Tidak terasa pada bulan Desember 2023 ini, berarti sudah empat tahun yang lalu kala pertama virus SARS-CoV-2 penyebab penyakit COVID-19 (C19) diketahui menginfeksi manusia. Tak lama berselang pada 20 Januari 2020 WHO mengumumkan bahwa dunia berada dalam darurat pandemi C19. Berkat kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran di awal abad 21 ini, syukur alhamdulillah, umat manusia dengan waktu relatif singkat dapat menemukan vaksin untuk mengendalikan lajunya penyebaran virus ini. Ujungnya pada 5 Mei 2023, WHO mencabut darurat kesehatan karena C19, lalu kemudian disusul oleh pemerin-tah Indonesia yang mencabutnya pada 21 Juni 2023.
Kurang lebih dalam 6 bulan pencabutan darurat kesehatan tersebut, angka insidensi infeksi baru C19 senantiasa menunjukkan tren yang menurun. Tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Berikut C19 dalam angka di dunia dan di Indonesia (sd. tanggal 14 Desember 2023):
Namun total jumlah kematian di Indonesia sepertinya angkanya lebih real, karena kematian terjadi ketika penyakit C19 sudah parah dan sudah hampir pasti terkonfirmasi penyebabnya adalah C19. Kematian karena C19 di dunia ada di angka 6,98 juta (892,3 kematian dari setiap 1 juta orang), dan di Indonesia hampir 162 ribu orang (580 kematian dari setiap 1 juta penduduk Indonesia). Angka ini membawa Indonesia berada di ranking 11 dari 231 negara yang ada di dunia.
Hidup Berdampingan dengan C19
Seperti yang sudah diprediksi sebelumnya, dan seperti juga virus penyebab penyakit menular lainnya seperti campak; virus SARS-CoV-2 tidak akan dapat benar-benar hilang. Ini artinya penyakit C19 juga akan terus ada mendampingi hidup kita. Virus SARS-CoV-2 merupakan virus RNA berantai pendek yang memang secara alamiah akan terus bermutasi menghasilkan varian-varian baru. Namun kecepatan lahirnya varian baru akan sangat bergantung kepada herd immunity atau kekebalan kelompok yang terbentuk di dunia. Semakin banyak orang yang kebal, akan semakin sulit bagi virus untuk melahirkan varian baru, karena virus hanya bisa hidup dan bermutasi bila berhasil menginvasi sel hidup pada orang yang tidak memiliki kekebalan. Ini berarti sangat penting bagi umat manusia untuk menjaga herd immunity ini agar senantiasa tinggi di dunia.
Varian Omicron dan Keturunannya
Varian yang mendapatkan perhatian atau VoI (Variant of Concern) terakhir yang ada adalah varian Omicron, yang mulai terdeteksi pada akhir November 2021. Sudah lebih dari 2 tahun berselang hingga di penghujung 2023 ini, virus SARS-CoV-2 belum bermutasi membentuk VoC baru. Semua varian yang muncul setelah November 2021, masih merupakan sub varian atau bisa dikatakan sebagai hasil “mutasi kecil” dari pendahulunya yaitu Omicron. Hal ini bisa terjadi karena herd immunity sudah mulai terbentuk dengan cukup baik di dunia, yang bisa didapatkan dalam waktu relatif singkat tersebut karena keberhasilan vaksinasi masal di seluruh dunia termasuk di Indonesia.
Sub Varian Omicron di Penghujung 2023
Walaupun demikian, di penghujung 2023 ini lahir beberapa sub varian baru Omicron yang membuat kasus kembali naik di dunia dan juga di Indonesia. Di ASEAN laporan tertinggi ada di Singapore sebanyak 22 ribu lebih kasus baru C19. Mungkin hal ini disebabkan di antara negara-negara ASEAN, Singapore melakukan pengujian lebih sering dan lebih rutin dibandingkan negara lain. Sub varian Omicron yang menjadi biang kerok kenaikan kasus ini adalah BA.2.86 yang diberi nama Pirola. Di Dunia, sudah 47 negara yang melaporkan kenaikan kasus C19 disebabkan olah Pirola sehingga dikategorikan sebagai VoI (Variant of Interest). Yang tertinggi adalah Inggris, AS, Spanyol, dan Australia, lalu diikuti Belanda, Swiss, Islandia, Afsel, dan Korsel.
Sementara di Indonesia pada awal Desember 2023, angka kasus baru masih <20 kasus/100 ribu penduduk, dengan <5 kasus yang harus dirawat inap/100 ribu penduduk, dan <1 kasus kematian/100 ribu penduduk. Namun dibandingkan tanggal 1 Oktober, kasusnya sudah naik sebesar 289%, dengan kejadian tertinggi ada di DKI Jakarta, Jatim, Jabar, Banten, dan Bali. Kenaikan kasus di Indonesia ini masih disebabkan oleh sub varian Omicron yaitu XBB.1.9.2 dan XBB.1.9.1 bernama Hyperion. XBB.1.9.1 transmisinya dila-porkan sama dengan varian Omicron lainnya, namun XBB.1.9.2 menunjukkan transmisi lebih cepat dibandingkan dengan sub varian Omicron lainnya. Kedua sub varian di Indonesia ini oleh WHO dikategorikan sebagai VuM (Variant under Monitoring) yang levelnya lebih tidak mengkhawatirkan dibandingkan VoI.
Baca artikel lainnya di Blog Dr. Indra K. Muhtadi
Selain ketiga sub varian yang disebut di atas, yaitu: Pirola (VoI), lalu Hyperion dan XBB.1.9.2 (VuM), ada 3 sub varian yang juga dikategorikan VoI, yaitu: XBB.1.5 bernama Kraken, XBB.1.16 (Arcturus), dan EG.5 (Eris). Lalu ada 3 sub varian dikategorikan VuM, yaitu: BA.2.75, CH.1.1 (Orthrus), dan XBB.2.3 (Acrux). Sehingga total seluruhnya ada 9 sub varian baru Omicron. Kabar baiknya mereka tidak menyebabkan kesakitan yang lebih parah dibandingkan varian-varian sebelum mereka. Gejala yang muncul masih sama dan biasanya datang secara berurutan sbb.:
- Dimulai dengan demam
- Kemudian diikuti oleh batuk
- Lalu muncul sakit tenggorokan, nyeri otot, sakit kepala
- Bisa muncul mual dan muntah
- Yang disusul dengan munculnya diare
- Bisa juga muncul anosmia dan ageusia.
Perbedaan dengan Gejala Influenza
Penelitian mendapati bahwa penderita influenza hampir selalu mengeluhkan batuk yang diikuti oleh sakit otot terlebih dahulu baru muncul demam. Sementara pada C19 sub varian baru ini, gejala demam muncul pertama sebelum diikuti gejala lainnya seperti yang dijelaskan di atas. Memahami perbedaan ini menjadi penting untuk meng-hentikan penyebaran sub varian baru C19 ini. Karena walaupun masih sama seperti sub varian sebelumnya, namun tetap saja 2-3 kali lebih mudah menular dibanding-kan influenza biasa. Maka pada penghujung 2023 ini bila pada awalnya ada yang menderita demam tanpa ada gejala lainnya, sebaiknya ia mengisolasi diri atau setidaknya menggunakan masker bila berinteraksi dengan orang lain.
Manifestasi Klinis C19 Sub Varian Baru
Untuk lebih jelasnya, berikut gejala klinis C19 dari sub varian baru yang harus kita mengerti, dibagi menjadi:
- Tanpa gejala: tidak ada manifestasi klinis atau keluhan.
- Gejala ringan (Stage 1): demam, batuk, lemah, anorek-sia (hilang nafsu makan, berat badan turun), napas pendek, sakit otot, sakit tenggorokan, hidung tersum-bat, mual, diare, saturasi oksigen (SpO2) dengan udara ruangan masih >95%, tidak ada bukti pneumonia.
- Gejala sedang (Stage 2): seperti gejala ringan, tapi SpO2 udara ruangan >93%, ada tanda klinis pneumonia: demam-batuk kombinasi dengan sesak dan nafas cepat.
- Gejala berat (Stage 3): seperti gejala sedang, tapi SpO2 udara ruangan sudah <93%, frekuensi napas >30x /menit, terjadi distress pernafasan berat.
- Kritis: sudah masuk kategori ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) yang seperti gejala berat tapi sudah terjadi sepsis atau kondisi lain yang membutuhkan alat penunjang hidup seperti ventilator atau vasopressor.
Immune Escape
Dulu pernah dibahas di dalam beberapa artikel di blog ini mengenai immune escape atau netralisasi antibodi. Yaitu kondisi daya tahan tubuh yang sudah terbentuk sebagai pertahanan terhadap suatu jenis virus, namun tidak mengenali varian baru dari virus tersebut. Kondisi ini yang membuat orang sudah pernah terkena atau sudah divaksin namun bisa tetap kena C19 bahkan sampai beberapa kali. Hal ini jugalah yang menyebabkan kasus C19 kembali naik di penghujung tahun 2023 ini. Karena kesembilan sub varian baru yang disebutkan di atas memiliki kemungkinan lolos dari deteksi dan perlindungan kekebalan tubuh (antibodi) yang sudah ada terhadap varian Omicron.
Strategi Penanggulangan di Indonesia
Untuk menghadapi kemungkinan naiknya kasus C19, pemerintah melalui Kementrian Kesehatan mengeluarkan Permenkes No. 23 tahun 2023 tentang Pedoman Penanggulangan C19. Dalam peraturan ini dipaparkan strategi penemuan kasus secara aktif dan pasif yang menggabungkan surveilans C19 dengan ILI-SARI (Influenza Like Illness – Severe Acute Respiratory Illness) dengan disiapkannya jejaring 37 RS, 39 Puskesmas, 14 KKP (Kantor Kesehatan Pelabuhan), 13 Labkesmas regional, dan 17 Lab WGS (whole genome sequencing). Dari surveilans ini diketahui bahwa di Indonesia peningkatan kasus sub varian baru Omicron terjadi sejak pertengahan Oktober 2023.
Rekomendasi Pemerintah di Indonesia
Mengacu kepada Permenkes di atas, dan kondisi menigkat-nya kasus baru C19, Kementrian Kesehatan memberikan rekomendasi untuk kita lakukan bersama, sbb.:
- Melakukan pemeriksaan mandiri dengan swab antigen, lalu dilaporkan dalam Satu Sehat.
- Melakukan kembali pemeriksaan screening pada pela-ku perjalanan di pintu masuk negara dan domestik baik melalui bandara, pelabuhan kapal, dan pos lintas batas.
- Untuk kasus yang dianggap perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan swab PCR.
- Menjalankan pemeriksaan WGS untuk kasus positif C19 yang memenuhi kriteria.
- Menjalankan kembali protokol kesehatan.
- Melengkapi vaksinasi booster sampai booster ke-2.
Vaksinasi
Kita tentunya tidak menginginkan pandemi C19 terulang kembali, yang akan memperburuk kondisi ekonomi yang setelah 4 tahun ini pun belum kembali pulih sepenuhnya. Sudah terbukti keberhasilan umat manusia keluar dari pandemi adalah atas izin Allah SWT, dengan ditemukan dan disuntikkannya vaksin C19 secara masal di seluruh dunia. Hasil dari vaksinasi tersebut dapat dilihat dengan sangat tingginya angka positif antibodi di Indonesia yang mencapai 99,2%. Artinya hampir seluruh orang di Indonesia sudah memiliki kekebalan terhadap varian utama C19. Namun 99,2%, tetap saja bukan 100%. Artinya masih ada 0,8% orang tidak kebal dan bila dikalikan penduduk Indonesia per tgl. 14 Desember 2023, berarti masih ada sekitar 2.233.000 orang yang belum kebal. Di tubuh mereka inilah virus SARS-CoV-2 dapat hidup dan bermutasi. Belum lagi bila terjadi immune escape yang menyebabkan orang berkemungkinan terkena C19 kembali, walaupun gejalanya ringan. Maka tidak ada cara lain selain lebih meningkatkan cakupan vaksinasi dan melakukan booster ke-3 bila diperlukan.
©IKM 2023-12