Tidak terasa sudah tiga kali Ramadhan dan akan tiga kali hari Idul Fitri kita lewati di tengah pandemi. Banyak para ahli optimis bahwa Ramadhan dan Idul Fitri kali ini adalah kali yang terakhir, karena banyak di antara para ahli tersebut yang memperkirakan bahwa kita sudah berada di ujung pandemi. Namun seperti yang pernah dibahas dalam artikel sebelumnya mengenai “Pandemi menjadi Endemi”, bukan berarti berada di ujung pandemi kita bisa serta-merta terbebas dari ancaman penyakit COVID-19 (C19) ini. Karenanya kita harus senantiasa waspada dalam mempersiapkan diri, keluarga, dan seluruh umat manusia di dunia agar selamat di ujung pandemi dan masa endemi nanti. Begitu pula dalam menjalani Ramadhan dan hari raya Idul Fitri, harus dengan cara yang benar dan tetap mawas diri.
Dalam menghadapi penyakit C19 ini dan agar termasuk orang-orang yang selamat sampai di ujung pandemi, ada satu konsep dasar yang harus dijalankan. Yaitu senantiasa menjaga kebersihan diri dan meyakinkan sistem pertahanan (immune system) dalam kondisi prima. Karena inilah cara pencegahan yang paling efektif. Kebersihan atau higienitas diri dijaga dengan lebih memilih untuk selalu menggunakan masker di tempat umum dan selalu menjaga kebersihan tangan. Sementara meyakinkan sistem imun tetap prima adalah dengan menjalani gaya hidup yang sehat, lebih memilih tetap menjaga jarak, lebih memilih tetap menghindari kerumunan, lebih memilih tetap membatasi mobilitas, dan melengkapi vaksinasi sampai dengan vaksin ke-3 (vaksin booster).
Selamat di ujung pandemi adalah meyakinkan agar sistem imunitas selalu ada pada performa optimalnya. Bila kita berbicara sistem imunitas pada orang yang berpuasa, yang sangat krusial adalah memasang niat. Niat dalam ilmu kedokteran, merupakan cara menetapkan sugesti di dalam diri. Bila berpuasa diniatkan dengan tulus dan keyakinan tinggi; tidak membuat sakit dan bisa menyehatkan seperti tuntunan Nabi Muhammad SAW. Kelompok hormon bahagia (endorphin, serotonin, oxytocin) akan terdapat tinggi di dalam tubuh, yang berujung meningkatnya kinerja sistem imun. Namun sebaliknya bila dilakukan dengan ragu atau terpaksa, tubuh tidak akan siap menjalani aktivitas puasa, yang malah akan membuat kelompok hormon-hormon stres (adrenalin dan cortisol) tinggi di dalam tubuh, sehingga berpotensi mencetus kondisi penyakit dan malah menurunkan kinerja sistem imun.
Tubuh yang Dilaparkan Ketika Berpuasa
Bila niat atau sugesti tersebut sudah positif, terjadi sesuatu yang luar biasa di dalam tubuh. Ketika tubuh seseorang lapar, maka sel-sel tubuhnya pun ikut lapar. Hal ini menciptakan kondisi siaga sehingga seluruh sistem organ akan bekerja sangat efisien. Selain itu terjadi peningkatan aktivitas autophagy dibandingkan dalam kondisi tidak berpuasa. Autophagy adalah aktivitas sel-sel yang lapar memakan sel-sel yang sudah tidak berguna yaitu sel-sel yang telah rusak atau sel-sel mati. Hal ini disampaikan oleh ilmuan Jepang bernama Dr. Yoshinori Ohsumi yang mengatakan aktivitas autophagy terjadi bila tubuh dalam keadaan lapar antara 8 sampai dengan 16 jam. Pada waktu itu tubuh membentuk protein khusus di seluruh tubuh bernama autophagosome, protein yang melakukan aktivitas autophagy.
Selain autophagy terjadi juga proses autolysis yang terjadi saat seseorang berpuasa di atas 12 jam. Autolysis adalah proses pembuangan sel-sel yang mati atau rusak di dalam tubuh. Oshumo-san menyarankan untuk berpuasa 2 atau 3 kali seminggu agar mendapatkan manfaat maksimal dari autophagy dan autolysis di atas. Berpuasa 12-14 jam sehari selama 3 hari berturut-turut juga mendorong tubuh membuat sel darah putih lebih banyak. Bagi Muslim, disunnahkan puasa Senin dan Kamis, serta diwajibkan untuk berpuasa selama 1 bulan di Bulan Ramadhan, dengan tujuan salah satunya adalah agar tubuh menjadi sehat. Suatu konsep autophagy-autolysis serta meningkatkan sistem imunitas tubuh yang sudah dituntunkan oleh Rasulullah SAW sejak 15 abad yang lalu.
Nutrisi Bulan Ramadhan di Ujung Pandemi
Kecukupan nutrisi sangat dibutuhkan oleh fungsi sistem imun di dalam tubuh, terutama di ujung pandemi ini. Namun bukan berarti memutuskan untuk tidak berpuasa, karena banyak penelitian yang melaporkan bahwa aktivitas berpuasa bila dilakukan dengan cara yang benar justru sangat bermanfaat bagi tubuh seperti yang telah dijelaskan di atas. Jadi yang harus diperhatikan adalah asupan nutrisi tetap baik selama berpuasa. Agar mendapatkan manfaat berpuasa, tapi juga meyakinkan sistem imun tercukupi kebutuhan nutrisinya untuk bekerja optimal; jangan berlebihan ketika makan, seperti yang sering dilakukan orang saat berbuka puasa. Bila tubuh terlalu sering memproses makanan apa lagi yang berkalori tinggi, akan mencetus terjadinya resistensi insulin dan penyakit-penyakit peradangan kronis.
Sebaliknya bila nutrisi tercukupkan namun tidak berlebihan yang dibagi pada saat sahur dan berbuka, pada orang yang berpuasa telah diteliti terjadi hal yang justru menyehatkan sehingga tubuh tidak mudah sakit, sbb.:
- Menjaga berat badan sehat
- Meningkatkan sensitifitas insulin, sehingga mencegah terjadinya kencing manis. Bagi yang sudah memiliki kencing manis, dapat memperbaiki kondisi gula darahnya
- Menurunkan stres oksidatif dan kejadian peradangan kronis
- Mengurangi massa lemak, sehingga menurunkan kadar kolesterol total, LDL, dan trigliserida di dalam darah
- Menormalkan tekanan darah
- Menurunkan resiko terkena kanker dan penyakit kardiovaskular
- Melindungi sel-sel syaraf dari proses penuaan seperti penyakit Alzheimer’s.
Salah satu syarat agar sistem imunitas dapat bekerja baik mencegah kondisi penyakit termasuk C19 di ujung pandemi ini adalah tubuh tidak dalam kondisi dehidrasi. Tidak minum sama sekali selama siang berpuasa tidak akan menyebabkan dehidrasi apa bila saat sahur, berbuka, dan sepanjang malam sampai tidur jumlah asupan cairan hariannya tetap tercukupi. Walaupun berpuasa pada siang harinya, seorang muslim harus tetap meyakinkan asupan minumnya sekitar 2,7 liter untuk pria dan 2,2 liter untuk wanita dari semua asupan cairan dalam bentuk minuman (di luar makanan). Minum harus dicicil sekitar 40% saat sahur, 40% saat berbuka dan 20% dari berbuka sampai menjelang tidur. Dengan demikian sistem imun akan tetap baik mengawal tubuh di ujung pandemi.
Pola Makan Berlebaran di Ujung Pandemi
Setelah seorang yang berpuasa selama sebulan di bulan Ramadhan bisa mendapatkan manfaat-manfaat dari berpuasa seperti yang diuraikan di atas, ada kekhawatiran semua manfaat tersebut menguap begitu saja di waktu lebaran. Sakit yang terjadi ketika merayakan lebaran di ujung pandemi, bisa berakibat fatal, karena virus SARS-CoV-2 masih berada di sekitar kita. Selama sistem imunitas baik, maka diharapkan tidak sampai sakit, atau minimal sakit ringan bila terpapar. Tapi pola makan berlebihan saat merayakan lebaran, justru dapat membuat sistem imunitas terganggu menyebabkan kondisi yang tidak menguntungkan di ujung pandemi ini.
Pertahankan hawa nafsu untuk tidak makan berlebihan saat merayakan lebaran. Jangan “balas dendam” dan tetap makan dan minum secukupnya ketika bersilaturahmi. Perhatikan juga asupan makanan agar pola gizi seimbang tetap terjaga. Pastikan agar karbohidrat, protein, dan serat senantiasa dikonsumsi. Tidak ketinggalan kecukupan asupan mikronutrien dari buah dan sayuran. Batasi makanan dan minuman manis dan berindeks glikemik tinggi lainnya seperti kueh-kuehan kering, tape, minuman bersoda, syrup, dll. Bukan berarti tidak boleh mengkonsumsinya, tapi jagalah agar tidak sampai berlebihan.
Aktivitas dalam Keramaian di Ujung Pandemi
Aktivitas dalam keramaian seperti ibadah di masjid akan menjadi lebih sering dilakukan saat malam hari di bulan Ramadhan. Begitu juga dengan sholat Ied pada saat lebaran dan ketika bersilaturahmi yang dilakukan dalam keramaian. Senantiasalah untuk ingat bahwa pandemi ini belum berakhir, dan resiko penularan dan penyebaran C19 masih ada, serta ancaman untuk terjadinya gelombang tinggi kasus berikutnya tetap menghantui kita. Karenanya kita harus tetap waspada:
- Memakai maser. Saat beribadah di masjid di bulan Ramadhan dan saat melaksanakan sholat Ied, masker harus selalu digunakan, begitu pula saat bersilaturahmi. Jangan takabur bahwa tidak akan terjadi penularan. Virus SARS-CoV-2 masih mengancam untuk tertular dari orang lain ke diri kita, dan dari diri kita ke orang lain.
- Mencuci tangan. Cuci tangan juga harus tetap rajin dilakukan, baik dengan hand sanitizer ataupun sabun pada air mengalir. Karena kita sering tidak sadar dan suka refleks menggosok mata, mengusap hidung, dan memegang mulut. Bawalah selalu hand sanitizer dan gunakan secara berkala ketika beribadah di masjid, ketika shalat Ied, dan pada saat berkunjung ke rumah orang untuk bersilaturahmi.
- Menjaga jarak. Jarak aman tetap harus dijaga. Walaupun kini shaf sholat di masjid sudah dirapatkan kembali, dan shaf sholat Ied juga dirapatkan; kita tetap bisa “menjaga jarak” dengan cara tidak bersalaman secara langsung, atau memegang barang yang sama dengan banyak orang. Lakukan salam ala Sunda dan hindari berjabat tangan. Hindari juga menggunakan kencleng yang dipegang banyak orang, dan bawalah sajadah sendiri agar muka tidak bersentuhan dengan lokasi sujud orang lain.
- Menghindari keramaian. Cukuplah keramaian yang dikunjungi hanya masjid dan tempat sholat Ied saja. Hindari tempat keramaian lain seperti taman hiburan, pantai, dll. yang sering dipadati pengunjung saat lebaran.
- Mengurangi mobilitas. Selama silaturahmi saat hari raya tidak harus bertemu muka, maka lebih baik tetap dilakukan secara jarak jauh. Namun memang bila ingin melakukannya dengan tatap muka, ingatlah keempat poin di atas.
Mudik di Ujung Pandemi
Pemerintah memang telah memudahkan syarat perjalanan di dalam negeri saat libur lebaran nanti yang tidak seketat dulu. Kali ini dengan sudah mendapatkan vaksin booster, maka tidak harus melakukan pemeriksaan swab PCR atau antigen lagi. Tapi harus dipahami, bukan berarti diri sudah terbebas dari membawa virus SARS-CoV-2 penyebab C19 ini, hanya saja kemungkinannya lebih kecil. Jangan karena sudah “di-booster”, dan tidak dilakukan pemeriksaan swab, lalu menjadi super yakin bahwa diri tidak membawa virus dan tidak akan tertular virus. Keluarga atau kerabat yang dikunjungi ketika mudik, bisa saja adalah orang yang belum mendapatkan vaksin booster atau malah belum lengkap vaksinasi kesatu dan keduanya. Mereka juga bisa jadi orang dengan comorbid dan sudah manula. Selalu waspada bahwa si pemudik bisa membawa petaka bagi mereka.
Adab Sakit di Ujung Pandemi
Selama di bulan Ramadhan dan saat merayakan Idul Fitri, ada adab atau norma/aturan yang harus dijalani bila seseorang menderita sakit. Apa lagi sakitnya adalah terpapar C19. Gunanya bukan hanya untuk orang lain tapi juga untuk diri sendiri, sbb.:
- Bila sakitnya bukan terpapar C19, usahakan untuk beristirahat di rumah saja. Jalankan ibadah di rumah dan tanya ke dokter apakah aman untuk tetap berpuasa. Juga urungkan niat untuk mudik bila sakit menjelang lebaran. Karena kondisi tubuh yang sakit, membuat sistem imun melemah dan beresiko mengalami sakit berat bila kena C19.
- Bila terpapar C19, sudah pasti harus mengisolasi diri di rumah. Isolasi dilakukan sampai semua gejala hilang, atau paling cepat 10 hari pertama dari hari muncul gejala. Lebih baik bila dicukupkan 14 hari, karena antibody dari varian SARS-CoV-2 yang menginfeksi baru terbentuk paling cepat dalam 14 hari dari muncul gejala. Bila antibody belum terbentuk sempurna, jangankan karena varian yang lain, tubuh juga masih bisa terkena infeksi oleh varian yang sama. Selain tentu saja masih menjadi sumber penularan bagi keluarga dan semua orang yang dijumpai.
- Bila keluarga ada yang terpapar C19, maka anggota keluarga lainnya juga harus mengkarantina diri. Setidaknya kurangi bertemu orang lain, lakukan ibadah di rumah, dan mengurungkan niat untuk mudik di hari lebaran. Baca artikel lain mengenai cara isoman yang benar.