Awal April 2022, WHO mengkonfirmasi adanya dua sub-variants dari varian Omicron SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19 (C19), yang diberi kode BA.4 dan BA.5. Sebelumnya di akhir Februari 2022, WHO juga melaporkan adanya sub-variants BA.1 dan BA.2. Sampai artikel ini ditulis belum ada konfirmasi lanjutan mengenai tingkat keganasannya, apakah melebihi varian induknya atau tidak. Serta belum ada konfirmasi apakah kekebalan yang didapatkan dari infeksi sebelumnya atau dari vaksinasi bisa melindungi seseorang agar tidak sakit bila terpapar sub-variants baru ini. Yang jelas varian-varian baru ini lebih mudah menular dibandingkan varian induknya, karena mutasi yang terjadi lebih membuat virusnya dapat mengelabui sistem imun kita, bahkan kepada mereka yang sudah divaksin atau sudah pernah terkena C19 sebelumnya.
Bagi virus RNA dengan rantai pendek seperti SARS-CoV-2, mutasi merupakan hal yang lumrah, selumrah matahari terbit dari Timur dan terbenam di Barat. Justru bila ia tidak bermutasi akan menjadi tidak biasa dan menimbulkan pertanyaan. Ribuan mutasi telah terjadi pada virus penyebab C19 ini sejak akhir tahun 2019 sampai sekarang. Setidaknya sudah lebih dari 5000 mutasi yang terjadi, dan sebagian besar justru membuat virusnya menjadi lemah yang akhirnya punah. Hanya beberapa mutasi saja yang membuat virusnya lebih kuat, dan di-label oleh WHO menjadi VoC (Varian of Concern) yaitu varian yang harus mendapatkan perhatian. VoC diberi nama menggunakan abjad Yunani seperti yang sudah kita ketahui bersama. Jadi sampai nantinya tercipta herd immunity (kekebalan kelompok) di dunia, SARS-CoV-2 akan terus dan masih akan bermutasi.
Lokasi titik mutasi pada varian Omicron sehingga membuat sub varian ini terletak pada spike protein-nya, yaitu tonjolan protein pada permukaan virus yang digunakan untuk menempel dan masuk ke dalam sel tubuh manusia. Hasil mutasi pada spike protein tersebut membuat virus lebih mudah menempel dan masuk ke dalam sel yang dapat menghindar dari deteksi sistem imun tubuh. Sehingga infeksi dapat terjadi bahkan pada orang yang sudah pernah sakit C19 atau sudah mendapatkan vaksinasi sebelumnya. Ketidakmampuan sistem imun untuk secara efektif mengenali virus disebut dengan istilah immune evasion atau immune escape. Hal ini disampaikan oleh Dr. Robert G. Lahita, direktur dari Institute for Autoimmune and Rheumatic Disease di Saint Joseph Health, AS. Kekhawatiran Dr. Lahita adalah jenis mutasi ini dapat lebih mudah untuk menginfeksi saluran pernafasan bawah (paru-paru) yang dapat berakibat fatal.
Varian Deltacron Pertama Dilaporkan
Selain mutasi langsung dari Omicron menyebabkan adanya sub varian seperti yang dijelaskan di atas, dilaporkan ada mutasi baru yang memiliki materi genetik gabungan atau hybrid antara varian Delta dan Omicron sehingga diberi nama Deltacron. Temuan ini pertama kali disampaikan ada pada tgl. 7 Januari 2022 oleh gabungan peneliti di Cyprus yang diketuai oleh Dr. Leondius Kostrikis, seorang profesor ilmu biologi di University of Cyprus. Mereka menemukannya pada 25 orang pasien yang dirawat di sana, di mana ke-25 orang tersebut diinfeksi oleh 2 jenis varian sekaligus, sehingga belakangan dibuktikan bahwa sebenarnya adalah 1 jenis virus yang memiliki kode genetik hybrid varian Delta dan Omicron; backbone-nya varian Delta tapi spike protein-nya varian Omicron. Artinya memiliki sifat bahaya Delta dengan sifat mudah menular Omicron.
Hybrid Recombinant Variant
Virus hasil recombinants (gabungan) dapat muncul ketika satu sel manusia diinfeksi oleh dua virus dari strain yang berbeda pada saat yang sama. Pada kasus Deltacron adalah antara varian Delta dan varian Omicron. Setelah keduanya menginvasi sel lalu sel membelah diri, walaupun kasusnya jarang, mereka dapat saling bertukar kode genetik (genome) dan menciptakan mutasi pada keduanya. Bisa dibayangkan kode genetik dari satu varian tersebut berakrobatik sedemikian rupa sehingga melompat dan bergabung dengan gen dari varian lainnya. Hal ini disampaikan oleh Jeremy Kamil, seorang associate professor mikrobiologi dan imunologi dari Louisiana State University Health Shreveport, AS. Ia menganalogikan seperti ada tumpukan puluhan lembar kertas dengan tulisan yang hampir sama, lalu diterbangkan oleh kipas angin. Maka ketika kita menggabung-kannya kembali, urutannya pasti akan bertukar dan berbeda.
Kecurigaan Lab Error
Walaupun demikian, beberapa ahli mempertanyakan hasil temuan di Cyprus ini dan menduga merupakan kesalahan di laboratorium (lab error) yang terjadi karena adanya kontaminasi saat pengujian. Yang pertama mempertanyakannya adalah Dr. Jeffrey Barrett, direktur C19 Genomics Initiative di the Wellcome Sanger Institute, Inggris. Lalu Dr. Tom Peacock, seorang virologis dari Imperial College London di Inggris juga percaya bahwa Deltacron disebabkan oleh kontaminasi di laboratorium. Keduanya mengatakan demikian karena varian Deltacron yang dilaporkan terjadi secara acak (random) pada cabang gen yang berbeda-beda, sehingga memperkuat dugaan tanda sebuah lab contamination. Kontaminasi pada pemeriksa-an genetik virus di laboratorium sesekali memang dapat terjadi bahkan pada laboratorium yang super canggih sekalipun.
Pembelaan Dr. Kostrikis
Namun Dr. Kostrikis membela temuannya dan bersikukuh bahwa setelah timnya menemukan Deltacron, laju penyebaran infeksi C19 di sana meningkat dan semakin banyak yang harus dirawat di RS. Suatu bukti epidemiologis bahwa sebuah varian baru memang tersebar di masyarakat. Ia juga memperkuat argumennya bahwa sample yang dikatakan Deltacron itu diproses menggunakan beberapa prosedur sequencing pada lebih dari satu negara. Belakangan setelah 25 kasus pertama, timnya kembali melaporkan 52 kasus baru varian Deltacron.
Baca artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Akhirnya Dr. William Schaffner, seorang profesor penyakit menular dari Vanderbilt University Medical Center, Nashville, Tennessee di AS menengahi perseteruan tersebut dengan menghimbau WHO agar mencari lebih banyak bukti terhadap Deltacron ini. WHO kemudian memang mengumumkan kemungkinan adanya penyebaran varian baru hybrid yang diberi nama Deltacron. Di Cyprus dilaporkan angka kejadiannya memang meningkat, tapi tingkat keparahannya tetap tidak lebih tinggi dari Delta atau Omicron. Sehingga terlepas bahwa Deltacron merupakan varian hybrid baru atau merupakan hasil dari lab contamination, setelah berjalan kurang lebih 4 bulan terlihat bahwa Deltacron sangat jarang ditemukan dan tidak lebih infeksius dibanding strain sebelumnya.
Pelonggaran PSBB vs. Resiko
Baik mutasi langsung Omicron atau varian baru Deltacron, kasus C19 sudah menurun cukup drastis di dunia dan di Indonesia pada 4 bulan awal 2022 ini. PSBB pun sudah banyak dilonggarkan. Tapi perlu dipahami bahwa penyakit ini belum hilang dan masih ada di sekitar kita. Sampai akhir April 2022 ini, memang sub varian BA.x dan Deltacron belum terlaporkan di Indonesia. Karena sudah sangat jarang ditemukan kasus yang berat, aktivitas tracking dan tracing pun sudah sangat jarang dilakukan seiring dengan pelanggaran PSBB. Namun hal ini dapat menurunkan bahkan menghilangkan kemampuan kita untuk mendeteksi dini bila varian hasil mutasi ini masuk ke Indonesia, lalu akan sudah menjadi sangat terlambat sebelum kita menyadarinya. Kita pun tidak akan pernah tahu berapa buruk kondisi yang akan disebabkannya.
Varian Mutasi & Efeknya pada Anak-Anak
Anak-anak di bawah 18 tahun belum bisa mendapatkan booster, dan anak-anak di bawah 6 tahun belum bisa mendapatkan vaksinasi C19 sama sekali. Hal ini sudah tentu memancing kekhawatiran para ahli di dunia karena varian baru hasil mutasi terus bermunculan dan menyebar. Namun sejauh ini terlepas dari beredarnya varian baru hasil mutasi tersebut yang dapat menular lebih cepat, resiko pada anak-anak kecil tetap rendah. Dr. James Campbell, seorang profesor penyakit anak dari the Center of Vaccine Development and Global Health di University of Maryland School of Medicine, AS mengatakan bahwa resiko varian baru ini pada anak-akan masih tetap akan sama, tapi memang perlu waktu untuk mengetahuinya secara pasti.
Namun seperti juga pada orang dewasa, resiko tersebut akan meningkat bila anak memiliki penyakit autoimmune/kondisi comorbid. Pada anak yang lemah, bahkan infeksi C19 yang ringan sekalipun dapat mencetus kondisi berat. Para ahli juga masih terus meneliti bagaimana efek jangka panjang atau post COVID syndrome pada anak bila terpapar oleh varian-varian hasil mutasi yang dibahas di atas. Yang jelas varian hasil mutasi ini sudah meningkatkan sampai 5 kali lipat kasus rawat inap bagi anak berusia 5-8 tahun di AS sejak awal tahun 2022 ini. Berikut peningkatan kasus antara Delta dan Omicron pada anak per 100 ribu kasus: Bayi < 6 bulan meningkat dari 11.1 menjadi 68.1, anak 6 bulan – 2 tahun meningkat dari 3.3 menjadi 16.9, dan anak 2-4 tahun meningkat dari 1.4 menjadi 3.3. Berita baiknya adalah angka kematian masih tetap rendah yaitu sekitar 0.5%.
Menurunkan Resiko pada Anak
Semua ahli di dunia setuju bahwa cara menurunkan resiko penularan pada anak masih tetap sama, yaitu melakukan apa yang selama ini sudah kita lakukan untuk membuat anak tetap aman. Masker dan kebersihan diri terutama tangan, memegang peranan sangat penting. Lalu bagi anak di atas 6 tahun yang belum mendapatkan vaksinasi, agar segera untuk divaksin. Anak di bawah 5 tahun memang tidak direkomendasikan mengguna-kan masker, tapi mereka harus senantiasa berada di lingkungan orang dewasa di sekitar mereka yang selalu menggunakan masker. Orang dewasa juga harus bertanggung jawab untuk melengkapi vaksin mereka agar melindungi anak yang belum bisa divaksin. Lalu bila anak sakit, maka ia harus sebisa mungkin dijauhi dari orang dewasa yang bukan keluarganya. Agar daya tahan tubuh yang rendah karena sakit itu tidak harus ditambah dengan terinfeksi virus penyebab C19.
Vaksin yang Tersedia Masif Efektif
Walaupun demikian WHO dan para ilmuan masih optimis dan yakin bahwa vaksin-vaksin C19 yang tersedia saat ini masih cukup efektif mencegah seseorang untuk menderita sakit C19 yang berat bila dirinya terpapar sub varian dari Omicron ini. Bahkan bagi mereka yang memiliki penyakit comorbid. Jadi perlu dimengerti bahwa vaksinasi yang sudah didapatkan bukan selalu berarti mencegah seseorang terhindar dari sakit. Karena ia bisa saja tetap menderita sakit bila terpapar virus hasil mutasi. Tapi setidaknya ia dapat terhindar dari sakit yang berat dan terhindar dari kematian. Sebuah penelitian yang dipublikasi oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di AS menjelaskan bahwa orang-orang yang setidaknya telah mendapatkan 3x suntikan vaksin (dosis 1-2 + booster), 90% dapat terhindar dari harus dirawat di RS bila terpapar; dibanding dengan orang yang tidak mendapatkan vaksin sama sekali.
Vaksin Universal
Saat ini para ahli terus meneliti potensi untuk didapatkannya vaksin universal untuk semua varian dari C19. Tapi terlalu cepat untuk mengetahuinya sekarang apakah akan berhasil atau tidak. Tujuan dibuatnya vaksin universal adalah untuk mencegah terjadinya lonjakan kasus akibat varian berbahaya seperti Delta yang dunia alami pada tengah sampai akhir tahun 2021 yang lalu. Begitu pula untuk anak di bawah 6 tahun yang masih terus diteliti oleh para ahli di dunia yang bekerja sangat keras agar bisa meyakinkan anak di bawah 6 tahun bisa segera dapat direkomendasikan untuk mendapat vaksin.
Agar Indonesia Tetap Aman
Ujian terbesar Indonesia terhadap para mutasi dari varian Omicron ini berada pada 1 bulan setelah Idul Fitri tahun 2022. Di mana ritual mudik yang sudah terkekang pada tahun 2020 dan 2021, kini sangat dibebaskan dan hanya dibatasi dengan menunjukkan bukti vaksinasi di aplikasi PeduliLindungi. Satu bulan setelah aktivitas mudik selesai, kita akan melihat adanya dua skenario: (1) Angka kejadian baru dan kematian C19 tetap rendah seperti sekarang, atau (2) malah meningkat dan terjadi lonjakan keempat di tanah air. Kita tentunya berharap semoga skenario pertama yang terjadi. Maka mari kita merayakan Idul Fitri dan mudik dengan aman, agar Indonesia juga tetap aman.
©IKM 2022-04