Puasa merupakan satu ibadah yang sering menjadi pertanyaan di dunia medis. Apa lagi setelah adanya pandemi COVID-19 (C19) tentang melakukan ibadah puasa ketika terkena penyakitnya atau vaksinasi. Pertanyaan yang muncul tersebut berkisar kepada boleh atau tidaknya dari sudut pandang medis seorang berpuasa bila ia sedang terkena atau baru saja sembuh dari C19 serta bila ia akan mendapatkan dan setelah vaksinasi. Ada perbedaan antara berbagai jenis puasa diet dan puasa yang dilakukan hanya untuk tujuan kesehatan yang banyak dilakukan orang; dengan ibadah puasa yang dilakukan umat Muslim. Perbedaan ini serta kaitan puasa dengan C19 dibahas di sini.
- Antara puasa diet atau hanya untuk alasan kesehatan sedikit berbeda dengan puasa yang dilakukan umat Muslim.
- Sangat banyak penelitian yang mengangkat tema puasa yang dikaitkan dengan melawan penyakit dan terkait sistem imunitas tubuh manusia.
- Berpuasa harus dilakukan dengan cara tepat, pada waktu yang tepat, dan dalam kondisi tepat agar mendapatkan manfaatnya, terutama di masa pandemi C19 ini.
Hampir seluruh ahli kesehatan setuju bahwa puasa bukan alat menurunkan berat badan yang sehat. Namun nyatanya saat ini banyak beberapa jenis puasa yang dilakukan untuk tujuan diet dengan definisi dan ketentuannya masing-masing. Untuk lebih dalamnya silakan baca dalam artikel lainnya. Lalu ada juga puasa yang memang dilakukan untuk tujuan kesehatan karena puasa sering diteliti baik bagi kesehatan bahkan bisa sampai menyembuhkan penyakit seperti penyakit jantung, tekanan darah tinggi, asma, radang sendi, penyakit autoimun, dll.
Seorang dokter bernama Joel Fuhrman dari New Jersey AS, mengatakan bahwa tubuh kita didisain untuk puasa dan kita melakukannya setiap malam ketika tidur. Itulah sebabnya dalam bahasa Inggris, sarapan pagi dinamakan sebagai breakfast atau berbuka puasa. Setidaknya ada 6 penelitian yang di-published di American Journal of Physiology, Endocrinology and Metabolism, di Scandinavian Journal of Rheumatology dan di Journal of Nutrition; yang menunjukkan puasa secara signifikan berefek baik bagi kesehatan, bahkan bisa menurunkan level stres dan depresi. Bahkan Dr. Fuhrman menganjurkan seseorang setidaknya berpuasa 4 sampai 5 hari setiap bulannya untuk meningkatkan kesehatan imunitas tubuh.
Perbedaan mendasar antara jenis puasa-puasa di atas dengan puasa umat Muslim adalah pada niat. Hal ini menjadi pembeda terpenting, karena niat barpuasa itu di-format di dalam hypothalamus di dalam otak manusia yang berpuasa sehingga semua fungsi fisiknya saat berpuasa dipengaruhi sepenuhnya oleh sisi psikis atau kejiwaan. Sensasi naluriah dari tidak masuknya makanan (lapar) dan minuman (haus) ke dalam tubuh selama berpuasa, sampai bisa tidak menimbulkan efek apa-apa untuk kesehatan pelakunya. Malah sensasi lapar dan haus itu bisa menimbulkan rasa kenikmatan ruhiah (psikis) bagi pelakunya. Karenanya fisik orang yang berpuasa akan secara spontan mengikuti ritme aktivitas puasa sehingga kerja metabolisme sedemikan rupa beradaptasi dengan kondisi tersebut. Tidak menimbulkan penyakit, malah dari penelitian-penelitian di atas malah dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit serta meningkat sistem imunitas tubuh pelakunya.
Berbeda dengan orang yang melakukan puasa hanya untuk tujuan diet dan kesehatan saja, bukan untuk menjalankan ibadah. Maka bila dalam aktivitas berpuasa tersebut ia merasa terbebani atau senantiasa mengingat-ingat betapa nikmatnya bila ia berhenti berpuasa lalu makan dan minum; maka hal ini tidak akan ada bedanya dengan kondisi saat seseorang telat makan atau kehausan biasa. Tubuhnya akan senantiasa menuntut mendapatkan asupan makanan dan minuman, sehingga tidak ada perbedaan pada semua sistem metabolisme di tubuhnya. Puasa yang seperti ini justru bisa mencetus penyakit dan sudah pasti tidak akan mendapatkan seluruh manfaat kesehatan seperti yang dibahas di atas.
Yang Terjadi pada Tubuh Penderita C19
SARS-CoV-2, virus penyebab C19 bisa menginfeksi tubuh siapa saja. Tapi orang yang terinfeksi tidak semuanya menjadi sakit dan hanya menjadi OTG (orang tanpa gejala) saja. Bagi yang sakit ada yang bergejala ringan saja, tapi juga ada yang sampai berat bahkan sampai menjadi pencetus kematian. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti usia, kondisi comorbid, virus load, varian virus, dan yang juga sangat penting adalah sistem imunitas orang yang terinfeksi. Berapa pun usianya, apa pun faktor comorbid yang dimilikinya, berapa pun banyak virus load yang masuk, dan apa pun varian virusnya; sistem imunitas berperan sangat vokal untuk menentukan derajat keparahan penyakit yang akan dideritanya. Kita tahu bahwa puasa, yang dilakukan dengan benar seperti uraian di atas, dapat meningkatkan sistem imunitas pelakunya. Dari kedua premis ini saja sudah dapat ditarik kesimpulan sederhana bahwa puasa itu baik untuk dilakukan terkait dengan infeksi C19.
Yang Terjadi pada Tubuh Penerima Vaksin C19
Kini semakin banyak vaksin untuk C19 yang mendapatkan EUA (emergency use of authorization) dan sudah disuntikkan kepada jutaan orang di dunia. Sampai sejauh ini, WHO yang rutin mengawasi dan melaporkan, tetap merekomendasikannya dan kita semua berharap merupakan cara dunia untuk bisa ke luar dari pandemi ini. Baca di artikel lainnya cara vaksin bekerja pada tubuh yang pada akhirnya bertujuan menciptakan kekebalan pada orang yang divaksin juga kekebalan pada komunitas. Kita tahu bahwa puasa, yang dilakukan dengan benar seperti di atas, dapat meningkatkan sistem imunitas. Dari kedua premis ini saja sudah dapat ditarik kesimpulan sederhana bahwa puasa itu baik untuk dilakukan terkait dengan vaksinasi C19.
Baca artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Dalam beberapa jam pada tubuh orang yang berpuasa, tubuhnya mulai “dipaksa” menggunakan cadangan energi agar dapat tetap berfungsi normal. Pada tahap awal tubuh akan menggunakan cadangan glukosa dalam bentuk glikogen yang tersimpan di liver dan otot. Saat cadangan glikogen tersebut habis, tubuh akan mencari sumber energi berikutnya yaitu lemak dalam bentuk keton. Salah satu jenis keton bernama beta-hydroxybutyrate (BHB) sangat berguna bagi sistem imunitas tubuh. BHB ini dapat menekan respon peradangan di dalam tubuh. Bila berpuasa dilakukan dengan rutin seperti di bulan Ramadhan, akan membantu sistem imunitas dalam proses “daur ulang” sel imunitas yang rusak, sehingga mencetus terjadinya regenerasi sel-sel imunitas sehat yang baru.
Saat tubuh terinfeksi oleh virus seperti contohnya SARS-CoV-2, maka sistem imunitas akan “all out” melawannya. Akibatnya tubuh akan rentan untuk terkena infeksi lainnya terutama infeksi bakteri. Pada orang yang terinfeksi virus tersebut biasa akan mengalami turunnya nafsu makan, sehingga tubuh ada dalam kondisi semi berpuasa. Penelitian menunjukkan bahwa kondisi tersebut sangat ideal membuat tubuh beradaptasi secara natural dalam melawan infeksi, sehingga memberinya kekuatan tambahan dalam melawan bakteri infeksi sekunder tersebut. Hal inilah yang terjadi juga pada orang yang berpuasa, di mana tubuhnya lebih responsif dalam melawan bukan hanya infeksi primer tapi juga infeksi sekundernya.
Ada tiga hipotesis yang dapat menjelaskan fenomena ini:
- Dari perspektif evolusi, semakin kenyang makhluk hidup, akan mengurangi kebutuhan untuk mencari makanan. Hal ini akan mengurangi pergerakan fisik, menurunkan suhu basal tubuh, dan secara esensial menurunkan fokus tubuh dalam melawan infeksi.
- Hilangnya kesempatan untuk makan akan membatasi suplai nutrisi yang juga dibutuhkan agen infeksi untuk tumbuh dan berkembang.
- Hilangnya nafsu makan atau sedang tidak ada makan ditambah dengan masuknya infeksi membuat tubuh yang bersangkutan untuk membuang sel-sel infeksi yang dikenal dengan proses apoptosis.
Infeksi Virus vs. Bakteri Saat Berpuasa
Di antara infeksi virus dan infeksi bakteri, manfaat berpuasa lebih dirasakan pada kasus infeksi bakteri. Penelitian melaporkan bahwa berpuasa adalah kondisi terbaik bagi tubuh dalam melawan infeksi bakteri. Sedangkan untuk infeksi virus, manfaat berpuasa tidak sebesar ketika tubuh melawan infeksi bakteri. Manfaat puasa bagi kedua infeksi tersebut terutama berguna pada fase akut atau fase awal dari infeksi yaitu pada beberapa hari awal infeksi. Dari hasil penelitian ini bila dikaitkan dengan infeksi SARS-CoV-2 penyebab C19, maka berpuasa tetap dianjurkan bila kondisi sakit C19 yang diderita tidak berat dan pada masa awal infeksi. Bila sakit harus diderita lebih lama, maka dari sisi medis disarankan untuk tidak berpuasa.
Terlalu Banyak Makan dan Sistem Imunitas
Berbanding terbalik dengan puasa yaitu kondisi terlalu banyak makan, atau tidak berhenti untuk makan, sangat berbahaya bagi sistem imunitas manusia. Sel-sel inflamasi monosit ditemukan lebih tinggi di dalam tubuh orang yang terlalu banyak makan. Inflamasi memang dibutuhkan tubuh melawan infeksi, tapi bila terlalu tinggi dapat berbahaya bagi tubuh. Jadi bila dalam kondisi pandemi C19 ini Anda tidak dapat berpuasa, setidaknya menjaga agar jangan terlalu banyak makan. Pencernaan Anda harus diberikan istirahat dan sesekali dibawa dalam kondisi lapar sebelum Anda makan kembali, agar dapat menciptakan manfaat seperti yang diuraikan di atas.
Berpuasa & Terkena C19
Dari uraian di atas, berarti bisa kita tarik beberapa kesimpulan terkait berpuasa saat dan setelah terkena C19, sbb.:
- Berpuasa dapat memperkuat sistem imunitas pelakunya. Sehingga sangat dianjurkan rutin berpuasa di masa pandemi agar tidak mudah sakit saat terpapar C19.
- Sedikit disinggung di atas, dan dalam artikel lainnya, berpuasa dapat mencegah beberapa penyakit yang merupakan penyakit comorbid dari C19 seperti kencing manis dan hipertensi. Sehingga berpuasa secara rutin di masa pandemi C19 menjadi semakin dianjurkan.
- Bila harus sakit, karena C19 disebabkan oleh virus, puasa masih dianjurkan pada hari-hari awal dari sakitnya dan berhenti berpuasa bila sakit berlanjut.
- Ketika sudah sembuh, maka berpuasa dianjurkan kembali secara rutin agar sistem imunitas tubuh tinggi kembali.
Berpuasa & Vaksinasi C19
Dari uraian di atas pula, berarti bisa kita tarik kesimpulan terkait berpuasa saat dan setelah vaksinasi C19, sbb.:
- Berpuasa dapat memperkuat sistem imunitas pelakunya. Sehingga berpuasa ketika divaksinasi diperbolehkan.
- Kecuali yang bersangkuntan memang takut disuntik, takut divaksin, atau ragu-ragu sehingga berpotensi menimbulkan kondisi stres, serangan penyakit maag, atau panik; maka puasa diperbolehkan saat mendapatkan vaksinasi.
- Bila terjadi reaksi alergi setelah penyuntikan, maka dianjurkan berbuka puasa untuk mengkonsumsi obat.
- Tapi bila kondisinya aman-aman saja, maka kondisi berpuasa justru baik untuk mendapatkan vaksinasi (bukan hanya vaksin C19), karena sistem imunitas berada pada puncak performanya.
Berpuasa Yang Paling Baik
Ternyata bila disarikan dari semua penelitian, cara berpuasa yang terbaik untuk mendapatkan manfaat di atas adalah sbb.:
- Dilakukan secara rutin 2x seminggu antara 16-24 jam. Mirip seperti puasa Senin-Kamis-nya umat Muslim.
- Di saat berbuka, berbuka dengan makanan yang bergizi karena puncak kerja sistem imunitas itu terjadi bukan pada puasanya, tapi pada saat berbuka setelah berpuasa.
- Tetap mencukupkan minum pada saat tidak berpuasa, karena sistem imunitas membutuhkan hidrasi yang baik agar berfungsi optimal.
- Agar puasa tidak mencetus sakit, lakukan dengan niat dan sugesti yang baik. Bahwa memang selama waktu puasa tidak akan mendapatkan makanan/minuman. Dengan demikian fisik dan psikis tersinkronisasi dengan sempurna.
Penutup
Kondisi tubuh manusia, apa lagi kondisi medisnya tidak bisa disamakan dan bersifat individual. Dokter Anda yang paling mengerti kesehatan Anda. Artikel ini dapat menjadi panduan, tapi tanyakan detilnya kepada dokter Anda masing-masing.
©IKM 2021-04