Pandemi COVID-19 (C19) pada tengah Februari 2021 ini sudah lebih dari satu tahun kita jalani, dan mungkin masih akan bertahun-tahun lagi harus menemani kehidupan kita. Baru satu tahun saja, kita sudah merasa lelah secara psikis, apa lagi bila harus bertahun-tahun. Rasa lelah secara psikis dalam menjalani kehidupan dan aktivitas dalam sebuah pandemi atau krisis kesehatan yang berkepanjangan disebut sebagai “pandemic fatigue”, yang termasuk ke dalam kelompok besar crisis fatigue. Derajat pandemic fatigue bisa beragam mulai dari sangat kecil sampai sangat besar. Sangat kecil sampai banyak yang tidak menyadarinya dan sangat besar sampai sudah mengganggu kehidupan dan kesehariannya. Karenanya saat ini dipercaya sangat banyak orang di dunia, mungkin termasuk Anda yang membaca artikel ini yang mengalami pandemic fatigue dalam menjalani pandemi C19.
- Dalam derajat yang berbeda-beda dari ringan sekali sampai berat sekali, setiap orang di dunia mengalami fatigue atau kelelahan dalam menghadapi pandemi C19 ini.
- Pandemic fatigue dialami pada semua kelompok usia, pria dan wanita, dan pada semua level sosio ekonomi di dunia.
- Sama seperti kasus medis lainnya, pandemic fatigue bila sudah mengganggu harus segera teridentifikasi sehingga mudah ditangani dengan prognosis yang lebih baik.
Menurut Dr. Petros Levounis, guru besar departemen psikiatri, Rugers New Jersey Medical School, ada 4 tahapan seseorang merespon terhadap krisis. Kita akan bahas terkait pandemi C19:
- Heroic phase. Bisa dikatakan sebagai “fase semangat”. Di mana setiap orang berusaha berbuat sesuatu, sendiri atau bersama-sama, mencari cara bagaimana mengatasi krisis. Kita bisa liat fase ini terjadi pada awal tahun 2020 lalu. Setiap orang bereaksi maksimal terhadap setiap issue dan perkembangan pandemi. Masker dan cairan antiseptik sampai habis di pasaran. Baru 3 orang yang positif di Depok saja, hebohnya sudah setanah air.
- Honeymoon phase. Bisa diterjemahkan sebagai “fase nyaman”. Di mana orang sudah mulai nyaman dengan apa yang bisa dia lakukan bertahan di masa krisis. Kita bisa lihat usaha pembatasan sosial berskala besar dilakukan dan orang semakin terbiasa. Sekolah dan bekerja di-online-kan.
- Disillusionment phase. Atau diterjemahkan sebagai “fase kecewa”. Di mana banyak orang yang merasa kecewa karena ternyata apa yang dilakukannya tidak cukup untuk membuat krisis segera berlalu. Adalah fase yang sedang kita jalani sampai akhir Februari 2020 ini. Pada fase ini bisa terjadi crisis atau pandemic fatigue. Karena ternyata bekerja dan sekolah yang di-online-kan, segala usaha pencegahan dan pembatasan, seperti yang tidak ada pengaruhnya, dan pandemi malah bertahan dan berjalan semakin memburuk.
Stres dalam Pandemic Fatigue
Pada dasarnya, pandemic fatigue adalah sebuah manifestasi dari rasa stres. Stres yang menjadi kronis, bertahan dalam hitungan minggu, bulan, bahkan tahunan dalam sebuah pandemi akan mencetus suatu psychological fatigue atau kelelahan psikis tersebut. Orang yang mengalaminya akan merasa intense emotions atau emosi negatif yang kuat seperti rasa takut, cemas, sedih, bahkan marah. Bila terus berlanjut tanpa ada usaha untuk mengatasinya akan membuat yang bersangkutan malah menjadi numb atau cuek kepada kondisi yang sedang dijalaninya. Kondisi tanpa penyelesaian yang akan menciptakan efek domino memunculkan masalah-masalah berikutnya. Bukan hanya pada diri sendiri, tapi juga pada keluarga, orang terdekat, dan orang-orang yang berinteraksi dengan dirinya. Tenaga dan perasaan sudah banyak terkuras menghadapi pandemi, sampai pada suatu saat tubuh manusia tidak dapat lagi mengatasi efek hormon cortisol yang sudah membuat kerusakan pada kesehatan yang mengalaminya.
Tanda dan Gejala Pandemic Fatigue
Tanda dan gejala dari pandemic fatigue bisa terjadi dari 2 cara. Yang pertama adalah hyperarousal atau high anxiety. Atau bila diterjemahkan, menjadi mudah tersinggung. Karena hal-hal kecil, orang yang mengalaminya akan mudah untuk bereaksi dalam tindakan yang negatif seperti marah, berteriak, dan tindakan offensive lainnya. Bahkan hanya teringat bahwa saat ini masih berada dalam pendemi sudah memancing emosinya. Bentuk keduanya adalah kebalikannya. Orang yang mengalami-nya akan menunjukkan siap cuek, bahkan mengabaikan sama sekali semua usaha dalam mencegah diri dan orang terdekatnya agar tidak tertular penyakit ini. Tapi yang jelas keduanya bisa mengalami gangguan tidur, hilang selera makan, dan secara keseluruhan terganggu aktifitas normal kesehariannya.
Bagaimana Orang di Dunia Menghadapinya
Banyak orang di dunia kini mengeluhkan merasa sangat letih pada sore dan malam hari. Padahal secara umum, aktivitas fisik mereka justru lebih ringan dibandingkan dengan sebelum pandemi. Ini bisa terjadi karena seseorang mengalami banyak sekali perubahan dalam waktu yang sangat singkat, dan hampir semua perubahan adalah perubahan yang tidak diinginkan atau bahkan yang merugikan hidup mereka. Belum lagi ada yang harus melakukan aktivitas yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Seperti contohnya pada orang tua yang bekerja di rumah sambil harus membantu anak-anak mereka yang juga harus belajar dari rumah. Suatu hal yang rata hampir terjadi pada setiap orang tua yang memiliki anak di dunia saat ini.
Karena pandemi C19 adalah kejadian luar biasa yang terjadi di seluruh dunia, maka secara umum orang di dunia menghadapi pandemi ini dengan cara yang hampir sama. Tapi respon individual memang berbeda-beda. Perbedaan tersebut didasari oleh latar belakang pengalaman hidup masing-masing orang terhadap kejadian suatu krisis dalam kehidupan sebelumnya. Sebagian orang akan merasa bahwa mereka pernah harus mengalami sesuatu yang lebih serius, maka mereka menjadi punya keyakinan bahwa juga akan dapat menjalani hidup dalam pandemi ini. Tapi sebagian lagi orang, akan merasa pendemi ini menjadi beban terberat dalam hidupnya, karena selama ini hidup mereka memang jarang terkena kesulitan.
Baca artikel lainnya di blog Dr. Indra K. Muhtadi
Kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang yang dicinta dan teman merupakan kebutuhan dasar dari manusia sebagai makhluk sosial. Tapi ternyata berinteraksi secara online dan virtual tidak dapat menggantikan interaksi sosial langsung secara fisik. Banyak yang merasa tertekan di kala mereka harus “socializing while socially distancing”, harus bersosialisasi tapi harus menjaga jarak. Bahkan pada seorang yang introvert sekali pun, kini mendambakan interaksi sosial fisik langsung. Hal ini tidak terjadi pada orang dewasa saja, anak-anakpun di dunia kini banyak yang mengalami pandemic fatigue, karena mereka hanya bisa bersosialisasi dengan teman-temannya secara virtual. Suatu kondisi yang dijalani mereka pada usia yang harusnya dihabiskan dengan cara berinteraksi sosial secara fisik langsung dengan teman-temannya.
Decision Fatigue
Pandemic fatigue bisa menyebabkan kelelahan psikis lainnya yang disebut sebagai decision fatigue. Adalah bila seseorang merasa kelelahan karena secara konstan dan terus-menerus harus memutuskan banyak hal dalam menjalani kehidupan di masa pandemi. Bukan hanya kuantitas dari keputusan yang harus dibuat, tapi dari kualitas atau berat/ringannya suatu keputusan tersebut. Contoh sederhana dari tanda terjadinya decision fatigue adalah ketika seseorang tidak mau memasak, tapi ia menghabiskan setengah jam memutuskan makanan apa yang akan dipesan secara online. Atau ketika seseorang ingin menonton acara TV, tapi terus-menerus mengganti channel tidak bisa memutuskan mau menonton apa. Bila Anda di masa pandemi ini mengalami hal tersebut, maka Anda sudah masuk dalam kategori orang yang mengalami decision fatigue, terjadi karena mental overload (beban psikis berlebih) ketika harus memutuskan banyak hal sekaligus atau terus menerus.
Adjustment Disorder
Decision fatigue di atas, bila terjadi terlalu lama dapat mencetus “adjustment disorder”. Adalah suatu masalah kejiwaan di mana seseorang mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan situasi. Jelas hal ini sekarang banyak terjadi karena seseorang tidak dapat beradaptasi dengan baik terhadap situasi pandemi C19. Di masa pandemi ini setiap orang harus beradaptasi terhadap “new normal” yang tidak nyaman secara cepat sehingga dapat mendorong terjadinya kelelahan mental. Tanda dan gejalanya mirip dengan anxiety atau kecemasan dan depresi. Jadi dimulai dengan terjadinya disillusionment phase atau fase kecewa, lalu muncul stres berkepanjangan, mencetus terjadinya kelelahan psikis terhadap pandemi (pandemic fatigue), decision fatigue, sampai akhirnya mengalami adjustment disorder.
Cara Mengatasinya
Kabar baiknya, semua hal di atas dapat kita atasi bahkan kita cegah. Semakin dini masalah tersebut teridentifikasi dan diatasi, maka semakin mudah untuk ditangani dan semakin baik pula prognosisnya. Berikut yang dapat dilakukan:
- Tetap menjalani 5 pilar gaya hidup sehat, baca dalam artikel lainnya di blog ini.
- Sempatkan bersama keluarga satu rumah untuk beraktivitas di luar rumah, tentunya dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Seperti hiking ke gunung, main ke kebun teh, dll.
- Tetap menjalin hubungan dengan teman, keluarga, dan komunitas. Bisa dengan bertemu fisik dengan penerapan protokol kesehatan. Bila tidak memungkinkan, dengan pertemuan virtual yang berkualitas.
- Tetap melakukan kebiasaan rutin, hobi, dan pekerjaan yang masih bisa dilakukan di masa pendemi.
- Batasi mendapatkan informasi dari media dan internet karena berpotensi menambah tingkat stres.
- Hindari stimulan terlalu banyak seperti caffein, taurine, apa lagi alkohol dan psikotropika.
- Atasi stres dan rasa negatif dengan cara yang sehat. Baca dalam artikel lain di blog ini.
- Bantu orang lain untuk mengatasi masalahnya juga. Dengan membantu orang lain, kita pun berlatih untuk diri sendiri.
- Dekatkan diri kepada Yang Maha Pencipta, Allah SWT.
Saran WHO untuk Pemerintah
Pemerintah juga memiliki andil besar dalam mencegah hal-hal di atas. WHO memberikan saran yang dapat dijalankan, dengan tetap menjaga agar penyebaran C19 terkendali, tapi dapat menekan kemungkinan terjadinya pandemic fatigue:
- Mengerti keinginan warga negaranya, lakukan komunikasi aktif, sehingga peraturan dapat dibuat adaptif dan efektif.
- Sertakan komponen masyarakat dalam membuat suatu solusi dan peraturan di masa pandemi.
- Tetap izinkan masyarakat untuk beraktivitas, tapi dengan batasan dan penerapan protokol kesehatan yang ketat.
- Sensitif terhadap adanya potensi masalah pada level masyarakat akibat semua perubahan di masa pandemi.
- Berusaha semaksimal mungkin memprediksi keadaan yang sulit terprediksi dari pandemi ini.
- Bersikap transparan terhadap semua data dan alasan peraturan sesuai dengan perkembangan yang terjadi.
- Walaupun sulit, tapi berusaha agar membuat kebijakan yang seadil-adilnya bagi setiap kelompok dan golongan.
- Berkoordinasi dengan baik di dalam dan juga ke luar peme-rintahan, agar tidak terjadi kebingungan di masyarakat.
- Bersikap sekonsisten mungkin dalam menyampaikan pesan dan membuat keputusan dengan menghindari terjadinya konflik kepentingan.
Penutup
Berbeda dengan sakit kepala yang mudah diatasi dengan obat pereda nyeri sehingga sakit kepalanya bisa hilang dalam waktu singkat, pandemic fatigue sejatinya hanya akan benar-benar hilang bila pandemi memang sudah selesai. Satu hal yang bahkan sampai akhir Februari 2021 ini masih sulit untuk diprediksi oleh manusia di dunia. Bahkan dengan ilmu dan teknologi yang kita miliki sekarang, tidak ada kepastian kapan pandemi C19 ini akan berakhir. Karenanya, agar tidak seperti orang yang sudah jatuh tertimpa tangga; sudah terkena pandemi terkena pandemic fatigue dan turunannya seperti dibahas di atas; kita dari level pribadi, keluarga, lingkungan tempat tinggal, tempat bekerja, sampai level pemerintah harus berusaha sekuat tenaga untuk mencegahnya.
©IKM 2021-02