan adakah prosedur yang salah selama proses tindakan dan pengobat-an yang dilakukan dokter atau fasyankes (fasilitas pelayan-an kesehatan). Selama prosedur yang dilakukan sudah benar sesuai dengan kaidah ilmu kedokteran, maka apa pun hasilnya tidak dapat dikatakan malpraktik. Jadi bila tidak sembuh atau pasien meninggal, sama saja seperti berobat ke pengobatan alternatif; yang sudah menjadi takdir YME.
Demikian juga dengan penegakan diagnosis yang tidak bisa dikatakan salah. Karena tidak ada yang namanya “diagnosis pasti”, melainkan sebuah “diagnosis kerja.” Dokter mene-gakkan diagnosis kerja sesuai dengan pemeriksaan dan ilmu yang dimilikinya. Bila kemudian diagnosis berubah karena adanya pemeriksaan terbaru atau hasil konsultasi dengan dokter lain, bukan berarti diagnosis kerja awal itu salah dan disebut sebagai malpraktik. Hal ini disebabkan bahwa tubuh manusia sangat dinamis dan kompleks, sehingga mungkin hanya Allah SWT saja yang tahu secara pasti penyakit yang diderita oleh seorang pasien.
Hoax Pengobatan Alternatif di Indonesia
Masih sangat banyak masyarakat Indonesia yang mencari pengobatan alternatif bila sedang sakit dengan berbagai alasan. Ditambah lagi dengan regulasi mengenai pengobat-an alternatif yang jauh lebih “longgar” dibandingkan praktik pengobatan oleh dokter yang diatur oleh regulasi berlapis. Salah satunya, pengobatan alternatif diizinkan untuk berik-lan sementara pengobatan oleh dokter dilarang keras untuk beriklan. Karenanya sangat bebas bagi suatu praktik pengo-batan alternatif untuk menjadi terkenal dan viral yang bisa memanfaatkan berbagai cara termasuk media digital.
Narasi yang dibangun dalam iklan pengobatan alternatif hanya menampilkan kasus atau testimoni yang berhasil saja, sementara yang gagal tidak pernah terungkap. Hal ini disebut sebagai anecdotal evidence (baca dalam artikel lainnya). Karena dianggap selalu berhasil, suatu praktik pengobatan alternatif menjadi pilihan banyak masyarakat. Memang tidak semua pengobatan alternatif seperti itu, seperti akupunktur dan pengobatan tradisional dari China yang sudah ribuan tahun umurnya. Namun tidak sedikit pengobatan alternatif yang hanya bertujuan mengumpul-kan cuan saja, yang terkadang juga relatif berbiaya mahal.
Hoax Suplemen Obat dan Makanan
Begitu pula dengan suplemen obat dan makanan yang regulasinya lebih “longgar” dibandingkan obat yang dire-sepkan oleh dokter. Membuat sangat banyak sekali merek dan jenis suplemen obat dan makanan ini di pasaran. Narasi yang dibuat selalu menampilkan tingkat superlatif dari produk yang dijual, mengatakan yang paling hebat diban-dingkan produk lainnya. Harganya pun tidak bisa dikatakan murah, malah sering lebih mahal dari suplemen yang biasa dianjurkan oleh dokter. Produsen sering menyewa content creator untuk mem-posting iklannya, terutama di media sosial yang menarik sangat banyak pembeli. Padahal sering sekali gambar atau video yang ditampilkan merupakan buatan komputer atau istilahnya kini AI generated.
Hoax Vaksinasi di Indonesia
Yang juga sering terjadi narasi misinformasi adalah tentang vaksinasi. Kita mengalaminya bersama saat dunia maya sempat dibanjiri oleh misinformasi tentang vaksinasi selama pandemi COVID-19 yang lalu. Jangankan di masa pandemi, pada masa normal pun juga banyak narasi misinformasi tentang vaksinasi ini. Terlepas dari motif yang mendasari orang yang membuatnya, yang jelas tidak ada pernah ada bukti konklusif yang bisa ditampilkan para anti vaksinasi (terkadang juga merupakan seorang dokter) tentang bahaya vaksinasi, apa pun jenis vaksinnya. Yang ada kita sudah menikmati bersama betapa kita bisa keluar dari pandemi COVID-19 berkat keberhasilan vaksinasi.
Tips Terhindar Menjadi Korban Hoax Kesehatan
Sebenarnya tidak sulit untuk bisa terhindar dari menjadi korban hoax atau misinformasi tentang kesehatan. Berikut beberapa tips-nya:
- Waspada terhadap judul yang sensasional, karena bila terlalu sensasional sering sekali dibuat hanya untuk memancing pembaca dan berisi narasi misinformasi.
- Kritis terhadap suatu cerita tentang issue kesehatan yang dikaitkan dengan sebuah bukti, karena sering juga hanya untuk memancing saja. Cobalah untuk mencari berita pembanding dari sumber lainnya.
- Waspada terhadap narasi yang hanya menampilkan data yang mendukung klaim yang disampaikan saja, karena sebuah informasi medis harus berimbang.
- Waspada terhadap hubungan sebab akibat dari suatu narasi misinformasi, kerena belum tentu hal satu ada korelasinya dengan hal lainnya.
- Mengerti perbedaan antara informasi pada website resmi dengan yang dibuat oleh content creator dengan tujuan beriklan. Carilah informasi dari sumber asalnya.
- Kritis menghadapi klaim suatu produk, karena tidak sedikit perusahaan mempekerjakan ilmuan untuk membuat penelitian, dengan hasil yang memang sudah dirancang mendukung produk yang dipasarkan.
- Curigai bila suatu narasi berisi sebuah spekulasi, karena dalam dunia kedokteran hasil harus disimpulkan dari fakta yang didapat dalam sebuah penelitian.
- Kritis bila ada bukti yang menampilkan sample size yang sedikit, seperti hanya menampilkan testimoni beberapa orang saja lalu mengklaim produk/metodanya berhasil.
- Kritis bila sample atau testimoni hanya berasal dari satu kelompok saja lalu mengklaim produk/metoda yang sedang ditawarkan berhasil. Karena di dunia kedokter-an suatu obat/metoda harus bersifat untuk umum.
- Waspadai bila penelitian yang dijadikan dasar tidak menggunakan control group dan tidak dilakukan dengan cara random blind.
©IKM 204-05