Sering kita mendengar di group WA atau sosial media lainnya seorang mem-broadcast pesan anggota keluarga atau temannya ada yang membutuhkan plasma konvalesen untuk usaha terapi COVID-19 (C19). Lalu banyak orang yang mem-forward pesan tersebut dan tak jarang menjadi viral. Plasma konvalesen, setidaknya sampai akhir Januari 2021 ini seperti menjadi primadona bagi pengobatan untuk mereka yang sedang menderita C19. Namun usia dari penyakit ini baru sekitar 1 tahun, sehingga masih banyak yang dunia belum mengerti. Baik dari gejalanya, penanganan pasien, obat dan usaha terapi lainnya termasuk terapi plasma konvalesen bagi penderitanya. Artikel ini akan membahas tentang terapi plasma konvalesen untuk pasien C19, sesuai dengan informasi medis yang dunia pahami sampai pada akhir Januari 2021.
- Terapi plasma konvalesen untuk pasien C19 sudah mulai dilakukan sejak awal pandemi karena memang belum ditemukan terapi lainnya yang tersedia.
- Terapi ini masih terus diteliti dan belum ada kesimpulan kongkrit tentang efektivitas terapinya.
- Tapi karena dalam kondisi pandemi; FDA di AS, BPOM di Indonesia dan lembaga sejenis lainnya di setiap negara sudah memberikan EUA untuk penggunaannya.
- Plasma konvalesen C19 diberikan oleh pendonor yang sembuh dari C19. Tapi tidak semua bisa menjadi pendonor.
Plasma konvalesen (convalescent plasma) adalah produk berwarna kuning bening yang mengandung banyak antibody, didapatkan dari darah donasi orang yang telah sembuh dari penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus. Dapat diberikan kepada orang lain yang terinfeksi virus yang sama dengan tujuan mengurangi keparahan penyakit dan memperpendek durasi sakitnya. SARS-CoV-2 penyebab C19 adalah jenis virus baru pada coronavirus family. Karenanya pada awal pandemi, belum ada orang yang sudah memiliki antibody untuk melawannya. Tapi bagi mereka yang sudah terpapar dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan lab sudah memiliki antibodies di dalam darahnya, dapat menjadi donor untuk menolong orang yang sedang sakit.
Plasma konvalesen juga dapat digunakan untuk membuat hyperimmune globulin untuk digunakan mengobati orang yang terinfeksi oleh virus yang sama dengan cara membantu sistem imunitas orang tersebut melawan infeksi. Pemberian hyperimmune globulin dikenal dengan IVIg (intravenous immunoglobulin). Pada pedoman yang digunakan di Indonesia, plasma konvalesen diberikan untuk pasien COVID-19 derajat sedang sampai berat. Sedangkan, IVIg dapat dipertimbangkan pada pasien COVID-19 derajat berat dan kritis. Sampai dengan akhir Januari 2021 masih terus diteliti efektivitas pemberian terapi plasma konvalesen dan IVIg pada penyakit C19 ini.
Berapa Sering Boleh Mendonorkan Plasma?
Ini adalah pertanyaan yang paling sering ditanya bagi yang ingin mendonorkan plasmanya. Apa lagi di negara maju memang tidak sedikit orang yang rutin mendonorkan plasma demi mendapatkan bayaran. Rujukan untuk menjawab pertanyaan ini cukup beragam. Dari setiap 28 hari sekali, sampai bisa beberapa kali seminggu. Di AS ditetapkan syarat setiap 28 hari sekali atau 13 kali setahun. Sementara PMI di Indonesia menerapkan 2 minggu sekali bila menggunakan mesin plasmapheresis, dan 10 minggu sekali bila dengan cara konvensional. Terlalu sering mendonorkan plasma sebenarnya akan menurunkan kualitas dari plasma itu sendiri dan beresiko bagi pendonor karena tubuhnya juga membutuhkan, sementara kemampuan tubuh untuk memproduksi komponen plasma juga ada batasnya.
Keamanan Mendonorkan Plasma
Donor plasma pada dasarnya sama saja seperti donor darah. Bahkan pada fasilitas yang memiliki mesin plasmapheresis, akan lebih aman lagi karena sel-sel darah dikembalikan lagi ke dalam tubuh. Jadi yang diambil benar-benar plasmanya saja. Itulah sebabnya di AS diizinkan untuk dilakukan setiap 28 hari sekali, atau satu siklus dari reproduksi sel darah dalam tubuh. Pada fasilitas yang belum tersedia mesin plasmapheresis ini, masih menggunakan cara konvensional yaitu memisahkan plasma dan sel darah pasca pengambilan darah. Jadi syaratnya sama dengan donor darah yaitu paling cepat 10 minggu sekali. Dengan cara konvensional, darah donor akan diproses dengan diputar pada alat centrifuge untuk memisahkan sel-sel darah dengan plasma, lalu plasma diambil dan sel-sel darah dibuang.
Fungsi Plasma Donor
Darah manusia terdiri dari 2 komponen, yaitu sel-sel darah dan plasma. Sel-sel darah terdiri dari sel darah merah, sel darah putih, dan sel platelet (untuk pembekuan darah). Sementara plasma terdiri dari air, protein, glukosa, lemak, dan nutrisi. Di dalam tubuh plasma berfungsi untuk meregulasi tekanan darah dan volume darah, mempertahankan pH darah, serta sebagai alat transportasi sel-sel darah, elektrolit dan nutrisi yang dibutuhkan untuk metabolisme sel. Sedangkan sebagai plasma yang akan didonorkan, dapat menolong orang atau pasien, cedera, shock, luka bakar, penyakit liver berat, serta untuk terapi penyakit infeksi bila plasma merupakan plasma konvalesen dari donor penyintas penyakit infeksi yang sama.
Tipe Plasma yang Paling Dibutuhkan
Dari semua jenis donor plasma, tentulah yang paling dibutuhkan adalah donor plasma konvalesen. Yaitu plasma yang mengan-dung antibody spesifik terhadap suatu penyakit infeksi untuk diberikan kepada orang sakit yang terinfeksi oleh virus yang sama. Untuk jenis donor ini hampir seluruhnya berlandaskan oleh azas suka rela dan keinginan tulus membantu sesama. Berbeda dengan donor plasma regular untuk tujuan industri obat yang memang dijadikan cara memperoleh uang bagi yang rutin melakukannya. Harga IVIg pun tidak murah. Untuk terapi C19 saat ini satu paket bisa mencapai harga 300-400 juta rupiah. Dari semua golongan darah donor, yang paling diharapkan adalah yang bergolongan darah AB dengan rhesus negatif, karena dapat didonorkan kepada semua jenis pasien dengan golongan darah apapun. Sehingga dikatakan sebagai pendonor universal. Semua plasma yang didapatkan akan dilakukan identifikasi golongan darah dan rhesus, serta pemeriksaan standar terhadap penyakit-penyakit infeksi seperti HIV, Hepatitis B, dll. sebelum plasma siap didonorkan.
Baca artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Untuk C19, terapi plasma konvalesen dimulai sejak dikumpul-kannya plasma dari penyintas C19 di AS pada akhir Maret 2020, dengan tujuan awal untuk penelitian. Pada akhir Mei 2020 dilaporkan 19 dari 25 orang yang diberikan terapi di Houston Methodist Hospital di Texas menunjukkan kemajuan. Saat di laporkan 11 di antaranya malah sudah sembuh dan keluar dari RS. Pada 23 Agustus 2020, FDA memberikan EUA (emergency use authorization) penggunaannya di AS. Walaupun masih banyak ilmuan ingin agar penelitian dilanjutkan dulu sebelum diberikan EUA. Namun karena dalam kondisi pandemi terapi ini tetap dijalankan, dan diikuti oleh negara-negara lain di dunia.
Mendonorkan Plasma Konvalesen C19
WHO kini menganjurkan bagi mereka yang telah sembuh dari C19 untuk bergabung menjadi pendonor plasma konvalesen. Tapi tidak semua dapat menjadi pendonor karena ada syarat dan ketentuan agar plasma konvalesen yang didonorkan bisa dipakai serta tidak membahayakan pendonornya. Ada syarat-syarat umum untuk menjadi pendonor, sbb.:
- Terbukti pernah positif menderita C19, baik bergejala mau pun tidak dengan pemeriksaan swab sebelumnya.
- Sudah lebih 28 hari sejak bebas gejala (bagi yang bergejala).
- Sudah terbukti negatif dengan pemeriksaan swab terakhir.
- Tidak memiliki penyakit atau gangguan kesehatan lainnya.
- Bila menggunakan mesin plasmapheresis paling cepat setiap 2 minggu sekali, bila cara konvensional 10 minggu sekali.
- Hanya bisa melakukannya 2-3 kali saja, karena dirinya juga membutuhkan antibody tersebut untuk melindungi diri bila terjadi paparan virus kembali.
Batasan Pendonor Plasma
Selain syarat umum di atas, syarat nomor 4-nya diturunkan kembali menjadi syarat khusus yang membuat seorang penyintas C19 tidak dapat mendonorkan plasmanya, sbb.:
- Penyakit. Bila dalam kondisi sakit seperti demam, batuk, pilek, sakit tenggorokan & secara umum tidak enak badan.
- Kondisi medis. Ada 23 kondisi yang menjadi kontraindikasi. Di antaranya penyakit kronis seperti hepatitis dan HIV, TBC, gagal ginjal, dll. yang dapat ditanyakan kepada dokter Anda.
- Anemia. Karena mendonorkan plasma juga akan mengu-rangi sel-sel darah yang akan membuat kondisi anemia akan bertambah buruk (bila tanpa mesin plasmapheresis).
- Menggunakan obat-obatan. Seperti sedang dalam terapi antibiotik, obat-obatan pengencer darah, dll.
- Riwayat bepergian. Baru kembali dari daerah yang bukan domisilinya, karena dikhawatirkan membawa penyakit lain.
Efek Samping Mendonorkan Plasma
Setiap tindakan medis tentu ada saja efek sampingnya. Tapi untuk donor plasma efek sampingnya sangat minimal sekali, yaitu pada daerah tusukan jarum seperti nyeri, membiru, bengkak, sampai infeksi. Tapi hal ini dapat dicegah dengan melakukannya secara tepat. Lalu ada efek samping yang timbul setelahnya seperti dehidrasi, pusing, lemas sampai pingsan; yang biasa disebabkan oleh berkurangnya volume darah dan berkurangnya elektrolit. Hal ini juga dapat diatasi dengan memperbanyak minum setelah melakukan donor, terutama minuman berelektrolit tinggi. Kemudian pada fasilitas dengan mesin plasmapheresis bisa terjadi alergi terhadap citrate karena mesin tersebut menggunakan anti pembekuan darah berdasar larutan citrate. Itu pun hanya terjadi bagi yang alergi saja, sehingga mereka lebih dianjurkan menggunakan metoda konvensional seperti yang diuraikan di atas, atau mengganti dasar larutan anti koagulan yang dipakai. Alergi yang timbul karena citrate disebut sebagai “citrate reaction” yang akan memunculkan gejala: kebas dan kesemutan terutama pada daerah bibir, jari tangan dan jari kaki. Lalu merasa seperti gemetar di seluruh tubuh, ada rasa besi pada perasa lidah, nafas pendek, denyut jantung menjadi cepat/melambat, merasa kedinginan, menggigil, pusing sampai pingsan.
Efek Samping Menerima Terapi Plasma Konvalesen
Bagi si resipien atau penerima donor, juga tidak lepas dari kemungkinan terjadinya efek samping. Seperti juga terapi plasma konvalesen untuk penyakit lainnya, terapi ini bisa menyebabkan TACO (transfusion-associated circulatory over-load) atau “kelebihan sirkulasi terkait transfusi”, dan TRALI (transfusion-related lung injury) atau “cedera paru terkait transfusi”. Kemudian adanya resiko tertular virus lain yang bisa terdapat pada plasma donor seperti HIV, Hepatitis B, hepatitis C, dll. Tapi itu semua dapat dihindari dengan persiapan yang baik dan dilakukan oleh dokter yang berpengalaman memberikan terapi plasma konvalesen.
Perkembangan Terapi Plasma Konvalesen C19
Sejalan dengan perjalanan pandemi dan terapinya, semakin banyak penelitian dilakukan. Sampai dengan bulan Januari 2021 ini, para ilmuan dan peneliti masih terbagi antara yang menemukan manfaat dengan yang tidak, dari terapi plasma konvalesen (PK) untuk pasien C19 ini. Setidaknya ada 10 penelitian yang sudah melaporkannya. Tiga di antaranya mengatakan PK bermanfaat, satu hanya mengatakan aman saja, sementara 6 lainnya walaupun aman mengatakan tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan yang tidak diberikan terapi PK:
- Joyner dkk. di AS pada 3082 pasien: PK dapat menurunkan angka kematian bila diberikan titer tinggi, tidak terpasang ventilator, dan diberikan pada 3 hari pertama diagnosis.
- Libster dkk. di Argentina pada 160 pasien: PK titer tinggi < 72 jam onset gejala dapat mencegah perburukan.
- Liu dkk. di AS pada 195 pasien: PK dapat meningkatkan survival bila diberikan pada pasien non-intubasi dan < 8 hari.
- Joyner dkk. di AS pada 5000 pasien: PK memiliki profil keamanan yang baik, tapi efikasi terapi plasma tidak dinilai.
- Agarwal dkk. di India pada 464 pasien: Tidak ada perbedaan perburukan klinis, kematian dan inflamasi.
- Simonovich dkk. di Argentina pada 333 pasien: Tidak ada perbedaan outcome dan perbaikan klinis, kematian, durasi rawat inap.
- Avendo-Sola dkk. di Spanyol pada 81 pasien: Tidak ada perbedaan perburukan klinis dan kematian.
- Salazar dkk. di AS pada 387 pasien: Tidak ada perbedaan penurunan mortalitas.
- Gharbharan dkk. di Belanda pada 86 pasien: Tidak ada perbedaan mortalitas, lama rawat inap dan perbaikan klinis.
- Li dkk. di China pada 103 pasien: Tidak ada perbedaan perbaikan klinis dan mortalitas.
Penutup
Bila berada dalam kondisi pandemi seperti yang dunia sedang hadapi sekarang, di mana penambahan jumlah kasus baru dan angka kematian masih tinggi; maka setiap usaha yang sekiranya berpotensi memberikan harapan akan dilakukan. Selama usaha tersebut terbukti aman dan dilakukan sesuai dengan batasan-batasan yang telah dimengerti, seperti contohnya terapi plasma konvalesen untuk C19 yang kita bahas dalam artikel ini. Walaupun justru sebagian besar penelitian tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara pasien C19 yang diberikan terapi plasma konvalesen dengan yang tidak, atau antara pasien C19 yang diberikan terapi IVIg dengan yang tidak; kedua terapi ini masih tetap dilakukan. EUA dari FDA, BPOM dan lembaga serupa di seluruh dunia juga masih berlaku. Dengan harapan pasien yang sedang diberikan terapi merupakan mereka yang akan mendapatkan manfaatnya.
©IKM 2021-01