Vaksin adalah salah satu keberhasilan terbesar oleh-oleh dari abad 20 di bidang kesehatan. Mungkin banyak yang tidak menyadari bahwa yang namanya nikmat sehat tidak akan terasa sampai Anda menderita sakit. Yang namanya penyakit terasa sangat jauh dari Anda sampai Anda atau orang yang dicinta terkena penyakitnya. Fungsi vaksin yang dapat mencegah penyakit sehingga Anda tidak perlu menderita sakit, malah menjadi boomerang membuat vaksin menjadi kurang dihargai. Anda sering lupa bahwa sehat yang Anda nikmati mungkin terdapat andil vaksin yang pernah didapatkan sebelumnya. Ini pulalah yang membuat setiap ada berita negatif tentang vaksin, cendrung membuat orang mudah untuk percaya, apa lagi disampaikan oleh orang yang juga bergelar dokter atau peneliti. Mereka pada dasarnya memang menentang vaksin dan sepak terjangnya mereka sering disebut sebagai gerakan anti vaksin (anti-vaccine movement).
- Penolakan vaksin tercatat dimulai sejak awal tahun 1800-an.
- Gerakan anti vaksin yang semakin gencar karena terbantu dengan dunia internet, membuat penyakit yang dulu sudah dianggap hilang kembali muncul menginfeksi orang di dunia.
- Mereka yang tergabung dalam gerakan anti vaksin memiliki latar belakang dan motif yang berbeda-beda dalam aksinya.
- Motifnya karena like and dislike, politik, agama, ketakutan yang berlebih, sampai berbagai macam teori konspirasi.
- Di Indonesia penentangan vaksin COVID-19 (C19) lebih banyak nuansa politis dan ketidakpercayaan kepada pemerintah dibandingkan isu lainnya.
Penentangan terhadap vaksin bukanlah suatu yang baru. Mulai sejak pertama vaksin ditemukan, kelompok orang yang menentangnya juga langsung ada. Sejarah mencatat sudah terjadi sejak awal tahun 1800-an ketika vaksin campak mulai digunakan dalam cakupan yang luas. Ide menyuntikkan orang dengan bagian dari virus untuk mencegah mereka terkena virus yang sebenarnya, membuat banyak orang merasa takut. Lalu di tahun 1970-an vaksin DPT pernah mendapatkan tentangan keras ketika diangkat issue bisa menyebabkan kelainan neurologis yang belakangan dapat dipatahkan oleh berbagai penelitian. Terakhir ada gerakan sangat gencar anti terhadap vaksin C19. Sayangnya penolakan seseorang atau kelompok tertentu terhadap vaksin, sering mengajak orang lain agar juga ikut menolak. Akibatnya banyak penyakit infeksi yang kembali muncul di wilayah yang harusnya sudah tereradikasi. Bukan tidak mungkin penentangan terhadap vaksin C19 juga akan menjadi faktor kunci berhasil atau tidaknya, dunia keluar dari pandemi C19 yang sedang kita hadapi ini.
Resiko dan Manfaat Suatu Tindakan Medis
Setiap tindakan medis sudah pasti akan ada resiko dan manfaatnya. Mulai dari yang sederhana seperti mengkonsumsi paracetamol misalnya ketika sakit kepala. Manfaatnya sudah pasti bisa menghilangkan sakit di kepala, dengan resiko terkena gangguan lambung. Tapi tetap saja orang mengkonsumsinya karena merasa resiko yang dapat terjadi dikalahkan dengan harapan pemanfaatannya. Setiap tindakan medis juga tidak mungkin dilakukan bila resikonya tidak terukur dan lebih besar dari pemanfaatannya. Contohnya seorang dengan penyakit jantung koroner parah yang tidak dilakukan tindakan apa-apa oleh dokter selain memberikan obat, karena tindakan medis yang dilakukan justru akan dapat mempercepat kematiannya.
Vaksinasi Adalah Suatu Tindakan Medis
Demikian pula halnya dengan vaksinasi yang merupakan suatu tindakan medis. Memang ada efek sampingnya, tapi efek samping yang sudah terukur dan bukan merupakan efek samping yang bahaya. Itulah pentingnya dilakukan suatu clinical trial atau uji klinis sebelum vaksin disuntikkan secara masal. Ada tiga fase di mana fase pertama adalah yang paling krusial yaitu untuk melihat keamanan dan potensi bahayanya. Bila ternyata tidak aman dan berbahaya, uji klinis vaksin tersebut akan dihentikan pada fase satu tersebut. Sementara vaksin yang sudah menjalani, apa lagi menyelesaikan fase tiga, berarti sudah dipastikan aman dengan efek samping yang tidak berbahaya. Khusus untuk vaksin C19, efek samping yang minimal dan tidak berbahaya tersebut sudah pasti kalah dengan manfaat yang bisa kita dapatkan yaitu membawa kita keluar dari pandemi ini.
- Bukan vaksin yang melindungi dari penyakit infeksi tapi sistem imunitas. Pendapat ini tidak salah sama sekali, tapi dalam proses sistem imunitas itu berfungsi bertugas melindungi, ia dapat dikenalkan dengan penyakitnya oleh vaksin tanpa harus menderita sakit lebih dahulu. Sehingga saat penyakitnya datang, ia bisa bertugas untuk melindungi.
- Vaksinasi tidak bisa melindungi, karena bisa tetap menjadi sakit. Pendapat ini juga tidak salah sama sekali, karena tidak ada kekebalan 100% dari vaksinasi. Bahkan yang 90% sekali pun berarti ada 10 orang dari setiap 100 orang yang akan tetap sakit. Bila dikalikan jumlah penduduk Indonesia (270 juta) yang seandainya semua tervaksinasi vaksin C19 yang efikasinya 90%, tetap saja akan ada 13.500.000 orang yang bisa tetap terinfeksi virus SARS-CoV-2 penyebab C19 ini.
- Vaksin mengandung zat berbahaya tertentu. Sama seperti halnya obat, pada vaksin banyak campuran lainnya yang bertujuan untuk menjaga kestabilan, membuat lebih tahan lama, atau memang diperlukan dalam proses produksinya. Tapi juga seperti obat lainnya; tidak mungkin digunakan dan ditambahkan ke dalam vaksin bila tidak aman.
- Vaksin mencetus penyakit tertentu seperti autisme. Kalau seandainya semua orang dalam populasi sudah disuntik vaksin, maka apa pun yang timbul setelah vaksinasi hampir bisa dipastikan dikatakan efek dari vaksin. Bahkan mungkin bila ada orang yang tertabrak mobil setelah pulang dari tempat vaksinasi pun akan dikatakan kurang konsentrasi menyebrang jalan akibat efek vaksin! Saat dilakukan uji klinis bahkan suatu efek yang tidak berasal dari vaksin juga akan dilaporkan, membuat semua kemungkinan efek samping sudah dapat diprediksi. Bila vaksin diputuskan untuk digunakan, berarti vaksin diyakinkan tidak berbahaya.
- Bila sudah tidak ada penyakitnya, tidak perlu vaksinasi. Ini terjadi pada penyakit campak di AS di mana banyak orang tua menolak anaknya mendapatkan vaksin campak. Akibatnya penyakit ini kembali muncul di negara tersebut. Justru penyakit akan tetap tereradikasi bila vaksin tetap diberikan kepada orang yang belum mendapatkannya. Begitu pula halnya nanti dengan vaksin C19.
- Tidak perlu vaksin karena sudah ada antibiotik. Antibiotik tidak dapat membunuh virus, sedangkan sebagian besar vaksin adalah untuk mencegah penyakit infeksi karena virus.
- Perusahaan farmasi pembuat vaksin hanya mencari untung. Setiap perusahaan sudah tentu ingin cari untung. Tapi pada industri di dunia kesehatan, semuanya penuh dengan regulasi dan peraturan ketat. Seperti alat kesehatan, obat, dan juga vaksin. Terlepas dari keuntungan yang didapat oleh perusahaan pembuatnya, ada suatu protokol dan peraturan ketat yang harus dipenuhi dalam memproduksi dan menyebarkan alat/obat/vaksin yang dibuatnya.
Kehilangan Kepercayaan
Banyak orang yang tidak setuju atau menentang vaksinasi karena kehilangan kepercayaan:
- Kehilangan kepercayaan pada ilmu pengetahuan. Kalau kita hidup sampai kehilangan kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan (mistrust of science), mau bagaimana lagi kehidupan kita bisa dibuat lebih maju, lebih sehat atau lebih baik dari zaman sebelumnya? Karena ada gerakan anti vaksin yang ingin back to nature. Mereka memiliki faham untuk serahkan saja pada hukum alam, biarkan sakit karena itu proses pembelajaran bagi tubuh.
- Kehilangan kepercayaan pada pemerintah. Tidak sedikit juga warga negara di dunia yang menolak vaksinasi terutama C19 saat sekarang ini karena kehilangan kepercayaan pada pemerintahnya, mungkin termasuk di Indonesia. Setidaksempurnanya suatu pemerintahan, akan masih tetap ada orang baik di dalamnya. Termasuk yang mengurusi tanpa lelah pandemi C19 di Indonesia, yang ingin membawa bangsa ini keluar dari pandemi berkepanjangan.
Memanfaatkan Media Sosial
Kelompok anti vaksin yang sering disebut juga sebagai anti-vaxxers juga memanfaatkan media sosial. Lebih dari separuh orang di AS mengaku menjadi target informasi salah tentang vaksinasi dari media sosial. Mereka banyak mendapatkan informasi tentang betapa bahayanya vaksin dan informasi berbagai teori konspirasi tentang vaksin dan vaksinasi. Ada penelitian yang dilaporkan di Inggris bahwa 82% dari 2000 orang subjek responden penelitian mereka menyarankan agar platform media sosial seperti Facebook dan Instagram agar melakukan sesuatu terhadap informasi salah tentang vaksin C19, karena mereka sudah sangat terganggu. Saat ini pengelola platform media sosial sangat ketat menyaring informasi salah mengenai vaksin C19, tapi tetap saja ada yang lolos, apa lagi yang bukan berbahasa Inggris. Jadi kuncinya tetap ada pada diri kita masing-masing pengguna media sosial itu sendiri.
Baca artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Kejadian luar biasa (KLB) penyakit atau disease outbreak membunuh jutaan orang di dunia. Kematian dan kecacatan dari beberapa penyakit yang tadinya sudah jarang kita dengar, kini perlahan bermunculan kembali di dunia; seperti polio, campak, pertusis (batuk rejan), dan difteri. Di Pakistan polio sangat banyak ditemukan karena banyak yang melarang anaknya divaksinasi khawatir merupakan usaha spionase dari AS. Yang berusaha mendistribusikan vaksin bahkan ditangkap atau dibunuh. Di China batuk rejan mewabah tahun 2010 dan membunuh banyak anak-anak, terburuk sejak 50 tahun karena orang tua menolak anaknya disuntik DPT dengan alasan agama. Bahkan di San Diego, AS, 10 anak meninggal karena batuk rejan karena orang tua menolak vaksinasi DPT di tahun 2010. Di Indonesia sepertinya tidak jauh berbeda (tidak terlaporkan), karena banyak orang tua menolak anaknya untuk divaksinasi.
Vaksin COVID-19
Para ilmuan menghabiskan waktu puluhan tahun untuk mencari cara mengatasi KLB bila harus terjadi lagi. Dengan perkembang-an ilmu kedokteran dan bioteknologi, pandemi C19 mungkin merupakan yang paling cepat akan bisa teratasi karena saat ini pembuatan vaksin bisa lebih cepat. Tapi tetap saja banyak orang yang berfikir bukan ide yang baik untuk mendapatkan vaksinasi dan lebih memilih seleksi alamiah. Upaya vaksinasi masal bukan pemaksaan dan tidak ada hubungannya dengan paham sosialis/ komunis yang gemar memaksakan kehendak kepada warga negaranya. Tidak ada yang dapat memaksakan suatu tindakan medis kepada seseorang, termasuk vaksinasi. Akan selalu ada inform consent sebelum dilakukan vaksinasi, dan hanya diberikan kepada mereka yang mau (concent) saja.
Kekebalan Komunitas Terlepas dari Pandemi
Namun demikian, bila kita ingin terlepas dari pandemi ini, maka harus tercipta suatu kekebalan komunitas (herd immunity). Suatu kondisi bila dari total populasi, 70%-nya sudah memiliki kekebalan. Itu pun tidak terjadi secara instant, butuh waktu bulanan bahkan tahunan di mana akhirnya penyakit berangsur berkurang, lalu mulai menghilang. Sekarang mari kita main matematika. Katakanlah ada 270 juta penduduk Indonesia. Berarti harus ada 189 juta orang harus yang kebal. Sementara yang bisa divaksin C19 saat ini hanya kelompok umur 18-59 tahun yang hanya berjumlah 181 juta orang saja. Itu pun ada kecendrungan hanya sekitar 64,8% saja yang mengatakan bersedia divaksin. 27,6% masih ragu, sementara 7,6% menyatakan tidak mau. Seandainya dijumlah yang mau dan yang masih ragu = 92,4% x 181 juta = 167,2 juta. Sementara vaksin efikasinya maksimal hanya 90% saja. Berarti dari 167,2 juta itu hanya 150,5 juta yang kebal atau baru sekitar 56% saja dari total seluruh masyarakat Indonesia. Jauh dari 70%!
Selamat Tinggal Hidup Seperti Dulu
Maka katakan saja selamat tinggal hidup bebas seperti dulu, karena hanya akan bisa kita kenang dan ceritakan saja kepada anak cucu. Di mana kita bisa bebas tidak menggunakan masker, bebas bersalaman dan berangkulan, bebas ke tempat keramaian, dan tidak takut terancam sakit atau paranoid terhadap suatu penyakit. Karena 56% yang kebal terhadap C19 tidak cukup menjamin menghilangkan kasus kematian karena C19, tidak bisa melepas baju hazmat petugas medis di RS, tidak bisa membuat anak-anak benar aman kembali bersekolah tatap muka, dan sudah pasti hidup tidak akan bisa pernah kembali seperti sebelum terjadi pandemi seperti dulu.
Penutup
Tapi 56% tetap jauh lebih sangat baik dari pada tidak sama sekali. Karenanya bila Anda termasuk orang yang ingin keluar dari pandemi C19 yang berkepanjangan ini, seharusnya Anda bersedia untuk divaksin. Bila Anda tidak bersedia divaksin, setidaknya tidak menentang vaksinasi untuk orang lain dan tidak mengajak orang lain ikut mempertaruhkan hidup dan kesehatannya seperti Anda.
©IKM 2021-01