Kini semakin banyak vaksin COVID-19 (C19) yang mendapatkan EUA (emergency use of authorization) dan masuk juga ke dalam EUL (emergency use listing) dari WHO. Setelah vaksin CoronaVac dari Sinovac yang juga diproduksi oleh Biofarma, di Indonesia pada akhir Mei 2021 lalu sudah mulai disuntikkan juga vaksin C19 dari Oxford-AstraZeneca. Walaupun jenis vaksinnya berbeda, dibuat oleh produsen yang berbeda, dari negara yang berbeda-beda; namun tujuannya tetap sama yaitu menciptakan kekebalan atau di dunia medis dikatakan sebagai merangsang terbentuknya neutralizing antibody (antibodi penetralisir) virus. Tapi karena perbedaan-perbedaan tadi pula, setiap vaksin juga memiliki efikasi yang berbeda, cara penyuntikan yang berbeda dan efek samping yang berbeda. Salah satu yang ramai dibicarakan saat artikel ini ditulis (awal Juni 2021), adalah efek samping dari vaksin yang dibuat oleh Oxford-AstraZeneca.
Perusahaan farmasi AstraZeneca bekerja sama dengan Oxford University di Inggris membuat vaksin C19 yang kini mereka beri nama Vaxzevria dengan kode AZD1222. Bahkan sebelum uji klinis untuk vaksin ini yang dimulai sejak bulan April 2020 di Inggris, Afrika Selatan dan Brazil; pemerintah Inggris dengan jumlah penduduk hanya 66 juta jiwa, sudah memesan 100 juta dosis untuk vaksin ini. Oxford dan AstraZeneca memilih jenis viral vector vaccine untuk vaksin mereka, yaitu vaksin yang menggunakan sebuah virus lain (dalam hal ini adenovirus dari chimpanzee) untuk mengantar DNA SARS-CoV-2 ke dalam sel tubuh manusia yang kemudian oleh sel tubuh di-convert menjadi spike protein dari virus agar dikenali oleh sistem imunitas tubuh kita. Penyuntikan dilakukan dua kali, dan karena merupakan viral vector vaccine, interval penyuntikan di antara keduanya adalah 8 sampai 12 minggu.
Kesalahan pada Uji Klinis
Lamanya vaksin ini mendapatkan EUA di beberapa negara termasuk AS dan Indonesia, bukan disebabkan oleh efek sampingnya; melainkan karena ketidak-lengkapan data dari uji klinis mereka di mana jumlah subjek manula belum dianggap cukup. Selain itu terjadi kesalahan dosis pada uji klinisnya di mana hampir 3000 orang subjek hanya menerima setengah dosis saja pada suntikan pertama. Namun kesalahan tersebut justru berujung pada sebuah penemuan penting. Walaupun salah, penelitian tetap dilanjutkan karena kesalahan tersebut tidak berdampak pada keamanan vaksin. Ditemukan efikasi terjadi malah lebih baik pada kelompok yang mendapatkan hanya setengah dosis pada suntikan pertama yaitu sebesar 90%, dibandingkan kelompok yang mendapatkan full dose (62%).
Sepertinya sistem imun tubuh manusia lebih baik ketika menerima partikel vaksin yang lebih sedikit. Hal ini membuat banyak peluang untuk penelitian-penelitian baru. Oxford dan AstraZeneca mendapatkan kritikan keras dari dunia penelitian medis, karena kesalahan dosis pada hampir 3000 orang subjek seharusnya tidak terjadi. Untung saja tidak menimbulkan efek yang buruk bagi subjek penelitian mereka. Walaupun demikian Oxford dan AstraZeneca tetap menetapkan angka 62% untuk efikasi vaksin mereka, karena untuk men-claim-nya 90% harus dilakukan uji klinis skala besar ulangan dengan setengah dosis. Hal ini disampaikan oleh Dr. Philip Smith, seorang assistant professor dari department of kinesiology and health di Miami University, Ohio, AS.
Efikasi & Imunogenisitas Vaksin Oxford-AstraZeneca
Secara keseluruhan dari berbagai lokasi uji klinis untuk efikasi, vaksin Oxford-AZ ini ada pada angka 62-76%. Tapi bagi individu yang telah divaksin, imunogenisitasnya dapat mencapai 100% mencegah kejadian kondisi harus dirawat di RS, kondisi parah atau kritis. Bagi yang terkena, vaksin dapat melindungi sampai 79% membuat yang bersangkutan bebas dari gejala. Hal ini disampaikan oleh Mene Pangalos, executive vice president dari biopharmaceuticals research for AstraZeneca pada 23 Maret 2021 yang lalu. Tapi karena sejarah kesalahan pada saat uji klinis seperti yang dibahas di atas, banyak ilmuan yang masih meragukan keakuratan angka ini termasuk Dr. Anthony Fauci, ketua NIAID (National Institute of Allergy and Infectious Diseases) di AS, yang meminta Oxford dan AstraZeneca untuk melakukan uji klinis ulangan.
Efek Samping Pembekuan Darah
Saat sudah disuntikkan secara masal di Eropa, muncul laporan efek samping yaitu reaksi alergi, pembekuan darah dan penurunan trombosit, sehingga penggunaannya sempat dihentikan pada Maret 2021 di beberapa negara Eropa. Namun European Medicine Agency (EMA) belakangan mengeluarkan rekomendasi aman untuk tetap digunakan dan disetujui juga keamanannya oleh WHO. Kejadian bekuan darah karena vaksin ini memiliki karakteristik yang sangat spesifik yaitu; terjadi pada bagian yang tidak biasa di tubuh seperti abdomen (splanchnic vein thrombosis) dan otak (cerebral venous sinus thrombosis) yang justru diiringi dengan kondisi trombosit di bawah normal pada penderitanya. Efek ini sudah lama dikenal di dunia medis karena mirip dengan kejadian seorang yang menggunakan obat pengencer darah golongan heparin, sehingga biasa dikenal dengan heparin-induced thrombocytopenia (HIT). Sampai awal Juni 2021 ini, para peneliti masih belum yakin bagian mana dari vaksin Oxford-AstraZeneca (AZ) ini yang menyebabkan fenomena tersebut, karena pada vaksin lain yang mirip yaitu Johnson & Johnson, tidak mencetus kondisi HIT ini.
Baca artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Walaupun efek samping ini termasuk serius, tapi penting bagi kita untuk melihatnya dengan persepsi yang lebih luas. Sampai awal Juni 2021, sudah lebih dari 25 juta dosis vaksin ini di suntikkan di Eropa dengan kejadian bekuan darah ditemukan pada 86 kasus. Berarti angka kejadian efek samping bekuan darah tersebut hanya terjadi pada 1 dari setiap 290 ribu orang atau 3 sampai 4 orang dari setiap 1 juta dosis yang disuntikkan. Penyakit C19 sendiri malah memiliki resiko lebih besar dari itu untuk mencetus pembekuan darah yaitu 7.8% dari keseluruhan kasusnya yang mencetus emboli paru, disamping 11.2%-nya mengalami deep vein thrombosis. Pembekuan darah yang terjadi pada 86 orang tersebut, sebagian besar adalah wanita dengan usia di bawah 60 tahun.
Namun di Inggris, BPOM mereka yaitu UK medicine and healthcare products regulatory agency (MHRA), tetap merekomendasikan vaksin Oxford-AZ ini diberikan bahkan untuk usia di bawah 30 tahun, dengan alasan angka kematian karena C19 untuk usia di bawah 30 tahun lebih rendah sehingga mereka dianggap sebagai kelompok yang kuat. Negara lain seperti Prancis melarang vaksin ini diberikan untuk usia di atas 55 tahun dan di Jerman dilarang untuk di atas 60 tahun. Sementara ada negara seperti Denmark yang sempat menghentikan sama sekali penyuntikannya. Kekhawatiran ini membuat dilakukan uji klinis baru di AS secara independen. Hasilnya justru di luar dugaan, karena tidak ditemukan sama sekali kasus bekuan darah dari 21 ribu subjek penelitiannya.
Tanda dan Gejala Efek Samping
Dunia kini memahami adanya efek samping dari vaksin Oxford-AZ, sehingga kejadiannya lebih bisa dicegah. Dari setiap 1 juta dosis vaksin yang disuntikkan, harus diwaspadai adanya kejadian pembekuan darah pada 3-4 orang dalam waktu 4 jam sd. 2 minggu setelah penyuntikan, terutama setelah suntikan pertama. Saat ini terjadi, yang bersangkutan akan menimbulkan gejala yang dapat menjadi petunjuk bagi yang bersangkutan dan tenaga medis untuk segera memberikan tindakan. Gejala yang harus diwaspadai tersebut merupakan gejala terjadinya bekuan darah di abdomen dan otak, dan gejala turunnya trombosit di dalam darah; dengan tanda-tanda:
- Nafas pendek dan/atau nafas berbunyi (wheezing)
- Nyeri dada
- Bengkak di tungkai dan/atau kaki
- Nyeri perut yang tidak kunjung hilang
- Sakit kepala yang berat
- Pandangan kabur
- Gejala-gejala neurologis lainnya
- Kulit biru-biru seperti bekas terpentok
- Bintik merah di kulit mirip pada demam berdarah Dengue.
Harga yang Murah
Secara biaya produksi, jenis viral vector vaccine seperti dari Oxford-AZ ini memang terbilang murah. Selain itu vaksin bisa didistribusikan dengan suhu refrigerator biasa, bahkan dapat disimpan di kulkas sampai 6 bulan. Hal ini membuat banyak negara menggunakannya. Sampai awal Juni 2021 ini sudah 70 negara termasuk Indonesia yang memberikan EUA vaksin Oxford-AZ ini. Negara kaya seperti AS dengan populasi hanya seperlima dari populasi dewasa dunia, memesan dan menggunakan lebih dari 50% total produksi vaksin dunia. Membuat keberadaan vaksin murah seperti Vaxzevria menjadi pilihan yang sangat baik untuk negara-negara miskin di dunia.
Satu Daerah/Negara Menggunakan Vaksin Berbeda
Sesuai ilmu epidemiologi, semakin banyak jenis vaksin yang berbeda bisa disuntikkan pada satu daerah (dalam hal ini negara) kepada orang yang berbeda, maka akan semakin tinggi kemungkinan dan juga semakin cepat kekebalan komunitas dapat tercipta. Inilah sebabnya, setiap negara di dunia mempersiapkan lebih dari 1 jenis vaksin yang akan disuntikkan di negaranya. Tidak melihat vaksin tersebut dari negara mana dan apa jenisnya. Tentu disesuaikan dengan karakteristik wilayahnya masing-masing terkait upaya pendistribusiannya. Misalnya di AS, Eropa dan China yang jaringan pendistribusian barangnya sudah baik, bisa menggunakan hampir semua jenis vaksin. Tapi Indonesia dengan negara kepulauan dengan banyaknya daerah terpencil serta beriklim tropis tentu tidak akan menggunakan vaksin yang harus didistribusikan dalam suhu yang ultra dingin. Sampai awal Juni 2021 yang tersedia di Indonesia adalah CoronaVac dan Vaxzevria.
Vaxzevria vs. CoronaVac di Indonesia
Sampai awal Juni 2021 ini, di Indonesia sudah 2 jenis vaksin yang disuntikkan yaitu CoronaVac dari Sinovac yang kemudian diteruskan produksinya di dalam negeri oleh Biofarma, dan Vaxzevria dari Oxford-AZ yang kita bahas di sini. Berikut persamaan dan perbedaan mendasarnya:
Apa pun jenis vaksinnya, bila kesempatannya datang bagi setiap orang untuk divaksin, dan bila dirinya mau bertanggung jawab terhadap kesehatan diri, keluarga, lingkungan, dan orang lain; maka sudah pasti dirinya mau divaksinasi. Mengenai efek samping yang mungkin muncul, selama kita mengetahui tanda awal dan cara penanganannya; efek samping tersebut tidak akan berbahaya. Manfaat dari vaksin itu sendiri jauh lebih besar dibandingkan kemungkinan kecil timbulnya efek samping.
©IKM 2021-06