Pada awal pandemi, para ahli penyakit infeksi percaya bahwa kita pada masanya akan mencapai kondisi herd immunity atau kekebalan kelompok terhadap SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19 (C19). Yaitu ketika sebagian besar populasi telah mendapatkan proteksi baik melalui vaksinasi ataupun terinfeksi secara langsung. Tapi sekarang sebagian besar ahli setuju bahwa C19 tidak akan hilang dan pandemi ini akan bertransisi menjadi endemi, dan pada beberapa wilayah dunia tetap akan dapat terjadi epidemi. Di bagian bawah akan dijelaskan perbedaan pandemi, endemi, dan epidemi. Tapi yang jelas C19 menjadi endemi, bukan berarti kita bisa terbebas sama sekali, melainkan kita harus belajar hidup berdampingan dengannya.
Sebelum kita membahas lebih jauh, mari dipahami dulu perbedaan antara pandemi, endemi, dan epidemi:
Pandemi: Kondisi kejadian infeksi suatu penyakit menular hampir terjadi di seluruh bagian dunia, dengan angka kejadian yang tinggi/sangat tinggi. Contohnya pandemi C19.
Endemi: Kondisi kejadian infeksi suatu penyakit menular hanya terjadi di beberapa bagian dunia/negara/wilayah, dengan angka kejadian yang rendah. Contohnya endemi DHF di beberapa negara atau wilayah di Indonesia.
Epidemi: Kondisi kejadian infeksi suatu penyakit menular terjadi pada bagian tertentu di dunia/negara/wilayah, dengan angka kejadian yang tinggi/sangat tinggi. Contohnya epidemi Ebola yang hanya terjadi di negara-negara tertentu di Afrika Barat.
Dari definisi di atas, jelas bahwa endemi C19 bukan berarti kita bisa terbebas dari penyakit ini lalu dapat kembali beraktivitas seperti sebelum pandemi terjadi sebelum Desember 2019. Penyakit ini akan tetap ada di dunia, tapi morbiditas (angka kejadian) dan mortalitas (angka kematian) sudah turun dan jauh lebih rendah dibandingkan ketika pada puncaknya. Artinya walaupun nanti penularannya sudah bisa mulai dikendalikan, tapi jumlah orang yang meninggal akan tetap ada, belum hilang sama sekali. Ini terjadi karena SARS-CoV-2 penyebab C19 ini masih tetap ada dan kita hidup berdampingan dengannya. Dengan demikian pada masa endemi C19, kita harus sudah bisa sangat mengerti bagaimana caranya hidup dan beraktivitas dengan ancaman C19 yang masih ada di sekitar kita.
Faktor Penentu Pandemi Menjadi Endemi
Pandemi C19 tidak semerta-merta berubah menjadi endemi begitu saja. WHO sebagai lembaga yang berwenang untuk penetapan tersebut didukung oleh pendapat banyak ahli dari banyak negara. Mereka melihat beberapa faktor penentu spt:
- C19 masih tidak bisa dieliminasi 100%.
- Angka morbiditas dan mortalitas menurun signifikan.
- Kemampuan fasilitas pelayanan kesehatan lebih tinggi dari angka kasus yang harus mendapatkan layanan.
- Reproduction rate (atau laju penularan dari 1 orang ke orang lain) berada di angka 1. Artinya 1 orang penderita hanya menularkan ke 1 orang saja, tidak lebih.
- Jumlah populasi yang tervaksinasi lengkap atau bahkan mendapatkan vaksin booster sudah cukup tinggi.
Dunia vs. Indonesia
Mari kita bandingkan antara dunia dan Indonesia dalam menyikapi kelima faktor di atas (pada awal Maret 2022 ini):
Nomor 1: Baik di dunia maupun di Indonesia sudah jelas C19 masih tidak bisa dieliminasi 100%.
Nomor 2: Angka morbiditas dan mortalitas di Indonesia dan di dunia sudah sama-sama menurun.
Nomor 3: Kemampuan fasilitas layanan kesehatan baik di dunia dan di Indonesia masih lebih tinggi dari angka kasus.
Nomor 4: Reproduction rate untuk dunia diyakini sudah ada di sekitaran angka 1. Tapi di Indonesia walaupun pada 3 bulan terakhir sudah turun di angka 0,72, namun varian Omicron menaikkan kembali reproduction rate Indonesia ke angka 1,88.
Nomor 5: Di dunia sudah 10,8 miliar dosis vaksin yang disuntikkan dengan 4,39 miliar orang tervaksinasi lengkap (56,2%). Secara persentase Indonesia berada di urutan ke-5 dunia setelah China, India, AS, dan Brazil. Di Indonesia sudah 349 juta dosis disuntikkan, dengan 145 juta orang tervaksinasi lengkap (52,8%).
Dari kelima faktor di atas, sepertinya dunia memang sudah mulai pada masa transisi antara pandemi ke endemi, walaupun masih ada negara-negara yang masih belum memenuhinya. Bila dilihat di Indonesia ada satu faktor yaitu reproduction rate yang masih belum dapat terpenuhi. Angka penularan kasus baru dari satu orang yang terinfeksi di Indonesia mendekati angka 2, yang berarti 1 orang penderita C19 masih bisa menularkan ke 2 orang lainnya. Bila angka ini bertahan atau tidak dapat diturunkan, maka transisi pandemi dan endemi di Indonesia akan banyak mengalami rintangan. Namun dengan cakupan vaksinasi yang sudah lebih dari separuh warga negara kita dan mendekati angka dunia, diharapkan reproduction rate yang mendekati 2 itu hanya akan menyebabkan kondisi sakit yang tidak berat.
Kondisi Infeksi pada Sebuah Endemi
Bila dilihat dari kondisi infeksinya, sebuah penyakit yang dimasukkan ke dalam kategori endemi, adalah berarti setiap orang yang masih hidup diasumsikan sudah pernah terpapar kuman penyebabnya dengan derajat sakit yang beragam. Bisa sakit berat, sakit sedang, sakit ringan, atau tidak bergejala (OTG). Hal ini disampaikan oleh Dr. Jason Gallagher, profesor ahli penyakit infeksi dari Temple University’s School of Pharmacy di Philadelphia, AS. Yang membedakan kondisi sakit tersebut adalah keberadaan virus neutralizing antibody (antibodi penetral virus) di dalam tubuh seseorang yang bisa didapatkan secara pasif dengan vaksinasi atau secara aktif saat dirinya benar terinfeksi.
Baca artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Omicron VoC Terakhir
Apakah varian Omicron dari C19 ini merupakan varian of concern (VoC) terakhir, sehingga dunia bisa beralih dari pandemi menjadi endemi? Pertanyaan ini akan tetap menjadi pertanyaan sampai kita benar menjalaninya. Yang jelas varian baru berkemungkinan besar sekali akan muncul, walaupun diprediksi tidak akan menjadi VoC yang baru karena sudah banyak yang mendapatkan vaksinasi atau sudah terinfeksi sebelumnya. Tapi kemungkinan akan munculnya VoC baru yang dapat membuat dunia masih terpuruk di dalam pandemi juga tetap ada. Hal ini dimungkinkan bila varian baru bermutasi lalu membuatnya menjadi mudah untuk bertransmisi di antara orang tanpa gejala. Sampai pada akhirnya bisa mengenai orang yang tidak tervaksin, manula, atau dengan comorbid; sehingga membuat angka kematian dapat naik kembali.
Inconsistent Immunity
Yang terjadi pada awal Maret 2022 di dunia saat ini dan yang menjadi kekhawatiran para ahli adalah inconsistent immunity atau kekebalan yang tidak konsisten. Yaitu suatu kondisi pada mereka yang sudah mendapatkan vaksinasi lengkap bahkan booster, atau sudah pernah terinfeksi secara alami dan menderita C19 sebelumnya namun kembali menderita sakit yang terkadang sampai berat atau bahkan terjadi kematian. Karenanya, walaupun nanti dunia telah dikategorikan berada pada kondisi endemi C19, tetap saja kita akan melihat adanya kasus kematian; dengan atau tanpa adanya variant of concern yang baru. Apa lagi masih terdapat ketidakseragaman vaksinasi di dunia dan masih sekitar 3 miliar orang di dunia belum mendapatkan vaksinasi; membuat SARS-CoV-2 masih bisa bermutasi di dalam tubuh orang-orang tersebut.
Booster Tahunan vs. Vaksinasi Tahunan
Kondisi tersebut di atas kemungkinan besar akan membuat dunia harus melakukan satu di antara dua setiap tahun, yaitu: vaksin booster tahunan atau vaksinasi tahunan. Suntik booster tahunan adalah kembali menyuntikkan jenis vaksin yang sejenis secara rutin setiap tahun agar menjaga antibody tetap tinggi. Sementara vaksinasi tahunan adalah menyuntikkan jenis vaksin yang diperbaharui sesuai varian virus yang sedang beredar, rutin setiap tahun agar tubuh kembali dikenali oleh jenis varian baru. Vaksinasi tahunan ini sama seperti yang dilakukan terhadap pencegahan penyebaran penyakit influenza saat ini. Namun kedua cara vaksinasi ini tidak untuk setiap orang, melainkan untuk mereka yang beresiko tinggi saja seperti manula, dengan gangguan imunitas, dan dengan comorbid.
Ancaman Epidemi
Walaupun nanti dunia sudah berada pada fase peralihan lalu dikategorikan masuk berada pada kondisi endemi, beberapa negara di dunia atau wilayah di suatu negara tetap harus menghadapi ancaman epidemi. Bagi dunia, epidemi yang terjadi pada negara atau wilayah tertentu tersebut tidak menjadi gangguan aktivitas masyarakat dan perputaran ekonomi secara global. Tapi pada negara atau wilayah yang mengalami, kondisinya tidak akan berbeda dan sangat sama seperti pandemi saat ini. Di mana pertambahan kasus baru tetap tinggi, angka kematian tetap tinggi, sehingga pembatasan sosial berskala besar di sana, serta kewajiban menjalankan protokol kesehatan tetap diberlakukan. Dan ini sangat bisa terjadi di Indonesia atau setidaknya pada beberapa wilayah di tanah air.
Mencegah Terjadi Epidemi di Indonesia
Dengan masih tingginya reproduction rate pada puncak ketiga karena varian Omicron di tanah air, maka Indonesia sedikit banyak harus berjuang keras untuk mengikuti status pandemi bila “diturunkan” oleh WHO menjadi endemi. Karena boleh jadi di beberapa wilayah Indonesia masih harus mengalami epidemi yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan pandemi saat ini. Untuk mencegah hal tersebut adalah berusaha dengan segala cara menciptakan herd immunity atau kekebalan kelompok secepat-cepatnya, agar bisa menghalangi terciptanya VoC baru yang berasal dari Indonesia. Caranya adalah:
- Menggenjot cakupan vaksinasi terutama sd. vaksinasi ke-2
- Tetap melakukan tracking dan tracing guna mencegah yang sakit atau berpotensi sakit sampai menularkan penyakitnya
- Menerapkan cara karantina dan isolasi mandiri yang benar
- Tetap mempraktekkan protokol kesehatan dengan selalu memakai masker di tempat umum, rajin mencuci tangan, menjaga jarak dan menghindari kerumunan dalam berso-sialisasi, dan mengurangi mobilitas yang tidak penting.
Hidup dalam Endemi COVID-19
Keempat hal tersebut di atas harus kita lakukan sampai dunia dikategorikan sudah berada di dalam kondisi endemi. Di masa endemi C19 nanti, kita harus belajar hidup bersamanya. Tidak seketat saat di masa pandemi, tapi sudah pasti belum bisa kembali seperti dulu lagi. Berikut yang akan dilakukan baik oleh WHO, pemerintah suatu negara, dan warga dunia:
- Melakukan suntik rutin (vaksin booster atau vaksinasi tahunan – baca di atas), terutama pada yang beresiko tinggi.
- Pemerintah tetap menyiapkan budget penanganan endemi.
- Orang yang sakit harus bertanggung jawab untuk tidak keluar rumah sampai dirinya benar-benar sembuh.
- Protokol kesehatan masih dijalankan; membiasakan untuk selalu memakai masker, selalu rajin mencuci tangan, dan lebih berhati-hati dalam bersosialisasi dan dalam mobilitas.
Penutup
Akhirnya tidak akan banyak yang berubah antara pandemi dan endemi kecuali pembatasan aktivitas dan pembatasan sosial akan ditiadakan atau setidaknya diperlonggar. Restriksi bepergian antar negara akan dicabut, anak-anak akan dapat bersekolah tatap muka, dan ekonomi diharapkan bisa lebih baik. Namun yang dilakukan pada level individu akan tetap sama. Yaitu mendapatkan booster/vaksinasi rutin bila merasa diri merupakan orang beresiko tinggi, tetap harus rajin memakai masker di kerumunan dan rajin mencuci tangan, serta bertangung jawab pada lingkungan dan orang lain agar tidak beraktivitas di luar rumah bila kondisi badan sedang tidak sehat.
©IKM 2022-03