Tanpa penyakit COVID-19 (C19) saja, didiagnosis menderita kanker sudah merupakan pukulan berat bagi seseorang dan keluarganya. Apa lagi bila ditambah dengan terpapar oleh C19, maka serasa seperti sudah jatuh tertiban tangga pula. Antara kanker dan C19 memiliki suatu kaitan yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi di antara keduanya. Banyak pengecualian bagi dokter dalam menangani pasien kanker yang terinfeksi SARS-CoV-2 penyebab C19 ini. Sebaliknya, ada hal-hal khusus yang harus menjadi catatan bagi kita semua, bahwa beberapa kebiasaan dalam penanganan pandemi C19 ada yang meningkatkan resiko seseorang untuk terkena kanker. Dalam artikel ini kita membahas hubungan antara keduanya tersebut.
- Perbedaan jenis kanker yang diderita tidak menyebabkan resiko yang berbeda terhadap mortalitas karena C19.
- Tapi penderita kanker dan penyintas kanker memiliki prognosis lebih buruk bila terkena C19 dibandingkan orang yang tidak memiliki kanker.
- Kematian pasien kanker dengan C19 di AS lebih tinggi (13%) dibandingkan pasien non kanker (5.9%).
- Menurut penelitian terbaru, pasien kanker yang terpapar C19 tetap memiliki kemungkinan sembuh dari infeksinya selama kondisi yang bersangkutan secara umum sehat.
Ketika seseorang terkena kanker, dirinya memiliki kemungkinan lebih besar untuk terkena infeksi. Karena banyak jenis kanker yang membuat menurunnya kemampuan sistem imunitas dan merubah cara kerja sistem imunitas tubuh penderitanya. Demikian juga pada seorang yang sudah sembuh dari kanker, sistem imunitasnya membutuhkan waktu untuk kembali sama dengan orang yang tidak memiliki kanker. Kanker juga bisa berefek buruk bagi organ-organ di dalam tubuh seperti paru-paru dan ginjal, sehingga bila pasien kanker atau penyintas kanker terkena infeksi, tubuhnya akan lebih sulit melawan infeksi. Karenanya bila penderita kanker atau penyintas kanker terkena C19, maka kemungkinan penyakitnya akan lebih berat.
Angka Kematian Pasien Kanker + COVID-19
Walaupun secara umum kondisi umum yang sehat dan ada tidaknya faktor comorbid tetap memegang peranan penting terhadap derajat keparahan penyakit dan angka kematian bagi seseorang penderita kanker bila terpapar C19, namun tetap saja angka kematiannya lebih tinggi dibandingkan penderita non kanker yang terpapar C19. Menurut penelitian hal ini disebabkan oleh kombinasi antara adanya faktor comorbid dan kanakan berdampak lebih parah pada dirinya saat terpapar C19, dibandingkan orang yang tidak memiliki kanker. Masih dari penelitian yang sama dikatakan bahwa angka tersebut terlihat lebih tinggi bila pasien merupakan seorang manula, pria, perokok atau mantan perokok, kanker yang masih aktif, dan memiliki lebih dari satu faktor comorbid.
Terapi Kanker di Masa Pandemi
Satu problematika yang hadir seiring dengan pandemi ini bagi penderita kanker adalah mengenai terapi kanker itu sendiri. Di saat datang ke sarana pelayanan kesehatan di masa pandemi sangat berbahaya, tapi menunda terapi kanker yang sedang dihadapi juga beresiko besar. Satu hal yang pasti, jenis kanker yang diderita bisa saja berbeda (kecuali kanker paru), tapi resiko untuk memiliki prognosis buruk bila terpapar C19 dan memiliki comorbid akan tetap sama. Bila seorang penderita kanker terpapar C19, pemberian obat antiviral akan diberikan bila pasien bereaksi baik terhadap terapi kankernya. Tapi bila tidak, maka terapi kanker memang akan ditunda dengan mempriori-taskan terapi terhadap penyakit C19 terlebih dahulu.
Khusus untuk pasien kanker paru bila terpapar C19, memiliki prognosis lebih buruk dibandingkan kanker lainnya. Paru-paru pasien kanker paru sudah rusak dan tidak berfungsi sempurna. Bila sampai terjadi pneumonia, akan memberikan hasil akhir yang lebih buruk. Apa lagi bila terjadi pada pasien manula, menjalani kemoterapi, steroid lebih dari 10 mg per hari, dan diberikan obat anti pembekuan darah. Terapi kanker itu sendiri seperti kemoterapi, radiasi, immunotherapy dan transplantasi sumsum tulang dapat mempengaruhi sistem imunitas penderitanya karena bisa mengalami leukopenia atau rendahnya angka sel darah putih, tentara tubuh manusia dalam melawan infeksi. Bagi pasien yang belum menjalani terapi untuk kanker yang dideritanya, besar kemungkinan dokter akan menunda dan lebih mempriortiaskan terapi untuk C19.
Tantangannya Meningkat
Bagi pelayanan kesehatan, adanya pandemi ini akan meningkat-kan tantangan dalam memberikan terapi untuk pasien kanker. Misalnya gejala seperti demam, batuk, dan nafas pendek yang bagi penderita kanker biasa disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri di paru-paru, terutama dalam kondisi dingin. Maka di masa pendemi ini harus selalu diwaspadai bahwa itu merupakan tanda kemungkinan terpapar C19. Karenanya pemeriksaan C19 untuk pasien kanker akan lebih sering dibandingkan dengan pasien biasa. Di saat ternyata benar penderita kanker tersebut terkena C19, maka seluruh skenario yang sedang dan akan dijalankan untuk terapi kankernya, akan berubah drastis. Dokter harus selalu memikirkan dua hal dalam setiap tindakannya. Mengobati infeksi C19, sambil harus menjaga agar kankernya tidak bertambah buruk. Akan selalu harus memilih antara menghentikan terapi atau memendekkan terapi terutama untuk terapi radiasi dan kemoterapi, memilih terapi per oral dibadingkan terapi intra vena, memberikan obat-obatan growth factor untuk mendukung kerja sistem imun, dll.
Baca artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Seorang dengan kondisi immunocompromised, yaitu kondisi sistem imunitasnya sangat lemah, yang juga sering terjadi pada penderita kanker, tidak diperbolehkan menerima vaksin C19. Jadi mereka terpaksa harus mengharapkan kekebalan komunitas (baca dalam artikel sebelumnya) dengan cara terbentengi dari orang lain yang sudah divaksin di sekeliling mereka. Setidaknya bukan sekarang, karena penelitian vaksin C19 pada penderita kanker dan pasien dengan lemah sistem imunitas masih belum dilakukan. Penelitian vaksin harus mendahulukan populasi umum yang sehat terlebih dahulu. Bila pada populasi tersebut terbukti aman setelah digunakan, barulah penelitian dilanjutkan pada populasi beresiko termasuk penderita kanker. Hal ini disebabkan karena cara kerja dari vaksin adalah merangsang sistem imunitas untuk membuat antibody terhadap virus. Sesuatu yang sulit dilakukan oleh tubuh seorang penderita immunocompromised dan kanker.
Aman di Masa Pandemi bagi Penderita Kanker
Bila Anda memiliki kanker, menjadi sangat penting bagi Anda untuk meyakinkan diri Anda benar-benar aman di masa pandemi C19, lebih dari orang lain yang tidak memiliki kanker. Anda tidak boleh menurunkan kewaspadaan untuk senantiasa menerapkan 5M; memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan menunda bepergian. Selain itu Anda juga harus lebih dekat lagi dengan dokter Anda, apa lagi bila dokter Anda memutuskan untuk menunda terapi kanker agar sistem imunitas Anda tidak turun, menjaga adanya kemungkinan Anda terpapar oleh C19. Sekecil apa pun gejala yang muncul di tubuh Anda, harus diwaspadai dan dikomunikasikan dengan dokter Anda. Apa lagi merupakan gejala yang mirip dengan C19, seperti demam, batuk, pilek, sakit tenggorokan, sakit-sakit badan, diare, anosmia (kehilangan kemampuan mencium bau-bauan) dan ageusia (kehilangan kemampuan merasa di lidah). Mintalah dokter untuk secara rutin memeriksa apakah Anda terinfeksi C19 atau tidak.
Tetap Aktif
Walaupun harus mengurangi beraktivitas di luar rumah, bukan berarti penderita kanker di masa pandemi ini menjadi kurang beraktivitas. Jangankan penderita kanker, orang sehat saja harus senantiasa aktif di masa pandemi. Karenanya, dalam tahap apa pun penyakit kanker dan terapi kankernya, di masa pandemi ini harus senantiasa aktif. Olahraga adalah bagian dari penanganan penyakit kanker dan penyembuhannya. Olahraga dapat mengurangi rasa sakit, rasa lemas, meningkatkan mood dan meningkatkan aktivitas sistem imunitas. Seorang penderita kanker masih diperbolehkan untuk berjalan kaki atau jogging, lompat tali, senam, yoga, dll. Tentunya harus dikonsultasikan dulu dengan dokter yang merawat dan tetap memeperhatikan keamanan agar tidak sampai terpapar C19 selama melakukannya di luar rumah/tempat umum, dengan senantiasa menerapkan 5M seperti yang diuraikan di atas.
Pandemic Fatigue bagi Penderita Kanker
Pandemic fatigue terjadi pada semua orang yang hidup di dunia ini. Setahun lebih hidup dalam pandemi dengan berkurangnya aktivitas, mempengaruhi perekonomian, atau membuat orang menderita cabin fever (perasaan kesal selalu berada di dalam rumah); yang sudah pasti akan membuat orang menjadi stres. Apa lagi bagi seorang penderita kanker yang akan selalu was-was dan paranoid, khawatir dirinya terpapar C19. Sudah cukup buruk divonis menderita kanker, maka mereka akan tambah merasa rentan secara fisik, emosi, dan keuangan. Pandemi ini memang sudah menjadi disruption atau gangguan di segala bidang, termasuk juga di bidang pelayanan kesehatan terutama bagi pada pelayanan kanker. Bagi penderita kanker adanya pandemi ini merubah segalanya. Ada yang tertunda, dihentikan, bahkan tidak akan dilakukan sama sekali terapi kanker yang sedang atau yang akan dilakukan.
Memodifikasi Caranya
Ada beberapa modifikasi yang kini diterapkan dalam menangani pasien kanker selama masa pandemi. Di negara maju pasien sampai bisa menikmati palayanan menggunakan aplikasi di telepon genggam dalam berkonsultasi dengan dokternya. Tapi yang jelas sesi tatap muka dokter dan pasien akan dikurangi, dan obat kanker bila tetap akan diberikan dipilihkan yang diminum, dibandingkan dengan yang disuntikkan/diinfuskan. Saat harus tetap tatap muka ke rumah sakit atau klinik akan diberlakukan jadwal ketat untuk membatasi jumlah orang, atau bisa dilakukan dari jarak jauh memanfaatkan teknologi tele-conference. Fisioterapi bagi penderita dan penyintas kanker harus dilakukan di rumah sendiri atau ditolong oleh pihak keluarga. Dan bila dibutuhkan akan ditambah sesi konseling bagi penderita yang mengalami pandemic fatigue.
Kesalahan Penanganan COVID-19 yang Berbahaya
Selain bahwa pandemi C19 ini berdampak demikian besarnya bagi penderita dan penyintas kanker, ternyata banyak juga kesalahan-kesalahan umum yang dilakukan masyarakat terutama di Indonesia dalam menangani pandemi yang dapat membuat mereka beresiko untuk terkena kanker.
- Menggunakan cairan disinfektan berdasar klorin yang tidak tepat dan berlebihan. Yang sering digunakan adalah cairan pemutih dan/atau pembersih. Walaupun cairan tersebut memang dapat membunuh virus, tapi bila dilakukan dengan cara yang salah dan berlebihan dapat menjadi boomerang. Cairan chlorine based (berdasar klorin atau kaporit) itu bila terhirup secara berlebihan apa lagi termakan, bisa merusak saluran pernafasan dan pencernaan serta merupakan sebuah karsinogenik (zat yang dapat mencetus kanker).
- Melakukan terapi dengan cara dihirup. Paru-paru manusia hanya bisa menghirup udara dan sedikit sekali jenis uap sebelum ia menderita kerusakan. Obat yang dapat diberikan dengan cara inhalasi dan uap saja sangat terbatas jenisnya. Tapi sudah viral di Indonesia bahkan dunia melakukan terapi inhalasi dalam mencegah dan mengobati C19. Seperti misalnya menghirup uap (bahkan meminum) minyak kayu putih, menghirup uap alkohol, uap kemenyan, dll. yang dapat mencetus iritasi di saluran pernafasan dan juga berpotensi menjadi karsinogenik.
- Menggunakan sterilisator UV-C dengan cara yang salah. Sinar UV-C bisa membunuh virus, tapi juga berbahaya bagi mata manusia. Pengaplikasian sterilisator menggunakan sinar UV-C harus dalam keadaan tertutup. Selama sinarnya bisa terlihat, selama itu pula sinar menjadi bahaya dan dapat mencetus kanker (bersifat karsinogenik) juga.
- Berjemur sinar matahari secara berlebihan. Sinar matahari berguna bagi tubuh kita untuk merubah pro vitamin D menjadi vitamin D. Tapi kebutuhannya tidak banyak, cukup sekitar 10-15 menit saja setiap hari. Dan sinar matahari sama sekali tidak dapat membunuh virus yang berada di dalam paru-paru atau tubuh. Di Indonesia berjemur menjadi aktivitas wajib selama pandemi apa lagi bagi penderita C19, yang diharapkan dapat membunuh virus dan membuat sistem imunitas lebih kuat. Namun bila berjemur berlebihan paparan sinar UV justru dapat mencetus kanker kulit.
©IKM 2021-02