Anecdotal evidence adalah suatu istilah mengenai sebuah informasi atau data berdasarkan pengalaman atau observasi pribadi seseorang atau sekelompok orang. Dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan bebas sebagai “bukti anekdotal” atau “saksi kejadian”. Berbeda dengan penelitian sistematis yang mengumpulkan serta menganalisa data lengkap, dengan metoda yang terukur serta harus diuji dan dibuktikan secara ilmiah, anecdotal evidence dapat dikemukakan dengan bukti atau kejadian yang tidak banyak. Bahkan hanya satu kejadian pun dapat dijadikan dasar sebuah klaim. Walaupun demikian di dunia medis, anecdotal evidence tetap dapat bermanfaat dalam penanganan pasien yang bisa berdampingan dengan terapi yang sedang diberikan oleh dokter.
Satu masalah utama dari anecdotal evidence adalah rentan terjadinya bias yang bersifat subjektif. Bias yang dapat terjadi adalah confirmation bias yaitu ketika seseorang mencari informasi hanya yang dapat mendukung pendapat atau hipotesis yang dibuatnya saja. Kemudian dapat terjadi selection bias yaitu ketika seseorang yang mencari informasi tersebut mengabaikan segala informasi yang bertentangan dengan pendapat atau hipotesis yang dibuatnya. Dan ketiga dapat terjadi sample bias yang terjadi karena berdasarkan jumlah kasus yang sedikit di mana belum tentu sesuatu yang positif terjadi pada seseorang dapat berlaku sama terhadap semua orang. Ketiga jenis bias ini sering dan dominan terjadi pada sebuah anecdotal evidence membuat klaim yang dibuat terlihat sangat meyakinkan seperti tidak dapat ditolak kebenarannya.
Terlepas dari kekurangannya, anecdotal evidence tetap dapat berguna ketika para ilmuan menyusun sebuah hipotesis dengan menjadikan klaim dari sebuah anecdotal evidence sebagai pembanding untuk diuji dengan metoda bersifat ilmiah. Atau anecdotal evidence sering juga berguna untuk meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan terhadap sebuah issue atau masalah berdasarkan pengalaman atau sudut pandang yang mungkin belum pernah diteliti sebelumnya secara ilmiah. Walaupun demikian sangat penting untuk berhati-hati dalam menginterpretasikan dan memanfaatkan sebuah anecdotal evidence dalam membuat sebuah keputusan dan menarik sebuah kesimpulan karena belum tentu benar.
Anecdotal Evidence di Dunia Medis
Di dunia medis anecdotal evidence terjadi ketika pengalaman dan pengamatan seseorang, baik itu pasien, dokter, atau paramedis terhadap suatu kondisi medis, perlakuan medis, atau intervensi medis, yang dijadikan rujukan atau dasar dalam penanganan pasien tanpa adanya pandangan medis yang komprehensif dan representatif. Sudah tentu hal ini menjadi tantangan karena sangat rentan terjadi bias seperti yang diuraikan di atas. Belum lagi kemungkinan terjadinya placebo effect atau efek plasebo disebabkan keyakinan psikologis dari pasien terhadap sebuah anecdotal evidence tersebut. Contoh yang paling sering terjadi di Indonesia adalah kepercayaan masyarakat untuk meminum jus jambu batu yang diyakini dapat menaikkan trombosit yang rendah ketika terkena demam berdarah. Suatu anecdotal evidence yang tak jarang juga diyakini oleh dokter dan paramedis yang menangani pasiennya.
Jebakan Anecdotal Evidence
Ada beberapa skenario sebuah anecdotal evidence dapat menyesatkan di dunia medis, sbb.:
- Karena kebetulan. Hal ini sering sekali terjadi ketika pasien menjadi sembuh ketika misalnya setelah meminum jus tertentu, padahal memang dalam perjalanan penyakitnya sudah dalam tahap hampir sembuh. Sangat mungkin ia akan menjadi sangat percaya bahwa jus tersebutlah obatnya.
- Faktor gaya hidup. Contohnya ada seseorang yang menjadi lebih lekas sembuh dari sebuah penyakit infeksi bila dibandingkan temannya karena ia rutin minum air alkaline. Padahal ia memang hidup lebih sehat seperti menjaga diet, cukup istirahat, rajin olahraga, tidak merokok, dll., yang berbeda dengan temannya tersebut. Tapi faktor gaya hidup yang karena sudah biasa, menjadi terlupakan membuat konsentrasi kesembuhan fokus pada air alkaline tersebut.
- Lebih terfokus pada jumlah yang berhasil. Hal ini sering terjadi pada iklan-iklan terapi alternatif, yang menunjukkan keberhasilan puluhan orang di mana mereka menjadi sembuh setelah menjalaninya. Puluhan orang tersebut sepertinya banyak, padahal bila boleh fair, mungkin malah ada ratusan yang tidak sembuh setelah menjalaninya. Namun hal ini luput dari laporan.
- Karena sangat yakin. Ada pula kasus yang membuat seseorang menjadi sangat yakin akan apa yang dilakukan. Contohnya ketika pandemi COVID-19 (C19) yang lalu, di mana banyak orang mempraktekkan menghirup uap minyak kayu putih untuk mencegah tertular C19. Lalu ternyata dirinya memang tidak tertular sehingga merekomendasikan cara yang dilakukan kepada teman dan kerabat. Hal ini disebut sebagai placebo effect.
Dunia Medis Berdampingan dengan Anecdotal Evidence
Tapi dalam sejarahnya, dunia medis tidak pernah terlepas bahkan selalu berdampingan dengan anecdotal evidence. Sir Alexander Fleming yang menemukan penicillin pun memulai penelitiannya pada sebuah anecdotal evidence yang terjadi. Kalau saja ia tidak mempertimbangkan anecdotal evidence mungkin masih cukup lama baru penisilin ditemukan umat manusia. Ini artinya tidak semua anecdotal evidence yang ada merupakan sesuatu yang salah. Bukan berarti karena tidak ada penelitian dan bukti medisnya, menjadi tidak berguna untuk kepentingan pasien. Walaupun memang benar sebagian anecdotal evidence hanya menjadi jebakan seperti dijelaskan di atas, tapi sebagian lagi yang bila diteliti secara ilmiah malah memang terbukti. Contohnya khasiat bawang putih, kunyit, dll.
Baca artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Evidence-based medicine (EBM) atau pelayanan kesehatan berdasarkan bukti ilmiah, memang terlihat berlawanan dengan anecdotal evidence yang hampir selalu dianggap “mencedrai” hal yang didasari oleh bukti ilmiah. Bila kita melihat mundur lebih jauh ke belakang di sejarah perobatan dunia, EBM termasuk hal yang relatif baru. Berarti sebelum adanya EBM terkesan pelayanan kesehatan bersifat tidak ilmiah. Padahal EBM baru dikembangkan sebagai dasar pada tahun 1970an oleh ahli epidemiologi dari Skotlandia bernama Chochrane. Sementara istilah “evidence-based medicine” sendiri baru tertuang dalam sebuah tulisan pada tahun 1992 yang ditulis oleh Gordon Guyatt dan David Sackett.
Yang dikenal sebagai EBM saat ini adalah sebuah klaim yang diuji dengan meta-analisis dan pandangan sistematis dari triple-blind randomized placebo-based clinical trial dengan dukungan validasi statistik, relevansi klinis, dan keberterimaan dari insan kalangan medis. Padahal para ilmuan zaman dahulu seperti William Harvey yang menjelaskan peredaran darah, Louis Pasteur yang mengidekan vaksinasi, Alexander Fleming penemu penisilin; menggunakan dasar yang lebih tidak jelas dan penuh ketidakpastian sebagai landasan penemuan besar mereka. Dalam prakteknya saat ini, parah ahli biasanya menggunakan anecdotal evidence sebagai ide sebuah hipotesis baru tapi tidak untuk menggunakannya sebagai bukti yang tervalidasi.
Klaim Anecdotal Evidence yang Diteliti
Sudah mulai banyak para ahli yang tertarik menguji beberapa anecdotal evidence dan diangkat dalam penelitian ilmiah. Ada sebuah kajian yang melaporkan bahwa 35 dari 47 anecdotal evidence tentang penanganan medis ternyata benar, dan menjadi sesuatu yang bukan tanpa dasar lagi. Bahkan ketika hasilnya tidak begitu meyakinkan sekalipun, akan memancing ilmuan yang sama atau ilmuan lain untuk melanjutkan penelitiannya dan menguji hipotesis dari sebuah anecdotal evidence tersebut. Tidak sedikit pula penelitian yang dijalankan bersamaan dengan penanganan medisnya. Contohnya suatu pilihan terapi baru untuk kanker yang berdasar pada sebuah anecdotal evidence, penelitiannya dilakukan dengan cara memberikannya langsung kepada pasien kanker. Dan untuk beberapa kasus memang berhasil.
Para peneliti bisa melihat kecendrungan pola atau penyakit yang ada di masyarakat dari anecdotal evidence yang beredar, untuk kemudian membuat sebuah hipotesis akan kemungkinan cara pengobatan baru untuk sebuah penyakit. Contohnya yang masih hangat dalam ingatan kita adalah pada awal pandemi C19 yang lalu. Anecdotal evidence dan data kasar membantu dokter dan para peneliti di seluruh dunia untuk menemukan cara-cara yang mungkin bisa diterapkan demi mencegah penyebaran C19 atau untuk mengobati penyakitnya. Banyak penelitian-penelitian tersebut dikembangkan dari observasi awal pada bukti yang saat itu bersifat anecdotal evidence. Bukti tersebut kemudian diuji dalam penelitian yang lebih hati-hati, melakukan uji klinis, sehingga berujung pada kesimpulan bersifat ilmiah.
Penolakan Terhadap Anecdotal Evidence
Walaupun demikian tidak sedikit dokter yang benar-benar menolak apa pun yang “berbau” anecdotal evidence dalam menjalankan keprofesionalitasannya. Ada sisi positif dan negatif dalam kasus ini. Positifnya, dokter yang bersangkutan akan selalu memberikan penanganan pada pasiennya hanya berdasar pada sesuatu yang sudah pasti dan didukung oleh penelitian ilmiah. Tapi sisi negatifnya, dokter tersebut cendrung akan mengabaikan sudut pandang dan keinginan pasiennya yang tidak jarang ingin mencoba berbagai cara untuk mengobati dirinya. Pada akhirnya kondisi ini bisa berbalik pada kehilangan kepercayaan pasien kepada dokter mereka.
Terapi Berdasar Sugesti
Manusia itu makhluk dinamis yang memiliki tubuh luar biasa yang dapat mendukung atau justru menghalangi kesembuhan suatu penyakit yang sedang diderita. Cukup sering kita dengar anecdotal evidence pada pasien yang yakin akan lebih cepat sembuh bila berobat ke dokter A, dan yakin penyakitnya akan lama sembuh bila diobati oleh dokter B. Atau seseorang yang yakin kalau sakit kepalanya hanya bisa sembuh bila minum obat X, dan yakin tidak akan sembuh bila minum obat Y; padahal isi kedua obat persis sama. Fenomena ini hanya bisa dijelaskan bahwa memang manusia itu unik, dan terkadang sulit diterima atau dijelaskan oleh pemikiran bermetode ilmiah. Karenanya sangat penting bagi dokter untuk memperkuat sugesti atau rasa yakin sembuh pada pasien mereka.
Merubah Paradigma
Alih-alih hanya terfokus pada EBP, dokter juga harus menghargai pandangan, keinginan, dan rencana terapi yang dipilih oleh pasiennya. Hal ini hanya bisa tercapai bila para dokter lebih mau mendengarkan cerita dan keluh kesah pasien mereka. Karena setuju atau tidak, anecdotal evidence telah dan akan selalu menjadi motor ketika pasien sedang mengeluhkan masalah medisnya, walaupun terkadang sangat jauh sekali dari kepercayaan ilmiah yang dimiliki oleh dokter. Pekerjaan dokter akan selalu berada di persimpangan antara ilmu pengetahuan dan anecdotal evidence yang disampaikan oleh pasien. Gagal menyatukan keduanya akan menjadi awal yang salah bagi dokter bersangkutan dalam usaha menyembuhkan pasiennya.
Menyaring Anecdotal Evidence
Bagi masyarakat umum, menjadi sangat penting untuk memiliki literasi medis yang cukup agar bisa menyaring begitu banyaknya anecdotal evidence yang beredar. Tidak jarang malah bersifat hoax atau merupakan suatu informasi salah yang sengaja dibuat oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Atau suatu keyakinan yang sengaja diciptakan demi menjual sebuah produk obat, alat, atau pelayanan kesehatan alternatif. Memang pada kenyataannya, bahkan sebuah anecdotal evidence yang paling tidak masuk akal sekalipun dapat menyembuhkan suatu penyakit yang diderita seseorang, karena memang dirinya begitu yakin sehingga berujung pada kesembuhan.
Anecdotal evidence pada suatu issue tidak untuk semua orang. Biasanya hanya akan berlalu bagi mereka yang meyakininya saja. Jadi kembalikan pada diri sendiri. Bila memang sangat yakin dan ingin menjalaninya, maka tanyakan pada dokter terlebih dahulu. Bila dokter mengizinkan karena memang tidak akan berefek negatif apa-apa, maka silakan untuk dicoba. Tetapi kalau tidak yakin, tidak perlu repot mencoba, karena besar sekali kemungkinan tidak akan berefek pada kesembuhan dari penyakit. Begitu juga untuk para dokter, sebaiknya mengizinkan pasien untuk memilih sekalipun itu suatu cara berdasar anecdotal evidence, karena yang menyembuhkan itu bukan dokter, bukan obat, tapi Allah yang maha menyembuhkan.
©IKM 2023-02