Masih jelas dalam ingatan kita kondisi di akhir tahun 90-an ketika belum beredar handphone (HP) pintar atau gawai pintar (smart device)/gadget lainnya. Ketika itu hidup bisa berjalan normal walaupun tidak dibantu dengan gadget. Tapi di tahun 2023 ini hampir tidak mungkin rasanya kita keluar rumah tanpa membawa gadget. Kalau sekedar untuk membantu aktivitas, sudah tentu itu tujuan dari teknologi. Tapi sayangnya dengan hadirnya gadget tersebut ternyata bisa mengganggu kesehatan mental yang akan kita bahas selanjutnya. Bukan berarti kita harus kembali seperti akhir tahun 90-an, dan bukan pula kita harus meninggalkan gadget. Melainkan kita harus bijak dalam memanfaatkan teknologi tersebut, dan harus tahu tanda dan gejala kapan saatnya kesehatan mental sudah mulai terganggu.
Tidak begitu jauh ke belakang, ternyata smart phone baru kita nikmati sejak tahun 2007, yaitu ketika “benda” tersebut terkoneksi ke internet 24 jam sehari, 365 hari setahun. Lalu menjamurlah aplikasi-aplikasi media sosial yang memenuhi halaman-halaman di gadget, membuat telepon genggam (HP) kita menjadi barang yang “tidak sabar” untuk selalu diintip dan dibuka oleh pemiliknya. Tahun 2027 merupakan tahun titik balik, kehidupan di dunia tidak bisa kembali lagi ke masa sebelumnya, masa tanpa gadget. Sebelumnya HP hanya digunakan untuk berkomunikasi, namun setelah 2007 HP menjadi bagian yang tak terpisahkan, bahkan membawa identitas digital kita seperti rekening bank, nomor KTP, NPWP, sampai identitas SatuSehat yang akan menjadi standar identitas pengobatan.
Salah satu bentuk gangguan lainnya adalah menumpuk file digital, yaitu ketika seseorang senang mengoleksi segala bentuk dalam format digital di HP-nya seperti foto, video, suara, lagu, dll. Sehingga para ahli muncul dengan istilah digital hoarding. Hoarding sendiri berarti menumpuk dan kesulitan berpisah dengan barang pribadi tanpa melihat nilai dari barang tersebut. Biasanya kelainan ditandai dengan menumpuk barang yang sebagian besar tidak diperlukan pada sebuah ruangan atau di dalam rumah. Aktivitas menumpuk file digital juga dapat dikategorikan sebagai hoarding dimana pelakunya disebut sebagai digital hoarder. Penderitanya akan membuang banyak sekali waktunya dengan berulang melihat koleksinya tersebut.
Sebuah survey di AS yang dilakukan oleh Summit Hosting, sebuah penyedia layanan cloud server, menyampaikan bahwa rata-rata orang AS di dalam HP-nya memiliki setidaknya 582 gambar, 83 bookmarked websites, 21 desktop icons, dan 13 aplikasi yang tidak digunakan. Setiap 90 menit, 150 ribu terabytes data baru terunggah ke cloud, ekuivalen dengan 310 ribu foto. Masih dari survey yang sama juga melaporkan bahwa 6.6% orang AS menyimpan antara 1000-3000 email yang tidak dibaca, bahkan 1.9%-nya memiliki lebih dari 20 ribu email tak terbaca. Benar secara kasat mata tidak memenuhi sebuah ruangan seperti penimbun (hoarder) klasik/fisik pada sebuah rumah atau ruangan, namun aktivitas penumpukan file di dalam HP ini juga dikategorikan sebagai kelainan prilaku hoarding.
Berbeda dengan physical hoarding yang diderita oleh sedikit orang saja, menurut Nick Neave, PhD, associate professor pada Northumbria University di Inggris, setiap orang pengguna gadget atau HP pintar saat ini beresiko untuk menjadi seorang digital hoarding terutama dalam hal menumpuk materi yang berhubungan dengan pekerjaan. Walaupun resiko ini lebih besar terjadi pada mereka yang memang juga memiliki kelainan perilaku physical hoarding, namun tidak membuat seseorang terlepas dari resiko menjadi digital hoarding karena hadirnya gawai-gawai pintar ini.
Digital Self-Harm
Digital self-harm bila diterjemahkan bebas adalah tindakan mencelakai diri sendiri secara sengaja di dunia digital, yang merupakan salah satu kelainan perilaku yang juga muncul akibat pengaruh besar gawai-gawai pintar dalam kehidupan modern saat ini. Penderitanya sebagian besar adalah anak remaja di mana mereka mentarget dirinya sendiri untuk menjadi sasaran empuk kekerasan digital. Kondisi ini tidak bisa dianggap ringan karena penelitian yang dilakukan oleh Florida Atlantic University dan dimuat dalam Jurnal Child and Adolescent Mental Health menggarisbawahi bahwa remaja yang melakukan digital self-harm memiliki kecendrungan 5-7 kali lebih besar untuk memiliki pemikiran, dan 9-15 kali lebih besar untuk melakukan usaha bunuh diri.
Baca artilkel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Sangat penting terutama bagi orang tua untuk mengawasi HP atau gawai anak-anak mereka karena digital self-harm bila tidak ditangani dapat berakibat fatal terhadap perkem-bangan jiwa anak sampai dapat menyebabkan anak depresi. Bentuk dari digital self-harm ini bisa diamati dari status dan posting-an pada media sosial pelakunya, di mana mereka mem-posting tulisan atau gambar yang mentarget dirinya sendiri untuk mendapatkan respon penyerangan bahkan bullying. Terkadang yang bersangkutan membuat akun baru yang anonymous sehingga tidak diketahui siapa pemilik sebenarnya. Bentuk posting-an tersebut seperti tulisan “saya seorang yang kesepian”, “kamu orang bodoh yang tidak bearti”, “tidak punya teman dan keluarga membenci saya”, “tidak punya pacar karena saya jelek”, dll.
Penyebab Digital Self-Harm
Penyebab pasti digital self-harm masih dalam bahasan para ahli, tapi yang jelas kelaian perilaku ini muncul karena kebutuhan ingin diperhatikan atau usaha untuk melupakan emosi dari dalam diri. Hal ini terjadi karena ternyata seorang remaja di zaman modern ini di luar kebutuhan sekolahnya paling sedikit menghabiskan waktu 9 jam dalam sehari-semalam di depan layar gawai. Sebagian besar dari aktivitas dalam 9 jam tersebut adalah mengakses media sosial. Maka akhirnya muncul rasa bahwa dirinya tidak sebaik orang lain di dalam media sosial, merasa diri kurang cantik/ganteng, kurang pintar, kurang berhasil, dan rasa inferioritas lainnya. Untuk mendapatkan penegasan dari asumsi tersebut penderita melakukan digital self-harm.
Peningkatan Kasus Digital Self-Harm
Di negara maju seperti AS dan Eropa yang bisa kita asumsikan juga terjadi hal yang sama pada kota-kota besar di Indonesia (kalau tidak pada seluruh pemilik gawai pintar), kasus digital self-harm meningkat dari 6% pengguna gawai pintar pada tahun 2016 menjadi 9% pada tahun 2019. Di mana pelaku pria lebih banyak dibandingkan wanita. Angka anak remaja yang tidak puas dengan dirinya bahkan sampai memiliki pikiran untuk bunuh diri juga meningkat dari 14% di tahun 2009 menjadi 17% di tahun 2017. Bila tidak ditangani, perilaku ini akan mengganggu perkembangan mental anak, bahkan dapat menyebabkan mereka memiliki kelainan jiwa kecemasan dan/atau depresi.
Mengatasi “Kecanduan Digital”
Semua yang kita bahas di atas dapat kita sebut sebagai sebuah kecanduan dari perkembangan teknologi digital atau singkatnya “kecanduan digital”. Yang paling penting dari mengatasi kecanduan digital ini adalah menemukan atau mengetahui tanda dan gejalanya sejak dini. Karena seperti juga penyakit fisik, bila ditangani lebih dini, kelainan perilaku atau psikis ini juga akan lebih mudah ditangani serta lebih baik prognosisnya. Ada beberapa cara untuk mengatasi kecanduan digital sbb.:
- Take a break, beristirahatlah dari dunia sosial. Ciptakan waktu dalam 1 hari di mana selama beberapa jam untuk tidak sama sekali menggunakan HP kecuali untuk kebutuhan berkomunikasi. Jangan buka media sosial dan jangan buka situs atau portal berita.
- Bila kecanduan tersebut membuka laptop atau tablet, buatlah halaman desktop yang bersih. Jangan ditumpuk semua file di sana. Bila perlu kategorikan dalam folder.
- Hapus secara berkala (misalnya sebulan sekali) “download folder” atau “camera folder” dari file dan foto yang tidak diperlukan lagi. Tanya pada diri, apakah file/foto tersebut benar-benar diperlukan, sehingga bila tidak perlu segeralah untuk dihapus, jangan pikir 2 kali.
- Bagi orang tua, menjadi suatu keharusan untuk memantau secara berkala aktivitas anak dan remaja mereka di dunia maya. Buat suatu peraturan di rumah agar mendapatkan akses ke gadget mereka untuk melihat adanya tanda-tanda kelainan prilaku di dunia digital yang mungkin mereka miliki.
- Ciptakan waktu dalam satu hari secara rutin bisa berkumpul bersama keluarga, tanpa seorangpun memegang HP atau gadget. Ini akan melatih anak menekan perilaku compulsive-nya untuk membuka HP. Biasanya di waktu sarapan atau makan malam.
- Buat aktivitas outdoor menjalankan hobby di hari libur tanpa membawa HP/gadget. Misal jalan pagi, berkebun, atau ke sarana olahraga. Baru buka HP setelah selesai.
Yang Terjadi pada Diri ketika Melepas Gadget
Ada sebuah penelitian di AS untuk mengetahui apa yang terjadi pada diri seseorang di zaman modern ini ketika selama seminggu mengganti gadget-nya dengan telepon genggam biasa yang hanya untuk menelepon dan SMS:
- Hari 1: Pada awalnya terasa terlepas dari rutinitas harus membuka media sosial, namun beberapa kesulitan di jalan karena tidak dipandu Google map. Saat malam urgensi untuk membuka media sosial sangat besar.
- Hari 2: “Sakau” ingin membuka media sosial tetap besar. Tapi mulai merasa memiliki waktu luang lebih banyak. Banyak yang tidur lebih cepat saat malam hari.
- Hari 3: Muncul rasa khawatir terputus dari teman dan keluarga, namun mencoba menghubungi mereka dengan cara menelepon nomor GSM. Setelah sampai di rumah mulai mencari aktivitas rutin “non gadget” seperti membaca, menonton TV, mendengarkan radio.
- Hari 4: Masuk titik balik, dan merasa normal hidup tanpa media sosial dan smart phone. Tapi tetap ada rasa penasaran apa yang sudah ditinggalkan dalam waktu 4 hari tersebut. Tidur terasa lebih nyenyak.
- Hari 5: Merasa kesulitan membuat janji untuk aktivitas weekend bersama teman/keluarga, namun mulai terbiasa dengan cara menelepon atau SMS. Merasa aneh berada di ruang publik tanpa memegang gadget sementara semua orang menggunakannya.
- Hari 6: Kesulitan transportasi untuk naik transportasi berbasis online dan sulit melihat jadwal transportasi umum namun tetap bisa dengan cara konvensional.
- Hari 7: Merasa merdeka dari “jajahan” gadget dan banyak yang mengatakan akan tidak terlalu tergantung lagi dengan gadget mereka.
©IKM 2023-05