Semakin banyak kini sampai awal Maret 2021, orang terinfeksi COVID-19 (C19) yang memakan waktu cukup lama baginya baru mendapatkan kesembuhan. Infeksi SARS-CoV-2 yang bisa bertahan lama ini dikatakan sebagai long-haul COVID-19 atau Post-COVID Syndrome (Sindroma Paska COVID). Para ahli dan peneliti masih terus berusaha untuk mencari penyebab dan pembeda antara orang yang sakitnya hanya sebentar dengan orang yang menderita long-haul tersebut. Banyak di antara mereka yang masih mengeluhkan gejala sisa penyakit sampai lama setelah swab test C19-nya sudah negatif, setelah virusnya hilang. Bagi mereka hasil yang sudah negatif, bukan menjadi akhir dari perjuangannya melawan penyakit mematikan ini.
- Istilah long-haul COVID-19 mulai dikenalkan pada awal Desember 2020 yang lalu yang dikhawatirkan akan menjadi krisis kesehatan masyarakat dalam pandemi ini.
- Adalah gejala yang bertahan bahkan setelah hasil swab test menunjukkan hasil negatif.
- Terjadi pada 25-30% penyintas C19, dan bisa terjadi pada seluruh kasus ringan maupun berat.
- Lebih dari 60% penderita long-haul C19 membutuhkan waktu rata-rata 75 hari untuk merasa normal kembali, di mana 4%-nya menderita kerusakan paru-paru.
- Jumlah penderitanya diperkirakan mencapai angka ratusan ribu di dunia pada awal Maret 2021 ini.
Kasus long-haul C19 sering luput dari perhatian karena saat ini dokter dan pusat pelayanan kesehatan pasien C19 masih berkonsentrasi kepada penanganan dan usaha penyelamatan nyawa pasien yang masih dalam perawatan. Long-haulers (sebutan untuk orang sakit pasca C19 yang berkepanjangan), bukan dalam kondisi yang mengancam nyawanya, sehingga kurang terperhatikan. Banyak pasien C19 dengan hasil swab sudah negatif dan dikatakan sembuh, “dikeluarkan” dari label pasien yang masih membutuhkan pertolongan, padahal mereka masih memiliki keluhan. Jangankan untuk kembali beraktivitas, malah banyak yang masih harus terbaring di tempat tidur. Hal ini masih terus terjadi juga karena dunia medis saat ini masih belum terlalu sadar adanya persistent symptoms atau gejala sisa pasca terkena C19. Para ahli mulai memikirkan membuat suatu pedoman rehabilitasi untuk menangani para long-haulers ini.
Siapa yang Terkena Long-Haul COVID-19?
Awalnya diduga mereka yang terkena long-haul C19 adalah yang sebelumnya menderita C19 dengan kategori berat atau parah. Tapi kenyataannya di lapangan berbeda. Justru sebagian besar dari para long-haulers ini adalah mereka yang sebelumnya hanya menderita infeksi ringan, dan banyak yang tidak harus sampai di rawat di RS. Bahkan gambaran umum dari paru-paru para long-haulers dalam kondisi normal-normal saja. Tapi angka kejadiannya ternyata cukup tinggi. Di China lebih dari 76% penyintas C19, memiliki gejala sisa yang bertahan sampai lebih dari 6 bulan. Hampir seluruhnya dari mereka memiliki gejala mudah capek dan nafas pendek. Baru keluhan-keluhan lain seperti yang diuraikan di bawah. Hanya sedikit dari para long-haulers yang memiliki gejala berat dan sampai terjadi komplikasi. Mereka adalah yang memang memiliki gambaran kerusakan paru-paru pada Rontgen atau CT-scan dadanya.
Faktor yang membuat seorang mudah menderita long-haul C19 diduga (dan masih harus dibuktikan) adalah faktor genetik, inflamasi dan adanya respon imun yang tidak normal. Long-haul C19 tidak berbanding lurus dengan usia tua, atau banyaknya faktor comorbid yang dimiliki penderita. Karena bisa terjadi pada semua usia dan kejadian comorbid apa pun. Yang sudah dapat digunakan sebagai indikasi bahwa seorang penyintas C19 akan menjadi long-haulers adalah mereka yang saat sakitnya memiliki 5 gejala atau lebih. Semakin banyak gejala yang dialami seperti demam, batuk, pilek, sakit tenggorokan, sakit badan, anosmia-ageusia, sakit di dada, dll., maka akan semakin besar kemungkinan ia akan mengalami long-haul C19.
Gejala Long-Haul COVID-19
Dari segi waktu, definisinya jelas yaitu kasus penderita C19 yang masih mengeluhkan gejala bahkan setelah virusnya sudah tidak ada. Dari mulai hitungan minggu sampai bulanan sejak gejala pertama mereka muncul di awal sakitnya. Gejala long-haul C19 tersebut yang biasa diderita adalah lemah (fatigue), nafas pendek terutama saat beraktifitas fisik berat atau berolahraga, lalu lemah otot, batuk, nyeri di dada, sakit-sakit sendi dan otot, sakit kepala, jantung berdebar, demam hilang timbul, sulit berkonsentrasi (brain fog), gangguan tidur, sampai terjadi depresi. Lalu ada gejala lain yang menjadi komplikasi dari long-haul C19, walaupun tidak banyak, tapi harus diwaspadai, sbb.:
- Anosmia dan Ageusia yang tidak kunjung hilang
- Abnormalitas paru-paru
- Perubahan mood dan rasa cemas berlebih
- Memory problems (sering lupa)
- Rash (bercak merah) di kulit dan rambut rontok
- Inflamasi (peradangan) otot jantung
- Gagal ginjal akut.
NeuroCOVID
Semua gejala yang terkait dengan syaraf dan otak kini disebut sebagai neuroCOVID. Termasuk di dalamnya masalah terhadap daya ingat (memory problem) dan gangguan konsentrasi. Lalu sakit kepala, sensasi yang abnormal pada kulit, anosmia dan ageusia yang berkepanjangan, serta kecemasan dan depresi. Neuro-COVID dapat menyebabkan kondisi yang merusak keseharian dan hidup penderitanya. Penderita bisa sampai mengalami cognitive fatigue atau kelelahan kognitif, sehingga merusak percaya dirinya di dunia kerja atau di bangku sekolah. Karena mereka mengalami gangguan konsentrasi dalam melakukan tugas-tugasnya, kehilangan kemampuan untuk multitasking, dan kesulitan untuk belajar sesuatu yang baru.
Baca artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Seiring dengan ratusan bahkan ribuan penelitian tentang C19, para ahli kini merasa mulai mengerti penyebab dari long-haul C19 ini. Terutama dari penelitian yang meneliti kerusakan paru-paru akibat C19, baik dari pasien yang sembuh, maupun dari tubuh pasien yang sudah meninggal. Hal ini dinyatakan dalam jurnal The Lancet’s eBioMedicine akhir Oktober 2020. Virus SARS-CoV-2 penyebab C19 menyebabkan peradangan pada jaringan paru-paru yang mencetus akumulasi cairan di dalam alveoli sehingga bahkan setelah virusnya mati. Suatu kondisi yang akan berimbas pada kerja paru-paru dan mempengaruhi kondisi umum pasien secara keseluruhan. Dari 41 tubuh pasien yang meninggal karena C19 antara Februari-April 2020, ditemukan kerusakan cukup luas pada paru-paru mereka.
36 di antaranya bahkan ada pembekuan darah yang tidak normal di dalam arteri dan vena di paru-parunya yang berbeda dari kasus pneumonia pada umumnya. Bekuan darah tidak normal ini masih ditemukan pada kasus kematian 30-40 hari dari awal infeksi. Kondisi ini diduga bisa terjadi juga pada organ lain di luar paru-paru pada pasien C19. Hal ini didukung oleh temuan adanya spike protein dari SARS-CoV-2 pada organ lain selain paru-paru. Walaupun masih diperdebatkan, tapi diduga temuan spike protein SARS-CoV-2 yang menyebabkan kerusakan pada organ-organ tubuh penderita ini, menghambat perbaikan dan reproduksi sel sehingga menyebabkan gejala sisa yang berkepanjangan sampai mencetus kondisi long-haul C19.
Sebagian ahli juga berteori dan menyimpulkan bahwa long-haul C19 bisa disebabkan oleh durasi yang lama dari awal terinfeksi sampai dengan hasil pemeriksaan swab menjadi negatif. Atau karena respon sistem imun yang berlebihan (overactive immune response), terapi kortikosteroid, bahkan isolasi sosial dan stigma yang beredar di masyarakat terkait penyakit C19 ini. Yang jelas semua penderita C19 untuk waktu yang beragam mengalami inflamasi (peradangan) dan infeksi akut di dalam tubuhnya. Inflamasi tersebut bisa tidak kunjung hilang, bahkan setelah infeksinya sudah sembuh.
Yang Harus Dilakukan Penderita
C19 memiliki kapasitas untuk menginfeksi dan berefek pada banyak jaringan dan organ di tubuh penderitanya. Belum lagi stres yang muncul akibat pandemi yang berkepanjangan berefek pada banyak hal dalam kehidupan. Hal terbaik yang harus dilakukan penderita long-haul C19 adalah mendengarkan apa yang ingin disampaikan oleh tubuh lalu meresponnya:
- Bila dirasakan sangat letih, maka harus perbanyak istirahat, walaupun banyak yang mengeluhkan insomnia. Sehingga harus diimbangi dengan mengurangi aktivitas di siang hari.
- Saat tubuh mulai dirasa lebih enak, jangan berdiam diri dan lakukan olahraga ringan.
- Bila menderita neuroCOVID seperti yang dijelaskan di atas, cari pertolongan untuk melakukan sesi rehabilitasi.
- Segera cari pertolongan dokter bila gejala yang dirasakan justru bertambah berat seperti sulit bernafas, sakit di dada, sulit menelan, turun berat badan dengan drastis, dll.
Penanganan Long-Haul COVID-19
Penanganan long-haul C19 kini benar-benar menjadi tantangan bagi medis, karena kita masih belajar mengenai kondisi baru ini. Nama klinis untuk kondisinya pun masih belum ditetapkan, sehingga belum ada kode diagnosis yang bisa dimasukkan dalam klaim BPJS dan asuransi lainnya. Sampai dengan dimengerti lebih baik, sambil memberikan terapi untuk keluhan yang ada, berikut yang bisa dilakukan oleh dokter:
- Hal pertama yang dilakukan dokter adalah memastikan bahwa infeksi sisa sudah tidak ada.
- Bila gejala long-haul C19 bisa dideteksi sejak dini, dokter akan memberikan kortikosteroid dengan tujuan untuk mempercepat kesembuhannya. Yaitu kepada mereka yang pada masa sakitnya memiliki 5 gejala atau lebih.
- Dokter juga biasa memberikan suplemen untuk paru-paru tempat virus tersebut berada, seperti glutathione, N-acetyl cysteine (NAC), kurkuma, dan omega-3.
- Pemeriksaan menggunakan pulse oximeter terus dilakukan sampai penderita benar sembuh, untuk membedakan nafas pendek bukan karena rendahnya saturasi oksigen, melainkan karena post-viral CFS (chronic fatigue syndrome).
- Pasien akan diberikan fisioterapi untuk mengatasi gejala neuroCOVID dan CFS yang dideritanya.
Membuat Penderita Frustrasi
Penyakit C19 sendiri baru berusia 1 tahun lebih, pada awal Maret 2021 ini. Jangankan untuk mengerti banyak tentang long-haul C19, untuk mengobatinya saja dunia medis masih harus belajar banyak. Jadi akan terdapat variasi perbedaan yang sangat besar dalam hal penanganan long haulers di dunia, termasuk di Indonesia. Standar terapi juga belum ditetapkan. Karenanya bila pasien berpindah dokter atau pusat pelayanan C19, maka besar kemungkinan ia akan mendapatkan penjelasan dan penanganan yang berbeda (bahkan jauh berbeda) dengan dokter di pusat pelayanan C19 sebelumnya. Hal ini sudah tentu akan membuat penderita menjadi frustrasi, dan tidak sedikit yang mengalami kecemasan sampai depresi. Long-haul C19 bukan hanya masalah kesehatan fisik, tapi sudah jelas merupakan masalah kesehatan jiwa juga.
Menjadi Public Health Crisis
Para ahli kini mengkhawatirkan bahwa long-haul C19 dengan cepat tanpa kita sadari sangat berpotensi menjadi world public health crisis atau krisis kesehatan masyarakat di dunia. Ratusan ribu bahkan jutaan orang di dunia bisa saja menjadi long-haulers paska C19 yang dideritanya. Karena angka penderita C19 sangat tinggi, bila diambil 25-30%-nya, maka dalam dua tahun ke depan bahkan lebih, kita akan melihat sangat banyak kasus dan gejala long-haul C19 dari para penyintasnya. Akan dibutuhkan jumlah pelayanan rehabilitasi paska C19 yang sangat banyak pula untuk membantu para long-haulers ini agar mereka dapat kembali menjalani kesehariannya dengan normal. Para ahli juga harus segera membuat kode diagnosis untuk long-haul C19 agar dapat dimasukkan ke dalam claim BPJS dan asuransi lainnya yang sudah pasti berbuntut pada tingginya biaya. Karena hal tersebut, WHO menetapkan long-haul C19 menjadi public health emergency (kasus gawat darurat kesehatan masyarakat).
Penutup
Di awal pandemi ini, bahkan dokter pun menyebutkan bahwa keluhan long-haulers tidak nyata, bersifat psikis, dan hanya ada di dalam kepala mereka. Kini kita ketahui bahwa long-haul C19 sangat nyata, senyata terbitnya matahari dari Timur setiap hari. Kenali faktor resiko, tanda-tanda, dan apa yang harus dilakukan sehingga para long-haulers bisa dapat tertangani lebih baik.
©IKM 2021-03