Sampai tgl. 14 Oktober 2021 dari website https://covid19.go.id jumlah penduduk Indonesia terkonfirmasi positif COVID-19 (C19) berjumlah 4.232.099 orang atau sekitar 1,53% dari total penduduk Indonesia. Yang dinyatakan sudah sembuh 4.069.399 orang atau 96,16%, sementara yang terkonfirmasi meninggal karena C19 ini 142.848 orang atau 3,38%. Ini berarti sampai dengan tanggal tersebut, yang masih sakit tinggal 0,46% atau sekitar 19.467 orang lagi dari total kasus. Angka ini sudah sangat kecil sekali, apa lagi jumlah kematian per hari sudah mendekati angka nol di seluruh Indonesia. Dengan demikian PSBB dan PPKM sudah bisa mulai dilonggarkan, dan anak sekolah bisa kembali ke sekolah walaupun dengan tetap menjalankan prokes. Namun ada hal-hal lain yang harus kita perhatian terutama orang tua dan guru agar anak-anak tetap aman dan sekolah tidak menjadi sumber penyebaran C19 yang baru.
Membuka kembali sekolah agar anak-anak bisa belajar tatap muka secara offline (luring) seperti sebelum pandemi, sangat banyak pertimbangannya, karena sekolah memiliki faktor resiko yang unik. Sebelum Indonesia mencobanya, negara-negara dengan penyebaran C19 yang lebih terkontrol sudah lebih dulu melakukannya dan melaporkan angka penularan di sana kembali naik. Dibukanya kembali sekolah memang sangat bermanfaat bagi tumbuh kembang anak dan kecerdasan sosial mereka, tapi keamanan dan keselamatan jauh di atas itu semua. Tak ayal hal ini mencetus pro dan kontra tentang kapan dan bagaimana harus membuka kembali sekolah untuk tatap muka.
Keputusan untuk membuka kembali sekolah harus mencakup persetujuan segi tiga, yaitu pemerintah sebagai regulator yang memberikan izin dan batasan, pihak sekolah, dan orang tua. Di saat ketiganya sudah setuju, barulah sekolah tatap muka bisa dilaksanakan kembali. Berbeda dengan pusat perbelanjaan yang hanya dua pihak yaitu pemerintah dan pengelola mal saja. Sementara pemilik tenant dan pengunjung bisa memutuskan untuk tidak datang ke mall atau setuju dan mengunjunginya. Menemukan keseimbangan ketiga pihak inilah yang membuat keputusan membuka kembali sekolah menjadi lebih unik. Berbeda dengan membuka pusat perbelanjaan di mana interaksi orang di sana cendrung sebentar, membuka kembali sekolah harus memitigasi kemungkinan paparan anak terutama yang tidak atau belum bisa divaksinasi, karena durasi paparan dan resiko mereka lebih tinggi dari sekedar main ke mall.
Resiko Sekolah Menjadi Cluster-Cluster Baru
Hal yang paling tidak kita inginkan adalah ketika sekolah akan menjadi cluster-cluster baru penyebaran C19, bila semua faktor resikonya tidak termitigasi dengan baik. Walaupun kasus C19 pada anak banyak yang bersifat sub klinis atau mereka hanya sekedar menjadi OTG, tapi mereka dapat menjadi sumber bencana bagi orang dewasa di keluarga dan gurunya. Apa lagi yang sudah manula atau yang memiliki faktor comorbid. Jelas di sini pertimbangan membuka sekolah bukan hanya untuk anak tapi juga kepada pihak keluarga mereka di lingkungan rumah dan guru. Selain harus banyak syarat dan protokol kesehatan yang harus terpenuhi dan dilaksanakan, pihak sekolah terutama guru juga diharuskan memiliki tugas tambahan yaitu mengawasi anak didiknya untuk selalu mematuhi syarat dan prokes tsb.
Persyaratan yang Harus Terpenuhi
Syarat utama yang harus terpenuhi adalah keputusan dari regulator untuk mengatakan suatu daerah sudah lebih aman dari resiko penularan C19. Di Indonesia suatu daerah dilabel dengan warna. Hitam bila sangat tidak aman, merah bila tidak aman, orange berada antara aman dan tidak, kuning bila mulai lebih aman, dan hijau bila sangat aman. Label ini selalu berubah-ubah sesuai dengan angka kasus baru dan kematian dari C19 di daerah masing-masing. Idealnya sekolah baru dapat dibuka bila suatu daerah berlabel hijau, dan kembali harus ditutup bila label hijau berubah kembali menjadi yang lebih berbahaya.
Syarat kedua adalah cakupan vaksinasi personil sekolah, keluarga siswa, dan siswa itu sendiri. Seluruh orang termasuk guru, staf, sampai keamanan dan petugas (office boy), lalu seluruh anggota keluarga, serta seluruh siswa (sampai tengah Oktober 2021 ini yang berusia 12 tahun ke atas); harus 100% sudah tervaksinasi lengkap (2 kali). Bila ada dari pihak sekolah, keluarga atau siswa di atas 12 tahun yang tidak bisa, belum, atau tidak mau divaksin; maka anak-anak di dalam keluarga tersebut, sebaiknya belum bersekolah tatap muka, dan personil sekolah tersebut tidak diizinkan untuk berada di lingkungan sekolah. Sementara anak di bawah 12 tahun, rekomendasi terakhir yang diterapkan di luar negeri dan kemudian diadaptasi di Indonesia adalah mereka bisa melakukan sekolah tatap muka, selama syarat-syarat lainnya bisa terpenuhi.
Syarat ketiga adalah ada atau tidaknya penyakit comorbid baik pada personil di sekolah, keluarga, dan pada siswa sendiri. Semua personil sekolah yang memiliki comorbid, idealnya tidak diizinkan untuk berada di lingkungan sekolah. Semua keluarga yang anggota keluarganya memiliki penyakit comorbid idealnya anak-anak yang berada di keluarga tersebut juga belum melakukan sekolah tatap muka. Begitu pula dengan anak sendiri yang memiliki comorbid baik sudah divaksin, apa lagi yang belum divaksin, idealnya masih melakukan PJJ dulu.
Syarat keempat adalah sarana dan prasarana di sekolah untuk mendukung pembelajaran tatap muka di masa pandemi yang mencakup: pengadaan alat cek suhu tubuh, memperbanyak tempat mencuci tangan, memperbaiki ventilasi ruang kelas, pengadaan alat bantu pembelajaran dan kurikulum yang meminimalisir sentuhan fisik, membuat ruangan isolasi bila ada guru, staf, atau siswa yang dicurigai sakit, serta mengatur cara transportasi siswa ke dan dari sekolah yang paling efisien dalam rangka mencegah penularan.
Baca artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Selain syarat-syarat seperti di atas ada protokol kesehatan yang senantiasa harus dilakukan dengan kondisi ideal sbb.:
- Semua guru, staf, dan siswa, harus dalam keadaan sehat. Bila ada yang sakit, apa pun sakitnya, maka mereka tidak diizinkan untuk datang ke lingkungan sekolah.
- Semua anggota keluarga guru, staf dan siswa juga harus dalam keadaan sehat. Bila ada anggota keluarga yang sedang sakit, maka mereka harus tetap di rumah.
- Harus ada pemeriksaan suhu tubuh sebagai screening awal di lingkungan sekolah. Yang diperiksa bukan hanya siswa saja, tapi semua guru, staf dan juga pengantar siswa; harus memiliki suhu maksimal 37oC.
- Semua individu harus selalu menggunakan masker medis (bukan masker kain dan bukan respirator), setiap saat kecuali sedang makan, minum, dan berwudhu.
- Semua individu harus rajin mencuci tangan dan memiliki hand sanitizer sendiri yang digunakan bila jauh dari sarana cuci tangan.
- Semua individu harus menggunakan barang pribadi sendiri, buku dan alat tulis sendiri, serta alat ibadah sendiri.
- Jumlah siswa yang masuk ke dalam kelas maksimal 50 persen dari kapasitas sebelumnya atau dengan mengatur jarak idealnya minimal 2 meter di antara mereka.
- Durasi siswa di sekolah juga sedemikan rupa bisa dikurangi dibandingkan masa sebelum pandemi agar resiko durasi paparan dari dan kepada mereka juga berkurang.
- Kapanpun dan di manapun dalam lingkungan sekolah harus menjaga jarak dan tidak ada yang boleh berkerumun.
- Siswa di bawah 12 tahun harus diantar dan dijemput oleh orang yang tinggal satu rumah.
Kasus Pada Anak Tanpa Gejala
Semua pihak harus waspada terhadap kasus C19 yang dapat terjadi pada anak di mana sebagian besarnya tanpa gejala. Penelitian sudah membuktikan bahwa melakukan tracking C19 tidak bergejala pada anak bisa membantu mencegah lonjakan kasus. Bahkan sampai disejajarkan efisiensinya dengan tindakan vaksinasi pada anak itu sendiri khususnya pada anak di bawah 12 tahun yang sampai pertengahan Oktober 2021 ini belum bisa mendapatkan vaksinasi. Jadi bila mana saat sekolah dibuka didapati ada keluarga dari anak yang terkonfirmasi C19, maka idealnya di sekolah tersebut dilakukan contact tracing terhadap semua orang yang kontak erat dengan anak yang bersangkutan, lalu tidak mengizinkan mereka berada di lingkungan sekolah sampai bisa dibuktikan aman. Idealnya dilakukan pemeriksaan swab untuk memastikannya.
OTG C19 termasuk pada anak dibagi menjadi 3 kategori yang harus dimengerti oleh semua orang di lingkungan sekolah:
- Asymptomatic atau tidak bergejala sama sekali
- Presymptomatic yaitu belum bergejala
- Pauci-symptomatic adalah mereka yang bergejala, tapi sangkin ringannya tidak dicurigai sebagai kasus C19.
Kasus Baru dari Anak di Bawah 12 Tahun
Kita sering mendengar bahwa cakupan vaksinasi harus bisa menciptakan 70% kekebalan pada suatu kelompok untuk dapat tercipta herd immunity (kekebalan kelompok). Tapi penelitian terbaru melaporkan bahwa tingginya kejadian kasus C19 pada anak tanpa gejala, membuat angka 70% itu menjadi kurang. Cakupan vaksinasi sampai di atas 80% barulah diduga dapat menciptakan kekebalan kelompok. Kecuali anak di bawah 12 tahun bisa mendapatkan vaksinasi, barulah kita kembali ke angka 70% tersebut. Karena saat ini ketika semakin banyak orang di atas 12 tahun yang mendapatkan vaksinasi, semakin banyak kasus C19 baru yang justru ditularkan dari anak-anak di bawah 12 tahun kepada dewasa terutama yang belum tervaksinasi. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut tidak ada cara lain yang ideal selain melakukan tes secara berkala kepada seluruh insan di sekolah dan pada peserta didik.
Varian Baru C19 pada Anak
Virus termasuk SARS-CoV-2 penyebab C19 bisa bermutasi menciptakan varian baru hanya bila ia bisa membelah diri. Ia hanya bisa membelah diri bila ia bisa masuk ke dalam sel. Ia bisa masuk ke dalam sel bila orang yang bersangkutan tidak kebal. Artinya mereka yang tidak kebal alias tidak tervaksinasi, termasuk anak di bawah 12 tahun sangat berpotensi menjadi tempat bagi virus untuk membelah diri, bermutasi, dan menciptakan varian baru, terlepas dari yang bersangkutan sampai menjadi sakit atau tidak (sekedar OTG). Membuka kembali sekolah tanpa perencanaan, persiapan dan mitigasi yang tepat, hanya akan memperbesar kemungkinan anak di bawah 12 tahun menjadi super spreader dan membuat pandemi ini semakin lama harus kita jalani.
Cakupan Vaksinasi di Indonesia
Sampai tgl. 14 Oktober, data dari website https://covid19.go.id melaporkan cakupan vaksinasi ke-1 di Indonesia baru pada 104.308.702 orang atau sekitar 37.61%, sementara vaksin ke-2 baru disuntikkan pada 60.422.073 atau baru sekitar 21.79% dari total penduduk Indonesia. Bila kita menunggu mencapai angka 70% apa lagi 80%, bisa memakan waktu setidaknya 1-2 tahun lagi. Itupun dengan catatan vaksin akan selalu tersedia. Tidak mungkin kita menunggu selama itu untuk baru memutuskan membuka kembali sekolah tatap muka. Karenanya, dengan senantiasa melakukan mitigasi secara real time, senantiasa melakukan screening dan contact tracing, tanpa lelah menjalankan protokol kesehatan, serta memastikan semua orang dewasa di sekitar anak sudah tervaksinasi; setidaknya kita bisa menekan kemungkinan penularan C19 yang berasal dari anak, sambil menunggu anak di bawah 12 tahun bisa mendapatkan vaksin C19, yang masih dalam tahap penelitian.
Perkembangan Jiwa Anak
Hal terakhir yang tidak boleh luput dari perhatian kita semua adalah dampak psikis dan perkembangan jiwa anak karena pandemi ini. Sambil kita membuat semua aspek dalam membuka kembali sekolah tetap aman, juga harus difikirkan metoda dan cara agar anak tidak mengalami trauma dan PTSD (post traumatic stress disorder). Kembali ke sekolah harus senantiasa dibuat fun dan menarik. Jadikan itu aktivitas yang mereka nikmati, senang kembali bertemu guru dan teman di lingkungan sekolah. Jadikan keharusan menuruti syarat dan protokol kesehatan seperti yang dibahas di atas, apa lagi bila mereka harus diperiksa secara rutin dalam usaha tracking yang dilakukan di sekolah; menjadi aktivitas yang menarik dan mereka ikuti dengan suka rela, tanpa adanya keterpaksaan.
©IKM 2021-10