Terlepas dari sudah sangat banyaknya bukti yang dilaporkan oleh pusat-pusat penelitian dunia bahwa vaksin COVID-19 (C19) sangat aman, terbukti dapat menekan kemungkinan kematian penderitanya, dan mencegah dengan signifikan yang terkena tidak harus menderita C19 yang berat; tetap saja masih sangat banyak juga orang di dunia yang menolaknya, termasuk di tanah air. Bahkan ketika WHO mengumumkan bahwa semua vaksin dapat memberikan perlindungan terhadap VOC (variant of concern) termasuk varian Delta; aktivitas anti vaksin (anti-vaxxers movements) juga semakin gencar. Salah satu cara mereka selain demonstrasi terang-terangan di jalan, adalah dengan menyebar hoax di media sosial. Dalam artikel ini kita akan membongkar (debunking) hoax tentang vaksin C19 yang paling menjadi viral di dunia dan juga di Indonesia.
Sebagian besar dari klaim anti vaksin yang beredar di media sosial bila di-trace back sebenarnya kembali kepada kelompok kecil orang saja di dunia. Bahkan ada penelitian yang melaporkan hanya sekitar 12 orang/kelompok saja di dunia yang bertanggung jawab untuk informasi salah dan menentang vaksin C19 yang beredar di Facebook, Instagram dan Twitter. Mereka disebut sebagai “The Disinformation Dozen” atau selusin orang yang menyebarkan disinformasi. Hal ini disampaikan oleh Imran Ahmed, CEO dari Center of Countering Digital Hate. Setelah pernyataan ini Facebook memblokir banyak akun yang dikelola oleh 12 orang tersebut. Mereka sebagian besar aktivis anti vaksin, serta pengusaha dan praktisi pengobatan tradisional yang beberapa di antara mereka mempromosikan “kesembuhan alami” yang menjual produk suplemen kesehatan dan buku-buku. Sayangnya identitas ke 12 orang/kelompok ini tidak dibuka indentitasnya ke publik.
Semua informasi salah (mislieading information) bahkan hoax tentang C19 yang menjadi viral di dunia termasuk di Indonesia, bisa dikelompokkan menjadi berapa tema dasar sbb.:
- Mengajak untuk tidak percaya dengan keberadaan C19
- Mempromosikan suatu cara penyembuhan lain/alternatif
- Menyebarkan klaim medis yang tidak terbukti secara ilmiah
- Menciptakan suatu teori konspirasi
- Memfitnah vaksin, dokter, ahli medis yang menganjurkan vaksin hanya untuk kepentingan pribadi/golongan
Pertempuran Adu Persuasi
Walaupun perusahaan media sosial banyak membantu untuk menyaring posting-an anti vaksin, tapi tetap saja beritanya menyebar. Sayangnya alamiahnya manusia lebih menyenangi kalau ada drama dan berita konspirasi dibanding berita yang berdasar ilmu pengetahuan yang seringnya membosankan. Akibatnya berita yang non ilmiah lebih mudah menjadi viral di media sosial, dan sering orang yang menyebarkannya tidak sadar bahwa yang disebarkan olehnya adalah berita yang salah, misleading, bahkan berita hoax. Hal ini disampaikan oleh Dr William Schaffner, seorang profesor di preventive medicine and infectious disease Vanderbilt University Medical Center di Nashville, AS. Kombinasi antara memang niat menggagalkan vaksinasi lalu membuat informasi yang salah, ditambah dengan banyak orang dengan tidak sengaja ikut menyebarkan informasi salah tersebut; membuat pertempuran adu persuasi ini menjadi tambah sulit untuk dimenangkan oleh berita yang benar.
Membuat Berita Benar Lebih Menarik
Tantangannya adalah, bagaimana agar pemberitaan dan informasi yang benar bisa lebih menarik. Walaupun sulit untuk menyaingi issue berita teori konspirasi, setidaknya dapat lebih membuat orang cerdas namun ragu, agar hilang keraguannya. Kita tidak usah mentarget orang bodoh yang memang lahir batin sudah percaya dengan berita hoax. Target kita adalah orang cerdas namun masih ragu, agar hilang keraguannya. Inilah yang terus coba dikerjakan berbagai organisasi anti hoax di dunia dan di Indonesia. Salah satunya adalah MAFINDO (masyarakat anti fitnah Indonesia) yang dengan tidak kenal lelah berusaha membongkar hoax yang beredar. Bukan hanya tentang vaksin C19, tapi juga dimensi pemberitaan dalam kehidupan lainnya. Berita dibuat lebih menarik, dengan gambar, animasi, bahkan video berusaha mengimbangi pemberitaan salah pada semua platform dunia sosial dan media lainnya.
Sekarang mari kita kerucutkan bahasan kita untuk mencoba membongkar (debunking) beberapa berita hoax seputar vaksin C19 yang beredar di media sosial dan media lainnya.
1. Vaksin C19 digunakan terlalu terburu-buru
Ini adalah berita menyesatkan nomor satu yang paling dulu beredar. Walaupun terlihatnya vaksin-vaksin C19 dibuat dalam waktu yang sangat cepat, tapi bagi ilmu pengetahuan pembuatan vaksin saat ini memang sangat dimungkinkan. Yang menanyakan dan membandingkan dengan vaksin HIV atau flu burung yang tidak kunjung ditemukan, sebenarnya tidak paham bahwa virus itu berbeda-beda jenisnya. Untuk jenis virus RNA berantai pendek seperti SARS-CoV-2 pengembangan vaksin memang lebih mudah dibandingkan vaksin HIV dan flu burung. Belum lagi biaya yang digelontorkan untuk pengembangan vaksin C19 sangat besar mengingat skala dunia penyakitnya.
2. Vaksin C19 tidak berhasil
Ini adalah hoax terbesar tentang vaksin C19. Nyatanya WHO sudah memaparkan bahwa sudah banyak sekali bukti ilmiah bahwa vaksin menurunkan tingkat morbiditas dan mortialitas di seluruh dunia. Kasus berat dan tak jarang berujung pada kematian sekarang hampir seluruhnya terjadi pada mereka yang tidak atau belum mendapatkan vaksinasi. Benar, memang ada yang sudah divaksin mendapatkan sakit berat atau meninggal, tapi angka itu sudah sangat rendah sekali dan terjadi pada mereka yang memang memiliki faktor dan kondisi comorbid yang berat sebelumnya.
Baca artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Ternyata hoax ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi hampir seluruh dunia, tentang teori konspirasi “menggoreng” berita bahwa pemerintah meletakkan microchip di dalam vaksin dan mengatakan Bill Gates adalah dalangnya. Padahal orang cerdas manapun tahu bahwa microchip tidak cukup kecil untuk dilarutkan ke dalam cairan.
4. Vaksin C19 membuat anda menjadi magnetic
Masih sama seperti hoax di atas yang memang origin-nya di luar negeri, mengatakan seseorang menjadi magnetic setelah divaksin. Mulai dari di lokasi penyuntikan bisa ditempelkan uang logam, sampai hoax seseorang menjadi magnetic bila mendekati tower komunikasi telepon seluler. Terkadang ingin tertawa bila menanggapi hoax ini, karena bila saja mereka tahu apa saja kandungan di dalam vaksin, mungkin mereka akan malu sendiri memulai hoax yang sangat tidak masuk akal ini.
5. Vaksin C19 mencetus varian virus baru
Suatu klaim yang tidak berdasar ilmiah, karena justru virus SARS-CoV-2 penyebab C19 sendiri memang secara alamiah rajin bermutasi karena merupakan virus RNA berantai pendek. Beberapa variannya dimasukkan oleh WHO ke dalam daftar VOC (variant of concern) yang memang lebih berbahaya. Tapi karena terjadi berbarengan dengan mulai digalakkannya vaksinasi di seluruh dunia, membuat “penggoreng” berita dengan lihai mengarang pemberitaannya. WHO juga sudah menegaskan semua vaksin yang ada saat ini bisa mencegah varian delta agar tidak berakibat vatal pada penderitanya.
6. Vaksin C19 menyebabkan mandul
Sudah berpuluh-puluh tahun alasan kemandulan digunakan sebagai alasan penolakan vaksin, bukan hanya vaksin pada C19 saja. Terutama yang bertipe genetic vaccine yang dituduh merusak DNA manusia. Padahal vaksin tidak sama sekali bisa mendekati DNA sel kita, karena genetic vaccine tugasnya hanya mengajarkan sel kita membuat potongan protein yang men-trigger respon imun di dalam tubuh. Setelah tugasnya selesai, vaksin akan langsung terurai.
7. Vaksin C19 menyebabkan keguguran
Menyambung hoax di atas, ada juga yang “menggoreng” tuduhan bahwa vaksin C19 menyebabkan keguguran. Sudah banyak ibu hamil yang divaksin C19, dan justru menyelamatkan mereka dan bayinya dari infeksi mematikan ini. Saat ini vaksin C19 aman diberikan kepada wanita hamil masuk trimester kedua dan untuk ibu menyusui. Kalau ada ibu hamil keguguran karena sudah divaksin C19, bukan berarti vaksin penyebabnya karena keguguran bisa terjadi dari banyak sekali penyebab. Kebetulan saja dia baru divaksin.
8. Vaksin C19 menyebabkan autis
Sama seperti hoax di atas, issue autisme sudah sangat lama dikait-kaitkan dengan vaksin. Ini berawal di tahun 1998 saat seorang dokter di Inggris bernama Andrey Wakefield meneliti dan mengklaim hubungan antara autisme dan vaksin MMR. Laporan penelitian ini kemudian dicabut kembali dari jurnal Lancet karena belakangan terbukti tidak faktual. Dr. Wakefield sendiri dicabut izin penelitiannya oleh pemerintah Inggris. Tapi sudah 30 tahun kemudian, mitos ini masih menyebar dan sekarang melekat juga pada vaksin C19.
9. Vaksin C19 mencetus komplikasi jangka panjang
Dari semua jenis vaksin, bukan hanya vaksin C19 yang sudah ada di dunia saat ini, belum ada yang sampai menyebabkan komplikasi jangka panjang. Paling lama reaksi sebuah vaksin dapat bertahan adalah 2-3 bulan dari waktu penyuntikan. Dari vaksin C19 yang sudah disuntikkan sekarang belum pernah ada laporan tentang efek jangka panjang ini sama sekali. Laporan pembekuan darah dari vaksin C19 yang dibuat Johnson & Johnson dan peradangan jantung dari vaksin C19 yang dibuat Pfizer memang ada, tapi tidak sampai jangka panjang, dan yang terpenting dunia medis tau cara mencegah dan mengobatinya.
10. Banyak orang meninggal setelah disuntik Vaksin C19
Hoax ini jelas bertolak belakang dengan kenyataannya. Justru sekarang banyak orang yang telah divaksin sehat-sehat saja, dan bila harus terkena C19, penyakitnya ringan-ringan saja. Dan yang harus meninggal karena penyakit ini sebagian besar sekali adalah orang yang belum atau tidak divaksin. Kalau kita mem-vaksin jutaan orang di dunia, ada saja kejadiannya setelah divaksin mereka meninggal, tapi bukan karena vaksinasi, melainkan karena penyebab kematian alami lainnya. Sudah hampir 4.250.000 orang meninggal karena C19 di dunia pada akhir Juli 2021 ini, membuat penyakit ini jauh lebih mematikan dari pada skenario hoax yang satu ini.
11. Vaksin tidak melindungi dari terkena C19
Tidak ada satupun penelitian yang meng-klaim bahwa vaksin C19 dapat 100% melindungi dari terkena infeksinya, karena memang tidak bisa. Ada sekelompok kecil orang yang akan tetap terkena. Tapi mereka yang sudah divaksin bila harus sakit, maka sakitnya akan ringan, dan memperkecil secara signifikan untuk terjadi kematian. Itulah tujuan vaksinasi di masa pandemi. Belum untuk mencegah infeksi, karena itu adalah goal jangka panjang. Saat ini goal-nya adalah untuk menekan angka kematian dan kejadian sakit yang berat bila tetap terkena. Sementara bila memilih untuk tidak divaksin, tidak menurunkan kemungkinan untuk terkena, dan sudah jelas lebih beresiko untuk sakit berat bahkan mengalami kematian.
12. Bila sudah terkena C19 tidak perlu divaksin lagi
Suatu klaim misinformation yang disebar oleh gerakan anti vaksin bila semua usaha mereka gagal. Nyatanya, kekebalan yang didapatkan dari terinfeksi C19 tidak bertahan lama, sementara kekebalan dari vaksin lebih bertahan lama walaupun hampir semua kini membutuhkan booster (suntik penguat). Belum antibody yang terbentuk bila terkena, hanya dari varian virus yang membuatnya sakit. Dirinya tetap rentan untuk terkena varian virus yang lain. Sementara vaksin dirancang untuk menciptakan antibodi penetral yang lebih luas.
Penutup
Itulah 12 hoax dan informasi salah yang paling santer saat ini tentang vaksin C19 yang akan senantiasa bertambah dan berubah seiring dengan perkembangan pandemi. Klaim dari gerakan anti vaksin memang mudah diterima masyarakat karena mereka memanfaatkan rasa takut kita. Karena itu, jadilah netizen yang pintar dan pintar-pintar membaca dan mempercayai sebuah informasi di media.
©IKM 2021-07