Badai sitokin atau cytokine storm merupakan suatu reaksi imunitas ketika tubuh melepaskan terlalu banyak sitokin dalam waktu yang singkat ke dalam peredaran darah. Dalam jumlah tertentu sebarannya sitokin berperan penting terhadap respon imunitas yang normal, tapi bila jumlahnya terlalu banyak dalam waktu yang singkat justru akan berbahaya bagi tubuh. Kejadian badai sitokin di dalam tubuh salah satunya dapat terjadi sebagai hasil dari sebuah infeksi seperti halnya COVID-19 (C19). Kejadian badai sitokin terjadi pada saat virus sudah tidak lagi terdeteksi. Malah justru badai sitokinlah yang membuat kegagalan organ secara multipel (multiple organ failure) dan dapat berujung pada kematian, bukan karena virusnya itu sendiri.
Istilah badai sitokin pertama kali diperkenalkan ke dunia medis sekitar 27 tahun yang lalu pada penelitian uji klinis sebuah terapi transplantasi stem-cell (tidak kita bahas di sini). Sebelumnya kejadian seperti ini dianggap sebagai influenza-like syndrome atau sindroma seperti flu biasa yang bisa terjadi setelah adanya infeksi sistemik. Sebenarnya badai sitokin ini juga sering terjadi dan menjadi penyebab kematian korban pandemi flu pada tahun 1918, namun saat itu istilah tersebut belum ditemukan. Jadi bila sekarang terjadi pada C19, sebenarnya sudah terprediksi sebelumnya oleh para ilmuan medis di dunia. Walaupun kondisi badai sitokin sampai sekarang juga memiliki beberapa definisi dari sisi patogenesis (perjalanan penyakit)-nya tapi yang pasti, badai sitokin terjadi saat level sitokin tinggi pada saat patogen (penyebab penyakit) sudah tidak ada.
Diagnosis terjadinya sebuah badai sitokin sangat penting bagi dokter dalam menentukan prognosis dan terapi yang akan diberikan kepada penderita. Badai sitokin atau yang disebut juga sebagai hypercytokinemia (kadar sitokin tinggi dalam darah), merupakan istilah gabungan (umbrella term) dari beberapa kelainan dari disregulasi sistem imun, yang ditandai oleh gejala peradangan sistemik dan kegagalan multi organ di dalam tubuh. Kapan mulai terjadi (onset) dan lama kejadiannya (duration) dari badai sitokin sangat beragam tergantung pada penyebab dan terapi yang diberikan. Dokter harus bisa menentukan 3 hal dalam menangani kasus badai sitokin yaitu; (1) kondisi medis penyebabnya, (2) menentukan tingkat keparahan-nya, dan (3) menentukan arah perkembangan klinis.
Yang Terjadi pada Tubuh Pasien
Saat badai sitokin terjadi, hampir seluruh penderita mengalami demam yang tinggi, fatigue (rasa lemah), anoreksia, sakit kepala, rash (merah) pada kulit, mual, muntah, diare, nyeri sendi (athralgia), nyeri otot (myalgia), dan gangguan kognitif. Gejala ini dapat disebabkan secara langsung oleh kerusakan jaringan akibat hypercytokinemia atau karena perubahan akut fungsi tubuh akibat terjadi banyak peradangan. Pada penderita C19 banyak pasien mengalami keluhan pada pernafasan seperti batuk dan sesak nafas yang dapat berkembang menjadi ARDS (acute respiratory distress syndrome) yang mencetus hypoxemia (kadar oksigen rendah dalam darah) sehingga membutuhkan ventilator. Badai sitokin juga merusak fungsi pembekuan darah, sehingga bisa terjadi perdarahan hebat. Pada penderita C19, dapat mencetus sesak, batuk darah, tekanan darah turun, keseimbangan cairan terganggu, shock sampai kematian.
Kegagalan Multi Organ
Badai sitokin dapat menyebabkan kerusakan besar, lebih besar dari manfaat sitokin itu sendiri dalam fungsinya sebagai bagian dari sistem imunitas. Walaupun penderita dapat bertahan pada kondisi awal dari badai sitokin, dirinya masih beresiko untuk mengalami kerusakan banyak organ di dalam tubuh sehingga dapat terjadi multi organ failure atau kegagalan multi organ. Yang sering ditemukan pada penderita C19 adalah gagal ginjal, kerusakan liver akut (acute liver injury), dan kematian otot jantung (cardiomyopathy).
Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosis suatu badai sitokin, dokter akan memilih beberapa pemeriksaan laboratorium tergantung dari penyebab awal terjadinya. Yang selalu diperiksa adalah marker tidak spesifik dari peradangan yaitu CRP (C-reactive protein), yang naik angkanya bila di tubuh terjadi suatu peradangan. Banyak juga pasien mengalami hypertriglyceridemia (trigliserida tinggi dalam darah), leukocytosis (leukosit tinggi dalam darah) atau leukopenia (leukosit rendah dalam darah), anemia, dan thrombocytopenia (trombosit rendah dalam darah). Selain itu terjadi juga peningkatan ferritin dan level D-dimer.
Pada COVID-19
C19 yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 memunculkan gejala yang sangat beragam dari mulai tanpa gejala (OTG), keluhan ringan, sampai kondisi mengancam jiwa seperti pneumonia, badai sitokin, dan gagal multi organ. Badai sitokin seperti yang terjadi pada C19, juga pernah dilaporkan terjadi pada pasien SARS. Pada pasien C19 dengan gejala berat, hampir selalu disertai dengan badai sitokin ini di dalam perjalanan penyakitnya. Dibandingkan dengan penderita SARS, pada C19 badai sitokin bisa lebih cepat terjadi, lebih lama, serta sampai bisa menyebabkan kematian; bila penderita memiliki comorbid seperti tekanan darah tinggi, diabetes, obesitas, atau seorang perokok. Faktor dan kondisi comorbid tersebut akan menurunkan ambang batas respon imunitas sehingga dapat mencetus badai sitokin.
Ujung dari badai sitokin yang sering pada penderita C19 adalah ARDS yang terjadi rata-rata pada hari ke-5 sd. 8 dari awal timbul gejala. ARDS menyebabkan paru-paru terendam cairan sehingga menderita kerusakan. Akibatnya paru-paru kesulitan untuk bisa berfungsi sebagai penyuplai oksigen untuk tubuh. Pada anak, badai sitokin hampir tidak pernah terjadi, karena infeksi C19 sendiri pada anak gejalanya ringan, bahkan bisa tidak disadari oleh orang tuanya. Hal ini disebabkan anak-anak memiliki respon imun yang lebih straightforward atau tepat sasaran, sementara respon imun orang dewasa sering over-response atau berlebihan.
Baca artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Yang paling utama dilakukan dokter dalam merawat penderita badai sitokin adalah menjaga fungsi organ penting agar jangan sampai rusak. Penderita pasti diberikan terapi oksigen atau bahkan menggunakan ventilator. Lalu secara paralel dokter mengontrol dan menangani penyakit kondisi comorbid yang mungkin terjadi pada penderita. Untuk mengatasi peradangan hebat akibat badai sitokin tersebut dokter akan memberikan terapi immunomodulation atau nonspecific immuno suppression.
Sulit Diprediksi – Sulit Dicegah
Sampai dengan akhir Agustus 2021 ini, belum ada cara pasti memprediksi seorang penderita C19 akan mengalami badai sitokin atau tidak dan belum ada terapi spesifik untuk mencegahnya. Yang harus diwaspadai adalah bahwa kejadiannya hampir selalu terjadi pada penderita yang memiliki faktor atau kondisi comorbid, walaupun tidak pada semua yang memiliki faktor atau kondisi comorbid tersebut mengalaminya (baca dalam artikel lain mengenai faktor comorbid C19). Oleh karena itu, menangani semua kondisi dan faktor comorbid di masa pandemi ini menjadi semakin penting, karena seseorang tidak tahu apakah dirinya akan terpapar virus atau tidak.
Gejala Ringan C19, Bisa Tiba-Tiba Menjadi Serius
Ada keunikan pada kasus-kasus C19 yang terjadi saat ini. Beberapa penderita C19 dengan gejala ringan, bisa dalam hitungan 2 sampai 14 hari berubah menjadi serius sampai ada yang menyebabkan kematian. Biasanya saat awal infeksi C19, dimulai dengan tanpa gejala atau gejala ringan seperti batuk pilek biasa. Ketika virus SARS-CoV-2 masuk ke dalam paru-paru, akan menyebabkan respon sistem imun untuk membawa banyak sel-sel imunitas ke dalam paru-paru untuk menyerang virus. Kondisi ini menciptakan kondisi peradangan yang bisa berkembang menjadi pneumonia pada hari ke-6 atau 7, dan merupakan kondisi yang paling umum dialami oleh orang yang bergejala sedang/berat. Pada beberapa penderita, sistem imunnya bereaksi secara berlebihan menyebabkan aktivasi lebih banyak lagi sel-sel imun, sehingga mencetus hyper-inflammation yang dapat berakibat fatal. Hal ini sering terjadi pada 7-10 hari dari gejala awal muncul. Inilah sebabnya penderita C19, bahkan dengan gejala ringan sampai dengan 14 hari harus isolasi mandiri dan beristirahat agar pemulihannya optimal, dan agar tidak menularkannya ke orang lain.
Nyeri Dada
Salah satu gejala yang harus diwaspadai bagi mereka yang sedang isolasi mandiri terutama di rumah, adalah nyeri dada. Nyeri dada diderita oleh 17-18% penderita C19 dan hampir semua gejala berat pada penderitanya yang berujung menjadi badai sitokin awalnya dimulai dengan keluhan nyeri dada. Nyeri dada ini terjadi 3 kali lebih sering pada penderita yang akhirnya meninggal. Hal ini bisa disebabkan oleh peradangan yang terjadi pada paru-paru atau bisa juga sudah menjalar ke otot jantung. Jenis nyeri dada yang harus diwaspadai adalah nyeri yang persisten dan tidak kunjung hilang. Bila ini terjadi, walaupun gejala lain tidak ada atau masih dirasakan ringan, penderita harus segera dibawa ke rumah sakit karena termasuk kategori gawat darurat untuk penderita C19. Apa lagi bila nyeri tersebut diperberat dengan nyeri pada punggung, pundak, lengan kiri, atau rahang. Atau bisa disertai dengan sulit berkonsentrasi, jantung berdegup kencang, nafas memburu dan kesulitan bernafas, sampai penurunan kesadaran.
Kerusakan Jantung
Kejadian badai sitokin pada penderita C19 juga sering berujung menjadi kerusakan otot jantung atau fulminant myocarditis, sehingga dikatakan sebagai cytokine storm syndrome atau sindroma badai sitokin. Insidensinya adalah 1 dari setiap 5 penderita C19 atau 20% yang bahkan bisa terjadi pada penderita tanpa keluhan di pernafasan. Kerusakan jantung yang paling sering terjadi karena C19 adalah kerusakan ventrikel kiri sehingga jantung mengalami kegagalan dalam memompa darah. Kerusakan jantung ini paling sering terjadi (30-60%) pada penderita yang memang sebelumnya memiliki sejarah penyakit jantung dan pembuluh darah (cardiovascular) seperti tekanan darah tinggi, penyakit jantung, stroke dan memiliki riwayat serangan jantung. Angka kematian penderita dengan comorbid penyakit cardiovascular juga cukup tinggi, yaitu sampai 22%.
Selain disebabkan oleh badai sitokin, virus juga bisa menginfeksi sel-sel otot jantung dan sel-sel pembuluh darah secara langsung. Hal ini disebabkan karena SARS-CoV-2 menempel pada sel tubuh manusia melalui reseptor ACE2 (angiotensin converting enzyme 2). Memang reseptor ACE2 ini paling banyak terdapat di paru-paru, tapi juga terdapat pada sel otot jantung dan sel pembuluh darah. Ketika memang ada virus di dalam sel otot jantung dan ditambah dengan kejadian badai sitokin, maka kondisi ini tidak bisa tertahankan oleh jantung, sehingga terjadi kerusakan dan kematian sel-sel otot jantung.
Post Viral Syndrome
Bagi penderita yang bisa bertahan dan selamat dari badai sitokin, masih beresiko untuk mengalami post viral syndrome, terutama yang memiliki faktor dan kondisi comorbid. Post viral syndrome dipercaya disebabkan oleh sitokin menembus sawar darah-otak (blood brain barrier), terutama menyerang hypothalamus. Karena hypothalamus adalah bagian dari otak yang mengatur suhu tubuh, mengontrol pelepasan hormon, dan banyak fungsi hormonal lainnya, maka bisa mencetus kejadian demam yang tidak jelas sebabnya, gangguan tidur, gangguan kognitif, dan rasa lelah yang luar biasa. Karena mirip dengan kondisi myalgic encephalomyelitis (ME), maka kejadian ini pada C19 dinamai ME-like illness atau penyakit seperti ME. ME sendiri sebelumnya disebut sebagai CFS (chronic fatigue syndrome). Keluhan dapat berupa brain fog (sulit untuk berfikir dan mengingat sesuatu), kesulitan berkonsentrasi dan fatigue atau rasa lelah yang berat. Angka kejadian pada wanita dua kali lebih sering dari pada pria dan sampai sekarang masih belum bisa ditentukan sebabnya.
Post viral syndrome dapat disembuhkan, walaupun memakan waktu yang tidak sebentar. Seiring dengan waktu keluhan yang dirasakan penderita berkurang secara perlahan. Tidak ada terapi spesifik untuk post viral syndrome ini selain menangani dan mengobati keluhan yang ada dan penderita harus rajin berolahraga serta menjalani occupational therapy dan cognitive behavioral therapy (CBT).
©IKM 2021-08