Istilah immunity debt atau utang imunitas menjadi sering kita dengar dan baca pasca pandemi COVID-19 (C19), meskipun pandemi belum benar-benar berakhir. Para ilmuan di dunia terbagi menjadi 2 kelompok dalam menanggapi immunity debt ini. Sebagian setuju bahwa memang terjadi dan terdapat resiko seseorang terkena immunity debt pasca pandemi C19, namun sebagian lagi percaya bahwa immunity debt tidak terjadi dan kondisi yang dikatakan sebagai immunity debt tersebut tidak ada kaitannya dengan pandemi C19, bahkan berpotensi menciptakan opini salah pada masyarakat dunia.
Istilah immunity debt atau kadang disingkat menjadi immune debt baru muncul tahun 2021 yang lalu. Ketika itu ditulis dan dipublikasikan di dalam jurnal Infectious Disease Now oleh grup dokter spesialis anak dari Prancis. Penulis memperingati bahwa mitigasi pencegahan C19 dapat membuat sistem imun orang menjadi kurang efektif untuk melawan agen patogen (penyebab penyakit) disebabkan oleh apa yang mereka katakan sebagai “kurangnya stimulasi imunitas” (lack of immune stimulation). Setelah tulisan dipublikasikan, istilah immunity debt menjadi dibahas luas di dunia bukan hanya di jurnal-jurnal medis, tapi juga pada berbagai platform media sosial.
Alasan yang melatarbelakangi ilmuan yang pro atau percaya dengan immunity debt adalah terjadinya peningkatan infeksi saluran pernafasan di beberapa wilayah dunia pada akhir pandemi C19 ini. Namun karena peningkatan tersebut tidak pernah terjadi sebelum pandemi C19 dan masih sulit untuk dijelaskan penyebabnya, maka mereka menciptakan suatu tripledemic concept (konsep tripeldemik) yang disebabkan oleh immunity debt atau utang imunitas. Menurut teori ini, orang-orang di dunia lebih sedikit terpapar virus-virus pada 2 tahun terakhir karena usaha pencegahan C19 seperti menggunakan masker, isolasi, dan social distancing. Protokol kesehatan pencegahan C19 tsb. dapat juga mencegah seseorang terkena infeksi pernafasan lainnya seperti influenza dan RSV (respiratory syncytial virus), dll. sehingga membuat selama 2 tahun terakhir kasus infeksi pernafasan selain C19 tersebut menurun drastis.
Lalu ketika pembatasan-pembatasan perlahan dihilangkan, orang mulai tidak menggunakan masker, mulai berkerumun dan bersentuhan, serta social distancing tidak lagi diberlakukan; tiba-tiba kasus infeksi saluran pernafasan menjadi meningkat, bahkan lebih tinggi bila dibandingkan dengan kondisi normal sebelum pandemi C19. Peningkatan yang lebih tinggi ini dikatakan oleh ilmuan yang pro tersebut adalah karena selama 2 tahun sistem imun tubuh tidak pernah atau kurang terpapar virus untuk menciptakan kekebalan. Sehingga ketika terjadi pelonggaran protokol kesehatan, sistem imun tubuh harus membayar “utang” atau “debt” untuk membuat kekebalan-kekebalan terhadap virus-virus yang belum dikenal tersebut.
Anak-Anak Lebih Beresiko
Masih menurut ilmuan yang pro terhadap immunity debt, bahwa anak-anak lebih beresiko untuk mengalaminya dibandingkan orang dewasa. Angka ini diprediksi lebih meningkat pada musim dingin (di negara 4 musim), karena memang kasus infeksi pernafasan lebih tinggi terjadi saat musim dingin. Sistim imunitas mereka yang seharusnya mencicil menciptakan kekebalan, kini harus di-bombardier oleh berbagai varian virus infeksi saluran pernafasan dalam waktu yang hampir bersamaan. Bagi orang dewasa sistem imun mereka sudah lebih dulu dan lebih sering terpapar virus sebelum pandemi dibandingkan anak-anak. Inilah yang membuat anak-anak lebih banyak yang sakit atau terkena immunity debt dibandingkan orang dewasa.
Di Negara 4 Musim vs. Indonesia
Seperti juga kondisi sebelum pandemi C19, di mana kasus infeksi saluran pernafasan lebih tinggi terjadi dan terfokus pada musim dingin; pada akhir pandemi C19 ini bangsal anak di rumah-rumah sakit negara 4 musim dipenuhi oleh anak-anak yang terkena pneumonia, bronchiolitis, dan penyakit saluran pernafasan lainnya, yang disebabkan sebagian besar oleh virus influenza, RSV, metapneumovirus, rhinovirus, dan enterovirus. Kondisi ini lebih memperkuat lagi teori terjadinya immunity debt, karena pasca pandemi C19 angka kejadian kasus-kasus pada anak tersebut menjadi 2 kali lipat dibandingkan waktu yang sama sebelum pandemi. Ombak kejadian infeksi saluran pernafasan tiba-tiba menjadi “tsunami” pasca pandemi C19.
Tapi kalau kita lihat kondisinya di Indonesia, angka infeksi saluran pernafasan, baik pada dewasa dan anak, tidak meningkat setinggi di negara-negara 4 musim. Memang angkanya juga meningkat dibandingkan sebelum pandemi pada kurun waktu yang sama, namun tidak setinggi di negara-negara yang mengalami musim dingin tersebut. Begitu juga di negara atau wilayah lain di dunia yang tidak mengalami musim dingin, kejadian peningkatan infeksi pasca pelonggaran protokol kesehatan pencegahan C19, tidak terjadi setinggi pada negara-negara 4 musim di mana kasusnya bahkan menjadi 2 kali lipat. Hal ini membuat pendapat bahwa sedang terjadi immunity debt atau utang imunitas pasca pandemi C19 menjadi lemah, karena tidak terjadi secara merata di seluruh dunia.
Spekulasi Penurunan Kekebalan (Immune Suppression)
Ada pula ilmuan yang berspekulasi bahwa terjadi immune suppression atau penurunan kekebalan tubuh akibat infeksi C19 yang sebelumnya diderita. Hal ini juga pernah diduga terjadi setelah seseorang terkena infeksi campak. Pendapat ini tidak didukung oleh data yang cukup, malahan ada penelitian yang dilakukan oleh National Institute of Health di AS mematahkan teori pendapat tersebut. Memang ada kejadian terjadinya perubahan sistem imun setelah seseorang terkena long COVID, namun tidak seluruh sistem imunnya berubah dan menjadi lebih lemah. Malah kenyataannya, respon imun terhadap infeksi C19 justru membuat seseorang lebih kuat terhadap infeksi virus pernafasan lainnya, yang dikenal dengan istilah viral interference phenomenon atau fenomena interferensi virus.
Baca artikel lainnya di Blog Dr. indra K. Muhatadi
Ilmuan yang tidak setuju dengan immunity debt ternyata lebih banyak dibandingkan yang setuju. Selain disebabkan oleh kenyataan bahwa peningkatan infeksi saluran pernafasan pasca pandemi C19 ini tidak terjadi merata di seluruh dunia, juga ada fakta bahwa peningkatan yang terjadi juga bukan karena dugaan selama penerapan protokol kesehatan pencegahan C19 terjadi “utang” infeksi pada orang-orang di dunia. Ilmuan yang kontra ini menentang keras kelompok ilmuan yang pertama dan mengatakan bahwa informasi mengenai immunity debt ini salah, berbahaya, dan menyesatkan. Tindakan mitigasi dan pencegahan C19 tidak diragukan lagi sudah menyelamatkan sangat banyak sekali nyawa orang di dunia. Pendapat adanya immunity debt malah berpotensi membuat banyak orang akan menyalahkan mitigasi pencegahan selama pandemi tersebut.
Sulit Dibuktikan
Ilmuan yang kontra mengatakan bahwa sangat sulit untuk dibuktikan bahwa sistem imun seseorang menjadi lemah pasca pandemi C19. RSV (respiratory syncytial virus) seperti juga influenza memang selalu menyebabkan lonjakan kasus flu musiman terutama pada anak-anak dan manula pada wilayah dunia yang mengalami musim dingin. Keduanya menyebabkan batuk, pilek, dan mencetus kesulitan bernafas pada sejumlah kecil bayi. RSV sangat sering terjadi, bahkan menginfeksi 80% anak-anak di Inggris sebelum berusia 2 tahun. Memang kasusnya turun drastis selama pandemi C19 karena protokol kesehatan yang dijalankan. Namun bukan berarti naiknya kasus pasca pandemi merupakan akibat dari immunity debt, tapi karena protokol kesehatan sudah banyak ditinggalkan, bahkan cendrung lebih bebas dibandingkan sebelum pandemi. Sudah dapat dipastikan infeksi saluran pernafasan akan meningkat.
Persepsi Infeksi itu Penting bagi Anak
Bahaya pendapat immunity debt akan berujung pada adanya persepsi bahwa infeksi itu penting bagi anak dan layak dibiarkan. Hal ini tentunya sangat salah. Karena bila memang tidak harus sakit, mengapa anak malah dibiarkan sakit? Profesor Peter Openshaw, seorang dokter ahli pernafasan dan ahli imunologi yang mempelajari RSV dan flu di Imperial College London, mengatakan kalau memang infeksi itu penting untuk menciptakan kekebalan, buat apa kita hidup bersih, minum air yang bersih, menjaga kebersihan tubuh dll. Maka tidak bisa dibayangkan akan banyak sekali jatuh korban kolera, typhoid, hepatitis A, dan penyakit infeksi lainnya. Profesor Openshaw bahkan berpendapat bahwa menunda seorang anak terkena RSV justru sangat baik karena virus lebih menyebabkan kematian bila terjadi pada bayi berusia di bawah 6 bulan. Di dunia sendiri 1 dari 50 kematian anak di bawah usia 5 tahun disebabkan oleh RSV.
Imunitas Individu vs. Kekebalan Kelompok
Sistem imun di tubuh sebenarnya tidak pernah berhenti bekerja, bahkan ketika tidak ada paparan patogen. Sangat banyak sekali jenis patogen yang tidak terpapar pada seorang individu, namun bila ia harus terpapar, sistem imun di dalam tubuhnya akan melawan. Dan sangat sering sekali pertempuran sistim imun dan patogen berlangsung di dalam tubuh tanpa disadari, lalu yang bersangkutan menjadi kebal. Profesor Deborah Dunn-Walters seorang ahli imunologi dari University of Surrey Inggris, mengatakan bahwa konsep immunity debt tidak dikenal di ilmu imunologi. Sistem imun tidak seperti otot yang harus dilatih setiap saat agar tetap kuat. Mencegah terjadinya infeksi tetap lebih baik dibandingkan harus menjadi sakit. Ia mengatakan bahwa sekelompok kecil orang bisa terinfeksi penyakit non COVID ini selama pandemi, di mana setelah pembatasan dihapuskan menularkannya ke kelompok orang yang lebih besar. Lonjakan kasus bisa terjadi hanya karena memang ada lebih banyak orang yang dapat ditularkan dibanding saat pembatasan.
Turunnya Cakupan Vaksinasi
Dilaporkan oleh WHO bahwa tindakan vaksinasi terhadap infeksi penyakit pernafasan seperti influenza menurun cukup signifikan selama pandemi C19. Di negara 4 musim vaksinasi influenza ini sangat dianjurkan, tapi selama pandemi C19 banyak yang tidak melakukannya karena berbagai alasan. Ada yang khawatir terkena C19 setelah vaksinasi, akibat sistem imun melemah. Namun tidak sedikit yang enggan datang ke tempat pelayanan kesehatan untuk mendapatkan vaksinasi akibat khawatir terkena C19. Akibatnya, kekebalan yang harusnya didapatkan setiap tahun seperti sebelum pandemi menjadi tidak didapatkan. Sudah pasti saat pembatasan dicabut pasca pandemi akan mencetus tingginya angka infeksi. WHO melaporkan bukan hanya vaksin influenza, bahkan vaksin rutin yang memang harus didapatkan anak pun banyak yang terlewat, dan ini terjadi hampir di seluruh belahan dunia.
Disenangi Anti-Vaxxers
Bergulirnya pendapat immunity debt sangat disenangi oleh para Anti-Vaxxers yaitu kelompok orang di dunia yang menentang vaksinasi dan lebih memilih terkena infeksi dibandingkan vaksinasi. Karena seakan-akan seseorang lebih baik terkena infeksi dibandingkan mendapat kekebalan dari vaksinasi. Di berbagai platform media sosial, para Anti-Vaxxers inilah yang terus mengompori issue ini sehingga tidak berhenti bergulir. Padahal tidak bisa dipungkiri lagi, vaksinasi terhadap C19 terbukti dapat mengakhiri pandemi dan menciptakan kekebalan kelompok di dunia. Begitu pula dengan berbagai jenis vaksinasi yang rutin dilakukan sebelum pandemi, terbukti membuat kasus penyakit yang dapat dicegah tersebut menurun kasusnya. Pendapat immunity debt berpotensi merusak tatanan tersebut sehingga banyak orang dan anak yang seharusnya tidak perlu sakit, menjadi harus menderita sakit.
Penutup
Terlambatnya tercipta kekebalan terhadap patogen memang terjadi, akibat selama lebih dari 2 tahun menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Tapi bukan berarti banyak orang dan anak yang terinfeksi penyakit saluran pernafasan pasca pandemi disebabkan oleh sistem imun mereka sedang “bayar utang”. Tapi lebih karena kesempatan mereka untuk menjadi sakit lebih tinggi setelah tidak lagi menerapkan protokol kesehatan. Menunda dan mencegah terjadinya infeksi tetap lebih baik dibandingkan harus terinfeksi, apa lagi pada bayi. Sehingga melengkapi vaksinasi untuk diri dan anak harus tetap dilakukan dan menjaga kebersihan diri seperti saat pandemi baik untuk terus dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
©IKM 2023-01