Sampai awal bulan November 2021 ini sudah semakin banyak penelitian yang dilakukan di dunia dan melaporkan bahwa vaksin COVID-19 (C19) aman dan dapat digunakan untuk anak. Namun masih terbatas untuk anak dari 6 tahun ke atas. Bukan berarti anak di bawah 6 tahun tidak akan bisa mendapatkan vaksin C19, hanya saja penelitiannya belum selesai dilakukan. Di dunia medis semua keputusan harus berdasarkan penelitian yang mengutamakan keselamatan dan manfaat dari tindakan medis yang diberikan, termasuk tindakan vaksinasi. Tapi yang jelas sd. awal November 2021 ini sudah ada beberapa vaksin C19 yang mendapatkan EUA (emergency use authorization) oleh WHO untuk diberikan kepada anak 6 tahun ke atas.
Berbeda dengan penelitian vaksin untuk dewasa, penelitian vaksin pada anak lebih banyak variabelnya. Yang paling penting adalah mencari dosis tepat untuk diberikan pada anak agar tercapai tujuannya yaitu dapat menciptakan kekebalan dengan tetap aman. Dosis vaksin pada anak bisa berbeda tapi bisa juga sama dengan dosis yang diberikan pada dewasa. Karena tidak seperti obat yang hampir selalu berbanding lurus dengan berat badan, dosis vaksin tergantung kepada kemampuan vaksin tersebut untuk menciptakan antibodi penetral (neutralizing antibody) yang tidak selalu berbanding lurus dengan berat badan. Penelitian pada anak yang dibedakan pada beberapa kelompok umur harus dilakukan karena kematangan sistem daya tahan tubuh pada anak masih dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda dengan orang dewasa.
Di antara vaksin-vaksin C19 yang ada saat ini, sampai awal November 2021 ini ada tiga yang sudah menyelesaikan uji klinisnya pada anak 6 tahun ke atas, sehingga mendapatkan EUA dari WHO yang diikuti oleh banyak negara di dunia. Ketiga vaksin tersebut adalah:
- Pfizer BioNTech yang malah sedang diteliti pemberian untuk kelompok umur 2-5 tahun
- Moderna
- CoronaVac dari Sinovac atau Biofarma
Peran dan Izin Orang Tua
Sayangnya tidak semua orang tua di dunia yakin dan memberi izin anaknya mendapatkan vaksin C19. Sebenarnya ini bukan hal baru, karena masih banyak orang tua yang juga tidak memberikan semua atau sebagian imunisasi/vaksinasi untuk anaknya dengan berbagai alasan (baca dalam artikel lain tentang masalah ini). Tapi tidak sedikit juga orang tua di dunia yang sangat ingin dan menanti-nanti agar anaknya bisa mendapatkan vaksin C19. Mereka adalah orang tua yang paham benar tentang C19 dan khawatir bila anaknya harus terkena penyakit ini. Selain itu mereka ingin anaknya bisa kembali sekolah tatap muka tanpa terlalu merasa khawatir. Terakhir, ada kelompok orang tua yang berada di tengah, mereka masih ragu, dan melakukan wait and see. Mereka mau melihat dulu efeknya pada anak-anak lain baru memutuskan apakah mengizinkan atau tidak untuk diberikan pada anaknya.
Kasus COVID-19 pada Anak Semakin Tinggi
Karena semakin tinggi persentase orang di atas 12 tahun yang mendapatkan vaksinasi, membuat kasus baru C19 semakin menurun pada kelompok umur tersebut. Sementara anak di bawah 12 tahun belum mendapatkan vaksinasi, sehingga kasus C19 pada mereka terlihat semakin tinggi. Sebenarnya dari jumlah kasus terhadap total populasi sesuai kelompok umur anak di bawah 12 tahun tidak berubah, tapi dari total keseluruhan kejadiannya menjadi meningkat, karena kelompok usia di atas 12 tahun kini sudah lebih kuat sehingga jarang yang menjadi sakit atau hanya menjadi OTG.
Pentingnya Vaksinasi C19 pada Anak
Memang benar, anak di bawah 12 tahun jarang yang sampai menjadi sakit parah bila terkena C19. Tapi jarang bukan berarti tidak ada, kejadiannya tetap ada dan bisa sampai menjadi parah bahkan mencetus kematian, terutama pada anak yang memiliki comorbid. Beberapa kasus C19 pada anak ada yang sampai ditemukan (MIS) multisystem inflammatory syndrome atau sindroma peradangan multi sistem di dalam tubuhnya yang terjadi mingguan bahkan bulanan setelah terkena C19. Sudah pasti ini akan mencetus gangguan kesehatan jangka panjang pada anak, dan mengganggu tumbang kembang mereka.
Lalu memang benar bahwa mereka bisa mendapat kekebalan aktif secara alami tanpa harus menderita sakit, yaitu ketika mereka terpapar virus SARS-CoV-2 dan hanya menjadi OTG. Tapi selama mereka menjadi OTG tersebut, selama itu pula mereka dapat menularkan kepada anak lain yang memiliki comorbid, atau kepada orang dewasa yang belum atau tidak divaksin karena berbagai alasan. Bahayanya bila anak di bawah 12 tahun ini tidak divaksin, adalah tubuh mereka bisa menjadi tempat bagi virus SAR-CoV-2 untuk bermutasi membentuk varian baru yang bisa lebih berbahaya. Karena virus dapat bermutasi bila ia bisa membelah diri yaitu pada tubuh host yang masih belum memiliki kekebalan.
Sehingga keberhasilan agar terciptanya herd immunity (kekebalan kelompok) terhadap virus SARS-CoV-2 penyebab C19, sangat tergantung dengan cakupan vaksinasi C19 pada anak tersebut. Karena kelompok usia anak memegang porsi yang cukup besar dari sebuah populasi. Sangat sulit mencapai angka terciptanya kekebalan 70% bila hanya terdiri dari orang dewasa saja. Berarti semakin cepat vaksinasi pada anak bisa diberikan, semakin cepat pula kita bisa berharap dapat keluar dari pandemi ini dengan terciptanya herd immunity, karena virus semakin tidak memiliki tempat atau host untuk bisa membelah diri apa lagi bermutasi membentuk varian baru.
Baca artikel lainnya di Blog dr. Indra K. Muhtadi
Mungkin hal yang paling menjadi kekhawatiran orang tua adalah efek samping yang mungkin terjadi pada anak saat mereka mendapat vaksinasi C19. Dari penelitian yang sudah dilakukan pada beberapa jenis vaksin, efek samping atau KIPI (kejadian ikutan paska imunisasi) yang terjadi pada anak tidak berbeda dengan yang terjadi pada dewasa. Yang paling umum adalah sakit pada daerah suntikan yaitu di lengan atas. Mulai dari sakit pada lokasi tusukan jarum sampai merasa pegal pada seluruh lengan bagian atas. Lalu yang juga umum terjadi adalah anak menderita demam ringan. Kedua KIPI ini terjadi tidak terlalu lama, dan dapat dibuat ringan keluhannya dengan memberikan paracetamol. KIPI yang berat diperkirakan hanya akan terjadi 1 dari setiap 1 juta kasus yang juga dapat ditangani.
Vaksinasi C19 untuk Anak di Indonesia
Di Indonesia kisah vaksinasi untuk anak < 12 tahun dimulai pada 1 November 2021 lalu ketika BPOM RI memberikan EUA atau izin penggunaan darurat untuk CoronaVac baik yang diproduksi langsung oleh Sinovac maupun oleh Biofarma. Kepala BPOM RI, Penny K. Lukito menyampaikan dalam siaran persnya bahwa pemberian vaksin C19 pada anak menjadi sesuatu yang urgent apa lagi pembelajaran tatap muka sudah dimulai. Untuk mendukung program ini Biofarma pun menjamin ketersediaan vaksin C19 untuk anak tersebut dengan mendatangkan vaksin CoronaVac langsung dari Sinovac sebanyak 40 juta dosis dalam bentuk finished product dan pendistribusian akan langsung dimulai setelah ada perintah pengalokasian dari Kemenkes.
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr. Piprim B Yanuarso mengatakan bahwa IDAI menyambut baik EUA yang dikeluarkan oleh BPOM RI ini dan akan membantu mensukses-kan program vaksinasi C19 untuk anak ini. Hal ini didasari oleh hasil uji klinis vaksin CoronaVac pada anak menunjukkan persentase imunogenisitas yang cukup tinggi yaitu 96% dengan data efikasi sama seperti pada orang dewasa. Dengan demikian, di awal November ini, anak Indonesia tinggal menunggu informasi dari Kemenkes saja kapan penyuntikan tersebut bisa dimulai. Diharapkan sekitar 20 juta anak Indonesia usia 6-11 tahun dapat mendapatkan vaksinasi tersebut, sehingga tambah mendekatkan kita kepada herd immunity di Indonesia.
Rekomendasi IDAI
Satu hari setelah BPOM RI mengeluarkan EUA untuk CoronaVac, IDAI pada tgl. 2 November 2021 langsung mengeluarkan rekomendasi dengan dasar sbb.:
- Tentunya karena sudah ada EUA dari BPOM RI
- Telah dimulainya pembelajaran tatap muka
- Pentingnya secara terus menerus mengontrol transmisi C19
- Proporsi kasus C19 pada anak di Indonesia mencapai 13%
- Anak dapat tertular dan menularkan dari dan ke orang lain di sekitarnya, walau tanpa gejala
- Pembelajaran dari beberapa negara dunia yang melaporkan peningkatan kasus rawat inap pasien anak dengan C19.
Atas dasar tersebut maka IDAI memberi rekomendasi sbb.:
- Vaksinasi C19 CoronaVac pada anak sudah bisa dilakukan
- Vaksin CoronaVac diberikan secara intramuscular dengan dosis 3µg atau 0.5cc sebanyak 2 kali dengan jarak dosis pertama dan kedua yaitu 4 minggu, sama seperti dewasa
- Ada anak yang tidak bisa mendapatkan vaksinasi (kontra indikasi) yaitu mereka yang memiliki defisiensi imun primer dan penyakit autoimun yang tidak terkontrol, anak penderita kanker yang sedang menjalani kemoterapi /radioterapi, mendapatkan terapi immunosuppressant /sitostatika berat, demam 37.5°C, baru sembuh dari C19 kurang dari 3 bulan, paska imunisasi lain kurang dari 1 bulan, atau memiliki hipertensi, diabetes, dan penyakit kronis lain yang tidak terkendali.
Vaksin C19 untuk Anak akan Diwajibkan
Seperti juga vaksin C19 untuk dewasa & anak usia 12-18 tahun, vaksin C19 untuk anak 6-11 tahun juga akan diwajibkan oleh seluruh pemerintah di dunia, termasuk di Indonesia. Mewajibkan vaksin untuk anak bukanlah sesuatu yang baru, di mana sejarahnya dimulai sejak tahun 1850 di Massachusetts, AS saat terjadi endemi campak di sana. Di Indonesia sendiri vaksinasi yang diwajibkan untuk anak adalah BCG, DPT, Polio, Hepatitis B, dan Campak. Dimulai dari pandemi ini sangat besar kemungkinan C19 pun akan masuk dalam daftar tersebut. Memang saat ini pembelajaran tatap muka sudah dimulai sebelum anak usia 6-11 tahun divaksinasi. Tapi setelah program ini berjalan, maka hanya anak yang sudah tervaksin saja yang diizinkan untuk bisa ke sekolah untuk mengikutinya. Kecuali tentunya dalam kondisi khusus yang disarankan oleh dokter.
Anak yang Tidak Divaksin
Dalam perjalanannya nanti, akan ada anak yang tidak mendapatkan vaksinasi. Baik karena kondisi anak tersebut yang tidak boleh divaksin seperti dalam rekomendasi dari IDAI di atas, ataupun karena tidak diizinkan oleh orang tuanya. Tidak akan ada paksaan terhadap kewajiban vaksinasi karena merupakan hak asasi setiap orang. Tapi yang tidak divaksin juga harus bisa menerima batasan yang berlaku untuk dirinya. Di Indonesia batasan ini diatur dengan efektif melalui aplikasi PeduliLindungi. Hal ini penting untuk dilakukan karena anak dan orang yang tidak divaksin seyogyanya tidak melakukan aktivitas yang melibatkan orang banyak di sekitar mereka.
Kepentingan pembatasan tersebut bukan hanya untuk orang lain tapi juga untuk anak yang tidak divaksin.
- Terhadap anak yang tidak divaksin pembatasan tersebut menjadi penting, karena sampai kapanpun selama herd immunity belum terbentuk, mereka beresiko untuk terkena C19 yang bisa sampai mengancam nyawa.
- Terhadap orang lain di sekitarnya pembatasan tersebut malah jauh lebih penting lagi. Karena ketika ada anak yang tidak divaksin dan di tubuhnya terdapat SARS-CoV-2 tanpa bergejala sehingga ia tidak mengetahuinya, anak tersebut layaknya seperti zombie yang siap mencari mangsa. Teman, guru, dan orang lain yang kontak erat dengan dirinya beresiko untuk tertular.
- Terhadap dunia ternyata juga diperlukan pembatasan tersebut, karena tubuh anak dan orang yang tidak divaksin dapat menjadi tempat bagi virus SARS-CoV-2 untuk membelah diri dan bermutasi menghasilkan varian baru yang sangat berpotensi lebih berbahaya. Hal ini akan berujung pada menurunnya kemampuan vaksin yang ada saat ini karena belum tentu dapat memberikan perlindung-an terhadap varian baru, dan yang pasti akan lebih menenggelamkan kita pada pandemi yang tanpa ujung.