Para ahli pada akhir Maret 2021 ini sudah mulai dapat mengidentifikasi dan mengerti tentang adanya masalah kesehatan yang mungkin terjadi dan dikeluhkan setelah seseorang sembuh dari penyakit COVID-19 (C19). Kondisi ini memiliki sebutan, post C19 health problems atau post C19 syndrome yang merupakan kondisi post-viral syndrome atau sindroma setelah infeksi virus. Memang setelah seseorang terkena suatu infeksi virus, sering terjadi post-viral syndrome yang ternyata terjadi juga pada penyintas C19. Sampai akhir Maret 2021 ini, patogenesis (perjalanan penyakit) pasti dari post C19 syndrome masih diteliti dan belum disimpulkan secara bulat. Tapi setidaknya kita harus waspada terhadap kondisi yang bisa mengganggu aktivitas dan hidup para penyintas C19 ini.
- Tanpa post C19 syndrome saja, banyak penyintas C19 yang harus menghabiskan waktu berminggu-minggu dalam proses recovery-nya yang disebut sebagai long-haulers.
- Resiko seorang untuk terkena post C19 syndrome berbeda-beda, tergantung dari beberapa faktor.
- Yang paling sering dan paling banyak adalah masalah di paru-paru karena infeksi awal C19 memang terjadi di sana.
- Diterbitkan di jurnal The Lancet, 40% penderita C19 akan berkembang menjadi ARDS, di mana seperlimanya merupakan kasus yang berat.
- Sementara 20% penderita C19 yang dirawat di RS, sembuh dengan kerusakan jaringan jantung dan pembuluh darah.
Dari yang sudah dapat diidentifikasi post C19 syndrome dapat dikelompokkan terutama menjadi 3 besar yaitu:
- Kerusakan paru-paru
- Kerusakan cardiovascular
- Masalah persyarafan termasuk stroke
Kerusakan Paru-Paru
Dari semua post C19 syndrome, kerusakan paru adalah yang paling sering terjadi, terutama bila penderita C19 sampai mengalami ARDS (acute respiratory distress syndrome) yang sering terdapat pada kasus C19 yang berat. Mereka beresiko untuk mengalami kerusakan paru-paru yang permanen. Tapi bagi yang tidak mengalami ARDS yaitu infeksi C19 yang ringan pun dapat menyebabkan keluhan nafas pendek, dan bisa mencetus asma, bronkhitis dan pneumonia. Kerusakan paru-paru ini lebih besar kemungkinannya untuk terjadi pada mereka yang memiliki faktor resiko yaitu yang berusia 65 tahun ke atas, sudah punya penyakit paru-paru sebelumnya, penyakit sistem imun, kencing manis, serta obesitas. Bila kondisi kerusakan paru tidak dapat terkoreksi, penderitanya perlahan akan juga mengalami kerusakan ginjal, jantung dan otak.
Post COVID-19 Fibrosis
Kondisi yang juga bisa terjadi pada paru-paru penyintas C19 adalah post C19 fibrosis yang dapat terjadi pada semua usia. Pendapat sebelumnya yang mengatakan bahwa orang muda lebih rendah resikonya terkena komplikasi C19, sudah mulai terpatahkan dengan temuan-temuan baru. Bahkan bisa terjadi pada seorang berusia 20 tahun di Chicago, AS, yang sampai harus mendapatkan transplantasi paru untuk bertahan hidup akibat post C19 fibrosis ini. Fibrosis pada paru adalah kerusakan sampai terjadi kematian jaringan paru sehingga tidak berfungsi sebagai alat pernafasan lagi. Bisa terjadi karena suplai oksigen ke jaringan paru terganggu oleh bekuan-bekuan darah atau sel-sel radang yang menyumbat kapiler, sehingga terjadi kematian jaringan. Kondisi ini merupakan kondisi yang irreversible membuat penderitanya akan selalu mengalami nafas pendek, batuk, dan sering lemas karena tubuh kekurangan oksigen. Semakin parah kondisi C19 penderita, semakin besar kemungkinan ia akan menderita post C19 fibrosis ini.
COVID-19 dan Pneumonia
Penyakit pneumonia ditandai dengan alveoli terisi oleh cairan yang biasanya berupa nanah. Penyakit ini sering menjadi komplikasi dari C19 karena virus penyebabnya (SARS-CoV-2) merusak jaringan alveoli dan sekitarnya. Karena alveoli rusak, maka pertukaran udara di paru-paru pun terganggu, membuat penderitanya mengalami gangguan pernafasan, sampai terjadi ARDS yang membutuhkan perawatan di ICU dengan pemasangan ventilator. Pneumonia karena C19 mirip dengan pneumonia karena infeksi virus lainnya. Gejala khas dari C19 adalah bisa terkena pada seluruh bagian paru-paru dengan gambaran CT-Scan seperti gambaran gilingan halus kaca. Pneumonia karena C19 ini bisa bertahan, bahkan ketika virus sudah tidak terdapat di dalam tubuh penderita yang terjadi pada 66-70% kasus. Mereka yang memiliki bronkhitis, asma, kencing manis, obesitas, lemah sistem imun, dan merokok lebih beresiko terjadi pneumonia bila terkena C19.
Post COVID-19 Coughs
Yang juga sering terjadi, termasuk mereka yang hanya mengalami gejala ringan saat terinfeksi C19 adalah batuk yang tidak kunjung hilang, sehingga disebut sebagai post C19 coughs dengan bentuk batuk kering atau batuk berdahak. Seperti juga sering terjadi pada kasus infeksi pernafasan kerana virus lainnya (post-viral cough), batuk bisa bertahan lebih dari 3 minggu. Karena batuk yang berkepanjangan, penderita juga biasa me-ngeluhakan sakit tenggorokan dan suara serak yang tak kunjung hilang. Penyebab post C19 cough dicurigai terkait dengan respon peradangan yang masih terus terjadi pada saluran nafas walaupun virusnya sudah tidak ada di tubuh penderita, ditandai dengan batuk berdahak. Atau dapat juga karena peningkatan sensitifitas pada saluran nafas, yang ditandai dengan batuk kering. Post C19 cough bisa sangat mengganggu karena sekali terpancing batuk, penderita bisa batuk tanpa henti untuk waktu yang lama bahkan mengganggu tidur malam penderitanya.
Baca artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Setelah paru-paru kelompok organ yang juga beresiko pada seorang penyintas C19 adalah cardiovascular atau jantung dan pembuluh darah. Berbeda dengan kerusakan paru, kerusakan pada cardiovascular bisa lama baru muncul gejala, yaitu ketika beraktivitas atau berolahraga berat. Karenanya disarankan oleh para ahli untuk para penyintas C19 terutama yang parah, agar memeriksakan jantung dan pembuluh darahnya. Yang harus diperiksa adalah EKG, echocardiogram (USG jantung), test darah troponin, dan MRI jantung. Terutama bila ingin kembali beraktivitas fisik berat atau berolahraga rutin. Hal ini disebabkan temuan baru bahwa C19 dapat menyebabkan gangguan peredaran darah dan pembekuan darah yang bisa mencetus serangan jantung dan kematian mendadak.
20% dari penderita C19 yang parah dapat mengalami thromboembolic atau bekuan darah dan aritmia atau kelainan irama denyut jantung. Faktor yang meningkatkan resikonya adalah sebelumnya sudah memiliki penyakit jantung, kencing manis, dan obesitas. Kondisi ini bisa bertahan bahkan setelah virusnya hilang dari tubuh penderita. Karenanya para ahli menjadi khawatir adanya implikasi jangka panjang dari infeksi C19 pada struktur jantung dan pembuluh darah, dan keamanan penyintas C19 untuk kembali berolahraga dan beraktivitas. Sangat disarankan selain memeriksakan diri, mereka memulai aktivitas dan olahraga secara bertahap dan tidak terburu-buru. Nafas pendek dan nyeri dada ketika beraktivitas fisik atau berolahraga adalah tanda yang harus diwaspadai. Bila terjadi harus segera menghentikan aktivitas fisik dan olahraga yang dilakukan dan segera memeriksakan diri ke dokter.
Sumbatan kapiler darah (pembuluh darah yang halus) juga semakin sering ditemukan pada penderita C19 yang bisa bertahan bahkan setelah virusnya hilang dari tubuh penderita. Sumbatan kapiler ini diperkirakan disebabkan oleh adanya bekuan darah atau blood clot dan sel-sel radang yang menumpuk di kapiler tersebut. Manifestasi dari masalah ini adalah COVID-19 feet atau kaki C19 di mana terjadi sumbatan pada kapiler di kaki, membuat jaringan mulai rusak akibat tidak mendapatkan suplai oksigen yang cukup. Kemudian bisa juga terjadi di otak yang mencetus stroke infark pada penderitanya. Inilah yang menjelaskan, banyak penderita C19 yang meninggal karena stroke, atau penyintas C19 sembuh dalam kondisi lumpuh akibat serangan stroke tersebut.
Masalah Persyarafan
Kelompok organ ketiga yang paling sering berpengaruh akibat infeksi C19 adalah persyarafan, terutama pada otak dan system syaraf pusat. Seperti yang dilaporkan dalam jurnal JAMA Neurology, bahwa 36.4% penyintas C19 menyisakan masalah neurologis. Satu teori menyebutkan bahwa C19 dapat mempengaruhi batang otak yang mengatur cardiorespiratory system (sistim peredaran darah dan pernafasan). Jadi kesulitan bernafas pada pasien C19 bukan hanya terjadi karena masalah di paru-paru tapi juga pada syaraf pusat yang mengatur pernafasan. Tapi data untuk mendukung teori sini sampai akhir Maret 2021 masih sangat terbatas.
Kasus persyarafan lainnya yang ditemukan ada penyintas C10 adalah penyakit seperti myalgic encephalomyelitis atau yang lebih umum dikenal sebagai chronic fatigue syndrome (CFS), yaitu sindroma di mana penderita merasakan rasa lelah yang kronis, menetap dan berulang. Kondisi yang juga sering ditemukan paska infeksi virus lainnya, dan terutama diderita 2 kali lebih banyak pada wanita. CFS menunjukkan gejala pada syaraf, sistem imun dan juga sistem metabolisme di tubuh. Faktor resiko untuk terkena CFS paska C19 ini lebih besar pada mereka yang memiliki kencing manis dan hipertensi karena lebih besar kemungkinan terjadinya cytokine storm yang menembus sawar (batas) darah dan otak (blood-brain barrier). Bila sampai menyerang hypothalamus, maka penderita akan mengalami autonomic dysfunction dengan gejala gangguan hormonal, regulasi suhu tubuh, siklus tidur, kognitif, kehilangan selera makan, dan rasa letih yang sangat.
Penanganan Post COVID-19 Syndrome
87% dari penyintas C19 setidaknya masih menyisakan 1 gejala sisa yang harus dihadapinya. Karenanya, penanganan post C19 syndrome difokuskan pada supportive care yaitu memberikan kenyamanan pada penderita, melatih penderita agar bisa mengurus diri sendiri, mengatasi gejala atau keluhan yang timbul, mengatasi adanya infeksi sekunder terutama pada penyintas C19 yang menderita pneumonia, dan mengatasi bekuan darah pada penyintas C19 yang mengalaminya. Tidak ada penanganan yang spesifik. Bagi sebagian pasien terkadang membutuhkan terapi oksigen secara terus menerus untuk menjaga saturasi oksigen di otak dan jaringan tetap tinggi. Program rehabilitasi perlu segera dimulai karena semakin cepat bisa dimulai, maka prognosis pun semakin baik terutama untuk mereka yang mengalami kerusakan jantung dan paru-paru.
Bagi penderita post COVID-19 syndrome sendiri, berikut hal-hal yang bisa dan harus dilakukan:
- Tetap aktif dan berolahraga terutama bagi yang mengalami pembekuan darah, walaupun harus bertahap dan terbatas.
- Bagi yang obesitas, harus menurunkan berat badannya.
- Penderita juga harus mencukupkan tidurnya makan makanan bergizi, mencukupkan minum.
- Berhenti merokok serta menjauhi asap rokok orang lain.
Prognosis Post COVID-19 Syndrome
Sampai akhir Maret 2021 ini, dunia medis masih belum tahu apa yang akan terjadi pada para penderita post C19 syndrome ini untuk 3, 5, apa lagi 10 tahun ke depan. Para penderita yang banyak yang diikutkan dalam program penelitian agar hasilnya dapat menceritakan kepada dunia medis terutama bagaimana cara mencegah dan mengobatinya di masa depan. Seperti yang disinggung di atas, rehabilitasi menjadi bagian integral yang tak terpisahkan dari prognosis, terutama para penyintas C19 yang ketika sakitnya termasuk penderita C19 yang parah, sempat dirawat di ICU, dipasangkan ventilator, dan mereka yang memiliki faktor-faktor resiko yang sudah diuraikan di atas.
Penutup
C19 berbeda dengan flu biasa, bahkan berbeda dengan infeksi virus pada pernafasan lainnya, maka penanganannya pun juga harus berbeda. Walaupun post C19 syndrome lebih mungkin terjadi bagi penderita yang ketika sakitnya mengalami gejala C19 yang parah, tapi tidak boleh diabaikan para penderita dengan gejala lebih ringan. Terutama mereka yang memiliki faktor resiko, apa lagi faktor resikonya lebih dari satu. Karena post C19 syndrome bisa saja terjadi dengan gejala yang tidak terlihat sampai sudah terlambat, terutama pada post C19 syndrome dengan kerusakan pada system Cardiovascular.
©IKM 2021-03