Sifat alami dari virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 (C19), seperti juga virus RNA berantai pendek lainnya adalah terus bermutasi. Dari mulai munculnya pada akhir 2019 sampai sekarang sudah ribuan mutasi yang terjadi. Beberapa di antara hasil ribuan mutasi tersebut di-label menjadi variant of interest dan variant of concern (baca dalam artikel sebelumnya). Salah satu varian of concern atau varian yang mendapatkan perhatian itu adalah varian Omicron yang di-label pertama kali pada 26 November 2021. Sudah hampir satu tahun ketika artikel ini ditulis, belum ada mutasi SARS-CoV-2 yang lebih baru dari varian Omicron untuk diberi nama yang baru. Bukannya virus ini berhenti bermutasi, melainkan mutasinya tidak menjadi lebih berbahaya. Bila tidak di-label sebagai variant of concern, hasil mutasinya diberi label huruf atau angka seperti 2 yang terbaru pada akhir Oktober 2022 yang lalu, di-label: XBB dan BQ.1.
Setiap ada laporan bahwa terdapat kasus C19 baru yang disebabkan oleh varian yang belum ada sebelumnya, WHO’s Technical Advisory Group on SARS-CoV-2 Virus Evolution disingkat TAG-VE akan bertemu dan membahasnya. Mereka adalah badan penasehat WHO terkait evolusi virus SARS-CoV-2. Yang terbaru mereka bertemu di 24 Oktober 2022 membahas bukti-bukti terbaru tentang Omicron dan bagaimana ia berevolusi lalu bermutasi. Karena setiap ada mutasi terbaru harus dikhawatirkan merupakan variant of concern yang baru. Ada dua mutasi yang dibahas yaitu XBB dan BQ.1. Tetapi setelah diteliti dan dibahas secara mendalam implikasinya terhadap pandemi C19 di dunia, TAG-VE menyimpulkan bahwa kedua phenotypes ini masih merupakan sub-sub varian dari Omicron; variant of concern yang sama.
Pada awal November 2022, varian Omicron masih merupakan varian yang dominan menjadi penyebab C19 di dunia. Bahkan bisa dikatakan seluruh kasus C19 disebabkan oleh varian Omicron dan para mutasinya. Walaupun beberapa dari mutasi varian Omicron tersebut secara genetik berbeda jauh dari Omicron, namun masih menyebabkan gejala klinis yang mirip. Perbedaan mereka biasanya terletak pada potensi immune escape yaitu kondisi di mana virus lolos tidak terdeteksi oleh sistem imunitas seseorang, walaupun sudah divaksinasi atau pernah terkena C19 sebelumnya. Karena TAG-VE memberikan rekomendasi WHO berdasarkan gejala klinis, maka kedua mutasi baru tersebut masih dianggap bagian dari Omicron.
Bila Menyebabkan Puncak Kasus Kembali
Namun rekomendasi TAG-VE ini tidak bersifat permanen. Bila dalam perjalanannya mutasi-mutasi baru dari Omicron ini menyebabkan puncak kasus C19 kembali di dunia atau pada beberapa bagian di dunia, atau menyebabkan penyakit yang lebih parah dari sebelumnya sehingga memberikan beban berat kembali pada sistem pelayanan kesehatan; maka TAG-VE akan merevisi rekomendasinya dan menjadikannya sebagai variant of concern yang baru dan akan mendapatkan nama yang baru pula. Artinya walaupun saat ini varian-varian baru masih dikatakan bagian dari Omicron, bukan berarti kita sudah bisa bernafas lega dan menurunkan kewaspadaan. Puncak kasus bisa kembali terjadi bila kejadian immune escape terdeteksi pada populasi yang besar di suatu negara atau dunia. Biasanya terjadi pada wilayah yang cakupan vaksinasinya masih rendah.
Sub Varian XBB
Sekarang mari kita bahas sedikit lebih detil mengenai 2 sub varian yang menghebohkan dunia di akhir Oktober sampai awal November 2022 ini. Yang pertama adalah sub varian XBB yang merupakan recombinant atau gabungan dari BA.2.10.1 dan BA.2.275, dua turunan langsung (sublineages) dari varian Omicron. Menurut data genomic surveillance (pengawasan gen) yang terangkum dalam GISAID (Global Initiative on Sharing Avian Influenza Data – suatu badan yang dibentuk ketika terjadi pandemi flu burung dan sekarang mengurusi data pandemi C19), prevalensi global XBB adalah 1,3% yang terdeteksi di 35 negara termasuk di Indonesia. Kasus tertingginya terjadi di Singapura dan India. Infeksi terjadi sebagian besar pada orang yang sebelumnya tidak terkena infeksi varian Omicron. Belum ada laporan yang pernah terkena Omicron lalu terkena XBB.
Sub Varian BQ.1
Berbeda dengan XBB, sub varian BQ.1 adalah sublineage Omicron BA.5 yang bermutasi pada spike protein-nya terutama di lokasi antigen kunci K444T dan N460K. Dari data GISAID yang sama, prevalensi global BQ.1 adalah 6% yang terdeteksi pada 65 negara. Walaupun belum ada laporan dan penelitian terjadinya immune escape yang parah di dunia atau terjadi peningkatan keparahan penyakit C19 oleh BQ.1, namun ia menunjukkan signifikansi pertambahan yang tinggi, malah lebih tinggi dari XBB. Sehingga TAG-VE mengawasi secara ketat BQ.1 ini agar segera mendapatkan perhatian bila menyebabkan lonjakan kasus C19 yang baru di dunia atau wilayah tertentu di dunia.
Regional Immune Landscape
Seperti disinggung di atas bahwa puncak kasus baru dapat terjadi bila terjadi immune escape dalam jumlah besar di suatu wilayah. Karenanya potensi untuk dunia kembali mengalami puncak kasus baru terletak pada kekuatan sistim imunitas pada sebuah wilayah (regional immune landscape) atau lebih dikenal dengan herd immunity atau kekebalan kelompok. Namun hampir semua kasus baru C19 saat ini terjadi pada mereka yang sebelumnya sudah terkena C19 atau sudah mendapatkan vaksinasi. Dan di awal November 2022 ini terutama pada mereka yang sebelumnya terkena bukan oleh Omicron. Di sini terlihat jelas, bahwa pernah terkena C19 atau sudah mendapatkan vaksinasi tidak menjamin seseorang untuk tidak terinfeksi oleh para mutasi Omicron seperti XBB dan BQ.1 ini. Namun regional immune landscape dapat menahan penularan dan menekan tingkat keparahan penyakit bila harus terkena.
Baca artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Gejala yang disebabkan oleh kedua sub varian Omicron ini masih sama seperti gejala terinfeksi sub-sub varian Omicron sebelumnya. Sementara kita sudah tahu bahwa gejala yang ditimbulkan oleh varian Omicron sebagian besar terlihat seperti gejala flu biasa; seperti sakit-sakit badan, sakit kepala, demam, batuk, pilek, bersin, hidung meler, dan sakit tenggorokan. Hanya pada kasus yang berat saja, muncul gejala gangguan saluran pernafasan bawah atau gangguan pada paru-paru. Gejala khas dari C19 yang pada awal kemunculannya, yaitu anosmia (kehilangan kemampuan membau) dan ageusia (kehilangan kemampuan merasa di lidah) juga tidak selalu, malah jarang sekali terlaporkan untuk infeksi karena varian Omicron.
Penyebaran XBB
Di antara keduanya, XBB lebih menunjukkan kekhawatiran yang lebih tinggi dibandingkan BQ.1. XBB pertama kali terdeteksi di Singapura pada bulan September 2022 yang lalu. Di sana kasus C19 karena XBB melebihi kasus C19 karena BA.5, sub varian dominan dari Omicron sebelumnya. Bahkan 60% kasus di Singapura saat ini disebabkan oleh XBB. Selain Singapura XBB terdeteksi di India dan Bangladesh. Lalu Jepang menyusul juga melaporkan kejadiannya, terjaring dari pendatang yang sebelumnya menetap di India. Di AS XBB sudah menjadi penyebab 5,7% kasus dan BQ.1 dan menjadi penyebab 47% kasus. Di Indonesia sendiri juru bicara Kemenkes Mohammad Syahril melaporkan jumlah kasus terkonfirmasi positif C19 sub varian XBB di Indonesia sudah 8 kasus. Mulai terdeteksi sejak 27 Oktober pada 2 orang yang datang dari Singapura. Kedelapan kasus tersebut 5 berada di Jakarta, 3 lainnya di Lampung, Kalimantan, dan Bali. Semua kasus di Indonesia terjadi pada orang dewasa dan hanya menjalani isolasi dengan gejala ringan.
Waspada Tapi Jangan Khawatir
Dokter Mohammad Syahril juga menyampaikan bahwa temuan kasus oleh varian XBB ini harus membuat kita waspada, tapi bukannya menjadi terlalu khawatir. Karena dari 35 negara yang sudah melaporkannya, tidak ada laporan lonjakan kasus atau kematian (fatalitas) yang tinggi. Secara keseluruhan, rata-rata kasus baru C19 di Indonesia dari data Kemenkes adalah 2.300 kasus per hari. Memang sempat naik menjadi 3.000 kasus per hari pada akhir Oktober 2022, namun turun kembali menjadi 2.700 kasus per hari. Tertinggi seperti biasa ada di DKI Jakarta, lalu disusul oleh Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Banten. Penderita C19 yang meninggalpun sudah turun drastis menjadi 30-40 kasus per hari di Indonesia, jauh lebih rendah dari kasus meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Dengan turun kembalinya kasus baru dan rendahnya tingkat kematian, kita bisa berharap tidak akan terjadi puncak kasus baru di Indonesia.
Namun belajar dari pengalaman selama 2,5 tahun di masa pandemi ini, kenaikan kasus biasa terjadi saat muncul varian atau sub varian baru. Jadi 8 kasus yang terdeteksi mungkin hanya merupakan puncak gunung es dari kasus-kasus XBB lainnya yang tidak dilakukan pemeriksaan sequencing, karena tidak semua kasus dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui varian penyebabnya. Bahkan tidak semua kasus mendapatkan pemeriksaan, karena sangat bisa sekali dianggap sebagai penyakit batuk pilek yang biasa (common cold). Atau bisa juga diperiksa tapi dengan hasil yang negatif (false negative) karena saat pengambilan sample, virus belum terdeteksi atau sudah tidak terdeteksi kembali. Belum lagi sudah sangat bisa dipastikan banyaknya kasus yang terjadi tanpa gejala. Yaitu pada mereka yang OTG, tidak sakit tapi menjadi sumber penularan.
Manajemen Lonjakan Kasus
Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan bahwa kalau semua negara mau sama-sama beranjak ke akhir pandemi, maka semua negara harus punya manajemen lonjakan kasus yang dapat terjadi kapanpun. Sehingga lonjakan kasus tersebut juga harus bisa di manapun di dunia untuk di-manage supaya angka kesakitan bisa terkendali. Lonjakan kasus harus bisa dilokalisir pada wilayah sesempit dan sekecil-kecilnya untuk tidak meluas menyebabkan puncak kejadian kasus yang baru di dunia. Satgas penanganan C19 juga selalu mengingatkan masyarakat bahwa hingga saat ini masih terdapat peningkatan kasus COVID-19 sehingga perlu tetap memperkuat protokol kesehatan. Juru bicara pemerintah untuk penanganan C19 Prof. Wiku Adisasmito mengatakan bahwa kesadaran masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan merupakan kunci utama agar jumlah kasus C19 di tanah air tetap rendah.
Akankah Terjadi Lonjakan Kasus di Dunia?
Walaupun data dan statistik memberikan gambaran tidak akan terjadi lonjakan kasus C19 dalam waktu dekat di Indonesia, tapi akankah lonjakan kasus tersebut bisa terjadi di dunia? Beberapa ahli di luar negeri terutama di AS dan juga WHO meramalkan bahwa subvarian XBB ini bisa memicu lonjakan kasus di akhir tahun 2022 dan puncaknya di bulan Januari 2023. Tapi para ahli tersebut juga mengatakan tingginya lonjakan kasus yang disebabkan oleh sub varian XBB dan BQ.1 ini akan sangat tergantung oleh beberapa hal sbb.:
- Kesiapan suatu negara dalam manajemen lonjakan kasus.
- Cakupan vaksinasi penduduk pada negara tersebut, sampai dengan vaksinasi ke-3 atau booster.
- Banyaknya penduduknya yang sudah terpapar infeksi C19.
- Terciptanya kekebalan kelompok (herd immunity), yang terkait langsung dengan nomor 2 dan 3 di atas.
- Tingkat kesadaran penduduknya untuk hidup bersih dan sehat serta menjaga protokol kesehatan sesuai kondisi.
- Keparahan musim dingin pada negara subtropis, karena berpotensi menaikkan kasus infeksi pernafasan.
Pandemi Belum Berakhir
Walaupun kita yakin kita sedang berada di ujung masa pandemi C19, namun dari tetap munculnya sub varian baru yang menyebabkan immune escape, WHO belum bisa mengetuk palu penetapan berakhirnya pandemi. Karenanya kita semua masih sangat perlu menerapkan tanggung jawab pribadi serta kolektif dalam menjaga kesehatan. Tanggung jawab pribadi yaitu taat pada protokol kesehatan sesuai kebutuhan serta hidup dengan menjalankan lima pilar gaya hidup sehat. Sementara tanggung jawab kolektif yaitu melengkapkan vaksinasi sampai semaksimal mungkin. Para tenaga medis harus sampai booster ke-2, untuk masyarakat lainnya harus sampai mendapatkan vaksinasi booster yang pertama; agar tercipta kekebalan kelompok. Selain itu harus taat dengan anjuran pemerintah yang selalu memberikan rekomendasi sesuai kondisi yang ada.
©IKM 2022-11