Pertengahan Juni 2022 ini, kasus COVID-19 (C19) kembali naik di Indonesia. Sedikit banyak dampak pergerakan manusia dalam jumlah besar di waktu yang bersamaan saat tradisi mudik lebaran awal Mei berandil menjadi faktor pendukung naiknya angka kasus tersebut. Ditambah lagi adanya 2 subvarian Omicron yang sedang “aktif” di dunia, dan kini sudah ditemukan di Indonesia. Subvarian yang diberi label BA.4 an BA.5 ini pertama kali terdeteksi di tanah air pada tgl. 6 Juni 2022. Sebagian dari kasus tersebut terkena pada orang yang sudah mendapatkan vaksinasi lengkap, bahkan yang sudah mendapatkan vaksin booster. Hal ini menimbulkan kekhawatiran masyarakat dan sudah pasti menimbulkan banyak pertanyaan dan hipotesis di kalangan ahli medis dunia.
Sampai dengan tgl. 24 Juni 2022, dari situs resmi vaksinasi https://vaksin.kemkes.go.id/#/vaccines orang Indonesia yang sudah mendapatkan vaksinasi pertama berjumlah 201.296.746 jiwa atau 96,65%, sudah mendapatkan vaksinasi ke-2 sebanyak 168.542.811 jiwa (80,98%), dan sudah di-booster 49.543.811 jiwa (23,79%). Hal ini dapat dicapai dalam kurun waktu mulai 13 Januari 2021 atau sekitar 1,5 tahun saja. Suatu pencapaian yang sangat harus diapresiasi dan disyukuri. Resistensi tentang vaksinasi yang tadinya cukup besar pada awal tahun 2021, dapat kita hadapi bersama, membawa Indonesia saat ini menduduki peringkat ke-2 setelah China untuk persentase warganya yang sudah mendapatkan vaksinasi lengkap (1 dan 2).
Karena masih sangat banyak juga manusia di dunia yang belum tervaksinasi lengkap, bahkan belum divaksinasi sama sekali, maka kemungkinan virus SARS-CoV-2 penyebab C19 ini masih sangat mungkin untuk bermutasi di dalam tubuh-tubuh yang belum kebal tersebut. Sampai akhirnya muncul subvarian Omicron yang diberi label BA.4 dan BA.5 tersebut. Menurut dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH selaku Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI, subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 memiliki kemungkinan menyebar lebih cepat dibandingkan subvarian omicron sebelumnya, yaitu BA.1 dan BA.2. Namun kabar baiknya tidak ada indikasi kesakitan yang lebih parah dari varian Omicron sebelumnya.
Immune Escape
Lalu apa yang menyebabkan masih ada orang yang bisa terkena subvarian baru Omicron ini, padahal dirinya sudah divaksinasi lengkap atau pernah terinfeksi C19 sebelumnya? Hal ini bisa terjadi karena kondisi immune escape, yaitu suatu kondisi di mana imunitas seseorang memiliki kemungkinan lolos dari perlindungan kekebalan akibat dari paparan atau infeksi varian baru dari sebuah virus. Infeksi ini disebut sebagai breakthrough infection. SARS-CoV-2 menggunakan spike protein untuk penetrasi ke dalam sel lalu memperbanyak dirinya. Bila suatu mutasi terjadi pada protein tersebut, maka virus akan lebih mudah masuk ke dalam sel, dan membuat virus akan lebih mudah terhindari dari deteksi sistem imun tubuh, walaupun yang bersangkutan sudah terkena C19 atau sudah divaksin sebelumnya. Dan inilah yang terjadi pada BA.4 dan BA.5, immune escape menciptakan kondisi breakthrough infection.
Hasil Tes Positif Setelah Vaksin
Hal ini pulalah yang sangat memungkinkan seseorang terperiksa dengan hasil positif C19 baik dengan cara PCR maupun antigen. Walaupun dirinya sudah pernah terkena C19 sebelumnya, atau sudah mendapatkan vaksinasi lengkap, bahkan booster sekalipun. Sejauh ini vaksin C19 yang tersedia di dunia belum di-disain untuk mencegah infeksi sama sekali, bahkan belum di-disain untuk mencegah terjadi penularan dari orang positif ke orang lainnya. Vaksin-vaksin ini baru di-disain untuk menahan replikasi dari virus agar penyakit yang disebabkannya tidak berat, atau malah diharapkan tidak bergejala. Vaksin yang ada saat ini pun belum bisa mempertahankan antibodi terhadap SARS-CoV-2 tetap tinggi, karena antibodi tersebut turun seiring dengan waktu. Maka dengan tetap munculnya varian baru, proteksi vaksin akan juga ikut menurun.
Bila seseorang terperiksa positif C19 dan merupakan suatu breakthrough infection, maka 50-60% kasus akan muncul gejala yang sebagian besar ringan. Sejauh ini dilaporkan hanya 10% yang sampai harus dirawat di RS. Apapun status vaksinasi C19 penderita, cara karantina dan isolasi mandiri tidak berbeda dibandingkan ketika pandemi masih berada pada puncaknya, karena yang bersangkutan tetap beresiko sama untuk menularkan penyakitnya ke orang lain. Terutama yang dikhawatirkan menular ke orang dengan kondisi dan penyakit comorbid, manula, dan anak-anak yang belum bisa divaksin. Berikut rekomendasi WHO karantina breakthrough infection:
- Tidak bergejala: 5 hari karantina.
- Bergejala, tapi sudah divaksin: 5 hari karantina ditambah 5 hari selalu menggunakan masker bila bertemu orang lain.
- Bergejala dan belum divaksin: Seperti nomor 2, dan harus segera mendapatkan vaksinasi 2 minggu dari gejala hilang.
Resiko Terkena Breakthrough Infection
Resiko seseorang terkena breakthrough infection saat ini disimpulkan oleh para ahli adalah sebesar 1:5000. Artinya 1 kali kemungkinan terinfeksi dari 5.000 kali kejadian paparan virus. Sementara resiko sampai harus dirawat di RS karena mengalami gejala berat adalah 1:20.000 kejadian. Bahkan 25% dari kasus breakthrough infection tidak bergejala sama sekali. Angka yang baik ini bisa terjadi karena walaupun terinfeksi, tetap sudah terdapat kekebalan di dalam tubuh penderita sehingga sedikit banyak memberikan perlindungan. Dr. Shereef Elnhal, presiden dan CEO dari University Hospital in Newark, New Jersey, AS, mengatakan bahwa tervaksinasi lengkap (dosis 1-2), secara substansial mengurangi resiko seseorang terkena infeksi, mengurangi resiko harus dirawat di RS, dan sudah pasti mengurangi resiko kematian.
Baca artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Kabar baiknya, walaupun subvarian baru Omicron mulai dari BA.1 sampai BA.5 diketahui sejauh ini hanya mengakibatkan gejala berat pada mereka yang tidak mendapatkan vaksinasi sama sekali sementara dirinya juga belum pernah terpapar C19 sebelumnya. Artinya di dalam tubuh mereka belum ada sama sekali kekebalan terhadap virus SARS-CoV-2. Bila subvarian baru tersebut menginfeksi orang yang sudah tervaksinasi lengkap apa lagi sudah di-booster, gejala yang muncul akan ringan bahkan bisa tidak menimbulkan gejala sama sekali. Baru akan ketahuan bila yang bersangkutan terjaring screening, misalnya di bandar udara ketika akan melakukan perjalanan. Namun bagi mereka yang memiliki gangguan sistem imun, juga pada manula dan mereka yang memiliki penyakit dan kondisi comorbid harus lebih waspada. Karena walaupun sudah mendapatkan vaksin, gejala yang dirasakan cendrung lebih berat dibandingkan mereka lebih muda dan yang fisiknya lebih sehat.
Gejala COVID-19 vs. Batuk Pilek Biasa
Bila sampai bergejala, gejala C19 memang mirip dengan gejala batuk pilek biasa atau common cold, tapi tetap gejala C19 relatif lebih berat. Lebih tepat sebenarnya bahwa gejala C19 itu mirip dengan influenza atau yang lebih dikenal di Indonesia dengan istilah “flu berat” atau “bad flu” dalam bahasa Inggris. Jadi bila dokter mengatakan “gejala ringan C19” itu berarti sudah muncul banyak keluhan seperti sakit kepala, hidung tersumbat, demam, sakit tenggorokan, batuk, bersin, sakit-sakit badan, gangguan pernafasan lain, bahkan bisa muncul gangguan pencernaan, dll. Ada beberapa faktor yang membedakan gejala itu berbeda antara 1 penderita dengan lainnya, sbb.:
- Sudah tentu pertama adalah status vaksinasi penderita
- Kondisi kesehatannya secara umum
- Virus load (jumlah virus) yang menginfeksi
- Varian virus yang menginfeksi.
Gejala Ringan Jangan Diabaikan
Bagi yang bergejala ringan, orang kini sering sekali tidak sadar bahwa yang dialaminya adalah sebuah kasus C19. Dan gejala tersebut kini tidak lagi seragam. Gejala akan sangat bervariasi dan berbeda antara penderita satu dengan lainnya. Dr. Robert Wachter dari San Francisco, AS mengatakan bahwa ada kecendrungan gejala muncul pertama kali sesaat sesudah bangun tidur di mana penderita akan merasa tidak enak badan atau meriang dan bisa disertai oleh sakit tenggorokan, batuk kering, nyeri otot, dan kedinginan. Lalu ada gejala tidak khas lainnya seperti kembung yang terjadi pada 14% penderita, sering sendawa pada 10% penderita, muntah 9% penderita, dan sakit perut 7% penderita. Gejala tidak khas yang lebih kecil persentasenya adalah suara serak, menggigil, pusing, dan seperti terkena serangan maag. Gejala pada pencernaan ini lebih sering dilaporkan terjadi pada mereka dengan sistem imun yang lemah, dengan sering mengeluhkan diare.
Bila muncul gejala, walaupun ringan, jangan diabaikan. Karena C19 tetap masih menjadi ancaman bagi kita semua. Ingatlah bahwa infeksi C19 sudah diketahui menyebabkan kondisi peradangan atau inflamasi pada level sel, terutama pada organ pernafasan dan cardiovascular. Respon tubuh terhadap peradangan ini bisa membahayakan di mana salah satunya menyebabkan meningkatnya kadar gula darah, sehingga sangat berbahaya bagi penderita kencing manis atau serangan jantung bagi penderita jantung. 2 hal yang menjadi pencetus kematian tertinggi karena C19 selama ini. Selain itu gejala ringan ini juga bisa bertahan lama yang dikatakan sebagai long COVID. Gejala yang bertahan biasanya fatigue, masalah pernafasan, insomnia, dan menurunnya konsentrasi.
Mendapatkan Vaksin Booster
Seperti yang diuraikan di atas, bahwa kekebalan terhadap SARS-CoV-2 tersebut menurun seiring dengan waktu. Baik bagi mereka yang sudah pernah terkena atau pun sudah mendapat vaksinasi lengkap (dosis 1-2). Untuk membuat kekebalan tersebut lebih bertahan lama, yang berarti lebih memberikan perlindungan dari resiko kematian, resiko sakit berat sehingga harus dirawat di RS, bahkan memberikan perlindungan dari sakit ringan atau bisa sampai jadi tidak bergejala sama sekali; maka semua ahli setuju setiap orang harus mendapatkan vaksin booster (dosis ke-3). Saat ini di AS vaksin booster sudah diizinkan diberikan untuk usia 12 tahun ke atas. Indonesia tentunya akan menyusul sebentar lagi. Bahkan saat ini para ahli tengah meneliti diperlukannya dosis ke-4 (booster ke-2) untuk mereka yang memiliki kondisi atau faktor comorbid dan para manula dengan patokan usia di atas 50 tahun.
Booster untuk Anak Di Bawah 12 tahun
Namun sampai saat ini para ahli tetap belum setuju untuk memberikan booster kepada anak-anak berusia di bawah 12 tahun. Selain memang penelitiannya belum selesai dilakukan yang kini semakin panjang waktu yang dibutuhkan. Karena kasus C19 pada anak-anak di bawah 12 tahun semakin jarang, sehingga semakin sulit pula untuk melakukan penelitian bagi kelompok umur mereka. Jangan dikhawatirkan, karena hal ini juga berarti, mungkin anak-anak di bawah 12 tahun memang tidak membutuhkan booster seperti dewasa dan mereka yang memiliki kondisi atau penyakit comorbid serta manula. WHO juga mempertimbangkan kebermanfaatan vaksin yang tetap terbatas di dunia untuk lebih memprioritaskan booster diberikan kepada mereka yang lebih membutuhkan. Bila pada suatu daerah atau negara sudah terbentuk herd immunity atau kekebalan kelompok, maka anak juga akan ikut terlindungi.
Kekebalan Kelompok di Indonesia
Sampai saat ini pemerintah belum “mengetuk palu” bahwa pandemi di Indonesia sudah berakhir. Karena transisi pandemi menjadi endemi harus ditentukan oleh sejumlah indikator yang harus terjadi terus-menerus dalam rangka waktu tertentu yang ditetapkan (6 bulan), sbb.:
- Laju angka penularan harus kurang dari 1
- Angka positivity rate harus kurang dari 5%
- Tingkat perawatan rumah sakit harus kurang dari 5%
- Angka fatality rate harus kurang dari 3%
- Level PPKM berada pada transmisi lokal level tingkat 1
©IKM 2022-06